Di atas panggung, Cholil Machmud seperti berorasi, tak sekadar menyanyi.
Biduan alias vokalis Efek Rumah Kaca (ERK), band trio asal Jakarta, tersebut meneriakkan gugatannya. “Ku bisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa terbunuh di trotoar jalan. Tapi, aku tak pernah mati. Tak akan berhenti..”
Lampu panggung gemerlap dan kadang temaram di belakang Cholil dan dua personil lain, basis Adrian Yunan Faisal dan penabuh drum Akbar Bagus Sudibyo. Laser, asap, gemerlap panggung dan teriakan ERK membuat suasana terasa magis.
Aku tersihir.
Setelah selama ini hanya mendengarkan suara mereka, akhirnya Minggu malam kemarin bisa melihat penampilan mereka secara langsung. ERK salah satu band acara mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Bali tersebut. Ada pula Painfull by Kisses, Dialog Dini Hari (DDH), Navicula, Burgerkill, dan seterusnya.
Namun, selain DDH, ERK adalah alasan kenapa kami menonton malam itu. Begitu tahu mereka tampil di Denpasar, aku dan anak istri pun sepakat tanpa banyak diskusi. Kami harus menonton mereka!
Arsenik
Bagi kami, ERK tak sekadar bermusik. Mereka bersikap dan menggugat lewat lirik-liriknya. Ketika band lain berasyik masyuk dengan tema cinta, band yang berdiri sejak 2001 ini lebih banyak berbicara tentang konsumerisme, politik, lingkungan, psikologi, dan isu-isu lain yang tak banyak dibicarakan musisi lain.
Salah satu lagu paling menyayat adalah Tubuhmu Membiru Tragis, lagu untuk para pecandu narkoba yang mengakhiri hidupnya dengan tragis. Tak tahu mengapa, tiap kali mendengar lagu ini, aku ingat kawan-kawan pecandu yang sudah pergi lebih dulu, termasuk Wahyu.
Malam itu ERK tak menyanyikan lagu ini. Pilihan lagu mereka antara lain Desember, Kamar Gelap, dan tiga lagu yang bagiku paling politis: Di Udara, Mosi Tidak Percaya, dan Hilang.
Lagu Di Udara adalah penghormatan mereka pada Munir Said Thalib, aktivis Indonesia yang dibunuh dalam perjalanannya ke Belanda pada 7 September 2004. Menurut hasil visum, Munir diracun dengan arsenik. Dan, hingga saat ini, belum jelas siapa pembunuh aktivis yang lantang membela korban penculikan tahun 1997-1998 dan korban kekerasan oleh tentara tersebut.
Maka, bagiku, lagu Di Udara tetap selalu relevan untuk dinyanyikan dan diteriakkan sebagai gugatan terhadap penguasa yang belum juga menangkap pembunuh Munir. Begitu ketika ERK tampil dua malam lalu.
Kamisan
Tak cuma untuk Munir, ERK juga menghormati mereka yang diculik dan dihilangkan dengan paksa. Hilang, lagu yang akan diluncurkan di album ketiga mereka, memberikan dukungan pada para aktivis korban penculikan huru hara politik 1997-1998 ini.
Lewat lirik-lirik lagu Hilang, ERK seperti terus menyuntikkan semangat pada para keluarga korban penculikan.
Saat ini, keluarga para korban penculikan tersebut menggelar aksi Kamisan, berdiri di depan Istana Negara untuk menuntut penuntasan kasus penculikan ini. Aksi yang terinspirasi dari aksi Plasa De Mayo di Argentina ini sudah berlangsung sejak Januari 2007.
“Rindu kami seteguh besi. Hari demi hari menanti. Tekad kami segunung tinggi. Takut siapa?? Semua hadapi. Yang hilang menjadi katalis. Di setiap Kamis. Nyali berlapis. Marah kami senyala api. Di depan istana berdiri… ”
Lagu Mosi Tidak Percaya adalah gugatan ERK yang lain malam itu.
“Pantas kalau kami marah, sebab dipercaya susah. Jelas kalau kami resah, sebab argumenmu payah. Ini mosi tidak percaya, jangan anggap kami tak berdaya. Ini mosi tidak percaya, kami tak mau lagi diperdaya!”
Lewat lirik-liriknya, ERK terus berorasi. Bagi mereka, musik, lirik, dan lagu tak hanya jadi media sendu tempat galau atau merayu. Mereka menegaskan, musik bisa jadi alat untuk terus mengkritik dan menggugat.
Kerennya lagi, semua lagu itu tak harus disampaikan dengan bahasa dan musik yang distortif. Mereka bermain apik dengan kekuatan lirik dan musik yang tetap cantik. Menyihir.
Leave a Reply