Besan, 13 April 2015
Bali sebuah pulau yang memiliki luas cuma 0,29% dari luas NKRI atau kurang lebih 5.636,66 km2. Pulau kecil dengan adat dan budaya yang sudah terkenal ke pelosok negeri namun kini makin rapuh.
Rapuh karena masyarakat yang seharusnya melestarikan adat dan budaya itu kini lebih berorientasi kepada material.
Rela melonggarkan adat, demi beberapa lembar kertas yang disebut uang.
Entahlah kenapa mereka yang seperti itu tidak memikirkan nasib anak cucu mereka kelak.
Aku seorang yang berkecimpung di dunia pendidikan, sering aku dokrin anak didikku untuk tidak mengizinkan orang tua nya menjual tanah warisan, atau menjual tanah ke “pendatang” yang tidak akan mau mengikuti adat istiadat dan budaya di daerah itu, misalnya budaya “ngayah” atau gotong royong ketika mau upacara adat.
Banyangkan ketika sebuah wilayah, tanah yang dulunya mayoritas dimiliki oleh masyarakat lokal yang terikat adat dan budaya kemudian dengan mudah tanah itu berpindah tangan ke “pendatangan” lewat transaksi jual beli.
Transaksi jual beli ini sangat gampang terjadi, selain faktor ekonomi penyebabnya adalah karena longgarnya adat di wilayah itu, sebut saja wilayah itu adalah sebuah desa. Desa di Bali ada dua jenis, yaitu Desa Adat dan Desa Dinas. Desa Adat mengatur adat istiadat di desa itu, dan Desa Dinas mengatur kelengkapan administrasi kependudukan desa itu.
Adat identik dengan aturan yang membudaya, lewat adat inilah semestinya bisa menjaga kelestarian warga di desa tersebut.
Saya memang tak seperti host jejak petualang ataupun pejabat daerah yang apal akan aturan adat di setiap desa. Namun disetiap perjalanan mengunjungi desa desa, saya pasti sempatkan mengobrol dengan pemuda setempat atau bahkan kalau beruntung bisa ngobrol dengan pemuka adat. Memang banyak sekali aturan di setiap desa, tentu tujuannya untuk menjaga ketertiban warga di desa tersebut, selain itu juga sebagai penjaga eksistinsi desa itu, semakin ketat dan kuat sebuah adat maka desa itu akan tertib dan tentunya kehidupannya lebih teratur.
Missalnya di Desa Sukasada Buleleng terdapat Desa Adat Bakung, yang kekiniannya disebut Desa Pakraman Bakung. Desa ini terkenal dengan pengerajin batu akiknya, saya sih bukan penggemar namun suka menyimak para tua tua yang sedang ngobrol seru tentang cincin batu akik sejumlah jari mereka.
Di sela sela obrolan mereka, saya menyelipi beberapa pertanyaan seputar adat yang ada di desa Adat Bakung. Kenapa saya mutar haluan dari batu akik ke adat? Iya karena ngobrolin batu akik terlalu mainstreams haha
Pertanyaan pertama yang saya lontarkan adalah tentang luas wilayah, namun serunya para bapak dan anak muda (truna Desa) memaparkan bukan sekedar luas panjang kali lebar, bahkan sampai diagonal, sudut elevasi dan tetek bengeknya pun mereka ceritakan.
Sampai saya tahu, penduduk di desa ini semuanya menjaga adat dengan sangat ketat dan kuat mengikat warga serta wilayah (tanah) desanya. Ini terbuktikan dari beberapa aturan yang yang mereka paparkan. Diantaranya DILARANG menjual tanah kepada orang luar desa atau “pendatang” terkecuali mereka yang mau membeli tanah di desa itu harus dan wajib “medesa adat” atau menjadi warga adat disana, dengan menjadi warga adat disana tentu wajib “ngayah” di Pura yang di empon desa tersebut.
Wuihh ini adat yang sangat mengikat namun sangat bagus untuk menjaga kelestarian budaya yang ada di desa tersebut.
Beda lagi dengan sebuah desa di kawasan Badung (kalau tidak salah Darmasaba) saya dengar dengar dari percakapan bapak bapak di sana ketika melihat lihat proses membuat genting.
Di sana sedang di gojlok awig awig (undang undang desa) untuk aturan menjual tanah ke pendatang dan ke warga local, serta pedagang yang statusnya pendatang juga di kenai iyuran ini fungsinya untuk menjaga eksistensi pedagang lokal disana dan urusan yang jual beli tanah akan dikenakan biaya administrasi yang sangat besar (katanya sampai ratusan juta) tujuannya untuk mempersulit pembeli luar, sehingga tanah di wilayah itu bisa jadi milik pembeli local, jadi kembali menjaga eksistensi wilayah desa, oke semoga segera di setujui oleh semua warga ya disana ya. Amin
Tak kalah keren nya sebuah desa di bali timur, Tenganan desa yang terkenal di seantero jagat, desa yang adatnya sangat awesome, tak ada aturan menjual tanah karena memang tanah disana tidak akan dijual, karena mereka mengelola tanah mereka bersama sama, hidup bersinergi dengan alam dan budaya serta di ikat dengan adat yang sangat kuat.
Mungkin dari tiga desa itu, aka nada desa desa lain yang adatnya melarang menjual tanah ke pendatang, yang karena sangat disayangkan ketika penduduk lokalnya malah ngontrak di desanya sendiri dan tak ada lagi yang ngayahang pura kerena yang tinggal disana bukan lagi orang yang beribadah ke Pura hehhee
NB: tulisan ini belum sempurna dan akan disempurnakan di perjalanan selanjutnya, serta inti pesannya adalah jagalah Tanah Airmu agar tak menjadi : tanah tak punya , air pun beli. jangan terlalu ramah terhadap pendatang yang tidak mau mengikuti adat dan budayamu, cam kan itu guys!
Leave a Reply