Kegalauan di Balik Keindahan Kintamani

batur kintamani

Niat kami sebenarnya untuk liburan dan jalan-jalan.

Namun, apa daya, kami masih saja nemu masalah. Kali ini tentang karut marutnya tata kelola daerah tujuan wisata Kintamani di Bangli. Persoalannya sama, rebutan uang tapi tak peduli tata ruang.

Ketika berangkat, kami mampir dulu di Bali Pulina, berjarak sekitar 500 meter dari tempat wisata terasering di Ceking, Tegallalang. Tempat ini asyik. Dia memadukan pertanian dan pariwisata, hal yang seharusnya jadi model pengembangan pariwisata di Bali.

Soal Bali Pulina, di tulisan lain saja nanti. Kali ini soal Kintamani.

Ada teman lama zaman jadi mahasiswa baru, Kadek Edi, mengundang kami. Selain untuk menikmati ikan mujahir di warungnya juga untuk mendengar curhatnya. Dia sudah beberapa ngajak ketemu di Penelokan, kampungnya.

Jadilah makan siang awal April itu kami disambi mendengar cerita si Edi. Sebenarnya sih cerita lama tapi ya tetap saja tak kunjung selesai juga masalahnya.

Kintamani termasuk salah satu tujuan wisata favorit bagi turis. Dia malah jadi andalan utama Bangli, satu-satunya kabupaten di Bali yang tak punya laut. Di Kintamani ada gunung dan danau Batur. Menikmati keindahan keduanya, gunung dan danau, selalu menjadi kerinduan tersendiri.

Tapi, di balik keindahan itu juga tersimpan kegalauan. Setidaknya bagi Edi dan beberapa teman lain.

Pemicu terakhir adalah naiknya biaya retribusi masuk kawasan Kintamani. Dari semula hanya Rp 10 ribu jadi Rp 30 ribu. Tiket masuk kawasan wisata ini ada dua, di dekat jalan raya Bangli – Singaraja dan di jalan raya Kintamani – Ubud.

Karena lokasinya di tepi jalan gitu, bukan di tempat khusus, kadang memang terasa agak spekulatif. Jika turisnya bernasib buruk, dia akan kena pungutan tiket. Jika tidak, bisa melenggang kangkung tanpa bayar.

Kenaikan harga sampai tiga kali lipat inilah yang dikeluhkan banyak orang. Tak cuma Edi tapi juga para pelaku pariwisata lain. Dek Didi, teman saya lain yang juga pemilik usaha perjalanan, mengeluhkan kenaikan ini.

Pertanyaan mereka semua sama: apa pengaruh kenaikan harga tiket masuk terhadap peningkatan kualitas pariwisata di kawasan Kintamani?

Bagi mereka tidak ada sama sekali.

Secara fisik, tidak ada penataan berarti terhadap Penelokan atau Kintamani sebagai kawasan pariwisata. Secara umum masih terlihat kumuh. Di titik di mana para pengunjung biasa menikmati gunung dan danau, rombong untuk jualan tergeletak banyak sekali.

Tidak nyaman dipandang di antara keindahan Kintamani.

Di balik penataan yang semrawut, ada pula pengelolaan keuangan yang acak adut. Begitulah kata teman-teman saya yang warga Kintamani. Tidak ada transparansi siapa sebenarnya yang mengelola dana yang masuk, digunakan untuk (si)apa, bagaimana pertanggungjawabannya, dan seterusnya.

Sering kali terjadi, pungutan liar atau curang. Pemandu wisata bayar untuk sepuluh orang tapi cuma dapat tiket lima. Bayar untuk lima orang hanya dapat tiga tiket. Dan seterusnya.

Tak ada lagi kenyamanan, sesuatu yang dicari para turis ketika jalan-jalan ke Kintamani. Tak heran, kini Kintamani mulai masuk daftar hitam para pelaku bisnis pariwisata di Bali.

Ini yang mengkhawatirkan. Jangan sampai keserakahan pengelola kawasan Kintamani justru membunuh potensi dan keindahan tempatnya sendiri. Mereka sendiri yang akan rugi.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *