UWRF 2022: Mengikat Kenangan Menjadi Karya

Sesi mengikat kenangan jadi karya di UWRF

Ubud writers and readers festival kembali digelar tahun ini. Sabtu, 29 Oktober 2022 menjadi hari ketiga gelaran festival sastra terbesar di Asia Tenggara ini. Salah satu sesi dalam main program Ubud writers and readers festival hari ketiga adalah sesi yang berjudul: The Act of Remembering. Sesi ini ingin menelaah lebih dalam tentang makna kenangan dan ingatan bisa berdampak kepada seseorang. Karena, ketika seseorang melakukan perjalanan ke berbagai tempat dan waktu, mereka akan selalu terbayang pada memori paling berkesan; kisah kanak dan kampung halaman diolah menjadi karya.

Untuk memahami bagaiamana kenangan bekerja, UWRF mendatangakan tiga panelis yang akan mengemukakan pendalpatnya tentang kenangan dan bagaimana mengubahnya menjadi cerita. Panelis pertama adalah, Made Adnyana Ole, seorang sastrawan dan wartawan sekaligus pendiri tatkala.co, sebuah media untuk mengembangkan jurnalisme sastra dan jurnalisme warga. Made Adnyana Ole juga mengelola Komunitas Mahima sebagai tempat berkumpul dan bergaul para sastrawan muda di Bali.

Jauh datang dari Padang, Boy Candra, adalah penulis muda penuh waktu yang menetap di Kota Padang. Buku pertamanya terbit pada tahun 2013 dengan judul Origami Hati. Saat ini sudah menerbitkan lebih dari 20 judul buku dan semuanya dicetak ulang. Dua di antaranya sudah diadaptasi menjadi film, yaitu Malik dan Elsa (tayang di Disney+) dan Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi (tayang di Netflix).

Panelis yang terakhir, Iin Farliani lahir di Lombok. Sejak tahun 2013, ia aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram, sebuah komunitas sastra dan penerbitan buku. Karya-karyanya berupa cerita pendek, puisi, dan esai telah tersebar di berbagai media cetak maupun online. Buku kumpulan cerita pendeknya berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019) dan segera terbit buku puisi pertamanya Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (2022).

Perihal masa lalu dan kenangan, Made Adnyana Ole bercerita bagaimana karyanya banyak terinspirasi dari peristiwa-peristiwa masa lalu. Dia menyebut Bali mempunyai banyak peristiwa besar yang bisa menjadi kenangan-kenangan komunal. Akan tetapi, menurtnya tidak banyak orang menjadikan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai kenangan.

Dia mencontohkan peristiwa G30S. Dia sendiri bercerita bahwa dirnya belum lahir ketika peristiwa sejarah itu terjadi, namun dirinya memiliki memori yang sangat besar pada peristiwa-peristiwa ikutannya. Dia menerangkan bahwa masyarakat Bali cenderung memahami suatu peristiwa bisa berkaitan dengan peristiwa-peristiwa besar yang telah terjadi sebelumnya.

“Misalnya seperti ini, ada pohon beringin jatuh di sebuah desa. Tidak ada angin apalagi tidak ada hujan tidak ada bencana tapi jatuh begitu saja, orang tua akan menghubungkan peristiwa sebelumnya. Dulu ketika beringin ini jatuh terjadi gejolak politik atau Gunung Agung meletus itu salah satu peristiwa besar yang juga di yang juga setelah itu menimbulkan peristiwa-peristiwa berulang-ulang, seperti kalau terjadi hujan besar misalnya hujan yang sangat aneh memorinya akan berpikir dulu selalu itu bencana yang jadi pikiran selalu itu peristiwa-peristiwa yang menimbulkan bencana, yang dipikirkan ketika ada peristiwa bencana ikutannya,” terangnya.

Made Ole juga menjelaskan, masyarakat Bali menghasilkan memori atau kenangna dengan panca indera. Dia menjelaskan bahwa mata hidung penciuman juga pendengaran juga rasa dan juga lidah artinya dan semua hasil dari panca indra itu bisa mengingatkan orang-orang pada peristiwa-peristiwa masa lalu. Kenangan dan memori yang terekam tersebutlah yang menjadi perantara saya dalam menghasilkan karya.

“Saya tidak punya memori soal gerakan politik tahun 65 karena saya lahir setelahnya tapi saya bisa mengetahui semua itu dari peristiwa-peristiwa ikut dan ulang alik itulah saya jadikan karya-karya yaitu maupun cerpen,” ungkapnya.

Made Ole juga berkomentar terkait pesat perkembangan pariwisata di Bali. Menurutnya, perubahan masayarakat Bali dari maryarakat pertanian/perkebunan ke masyarakat pariwisata begitu cepat. Hal ini menurutnya menjadikan kenyataan begitu cepat berlalu. “Sekarang jadi kenyataan besok sudah jadi kenangan,” tuturnya. Namun menurutnya, hal inilah yang bisa memantik dirinya untuk menelurkan karya.

“Ubud ini kan dulu banyak persawahan, tapi sekarang banyak hotel itu kan artinya orang yang memiliki kenangan tentang keindahan persawahan itu sekitar tahun 1960-an, 1970-an, 80-an, dan sekarang hotel dan villa sangat sangat menjamur, nah dari situ, kita bisa bikin tokoh-tokoh misalnya bagaimana dia mengenang orang tuanya atau mengenang saudara yang jadi petani tapi dia bekerja di sektor pariwisata,” jelasnya.

Made Ole menambahkan kenangan merupakan sumber yang sangat baik untuk membuat sebuah karya. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar kenangan tersebut bisa dijadikan relevan dengan masa sekarang dan atau diselipkan pesan-pesan yang berguna.

Boy Candra penulis asal Sumatera Barat memaknai kenangan secara lebih personal. Dia mengungkapkan bahwa, dirinya sebenarnya tidak banyak menulis tentang sejarah Minang dan sebagainya. Dia mengatakan bahwa banyak penulis Minang yang mengerjakan terkait tema tersebut. Bagi Boy Candra, pengamatannya terhadap anak muda di Indonesia memberinya perspektif bahwa dirinya bisa mewakili apa yang dirasakan oleh generasi saya “Itu alasan juga kenapa saya lebih banyak romance’” jelasnya.

Selain itu, kenangan juga bekerja secara berbeda terhadap dirinya. Boy bercerita bahwa dirinya merasa menulis dan menghasilkan karya adalah caranya untuk melarikan diri dari perasaan-perasaan yang berkecamuk di kepalanya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Iin Farliani, penyair asal Lombok yang menjadi panelis dalam sesi ini. Dia mengatakan, karya-karyanya tidak terkait langsung dengan peristiwa atau sejarah yang terjadi di Lombok atau Nusa Tenggara Barat. Iin menjelaskan bahwa puisi atau cerpen yang ia buat cenderung lebih general dan masih terkait dengan hal–hal personal yang dia alami.

“Seperti kenangan yang kalu dulu sepertinya biasa saja, tapi jika dipikirkan sekarang rasanya aneh dan mengganggu,” ujarnya.

Sesi ini sendiri berlangsung selama sekitar satu jam. Dalam komentar penutup, Made Ole sendiri mengatakan bahwa bentuk-bentuk fisik lain akan hancur, cerita akan abadi.

The post UWRF 2022: Mengikat Kenangan Menjadi Karya appeared first on BaleBengong.id.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *