Syair Lirih Perpisahan Ramadhan di Loloan, Jembrana

Generasi Muda Loloan (Foto Eka Sabara)

Seperti berpisah dengan kekasih hati, perumpamaan itu paling dekat dengan apa yang banyak umat Muslim rasakan pada pengujung Ramadhan, bulan suci penuh rahmat dan berkah. Bedanya, kekasih itu bukan kekasih biasa. Dialah Allah, Dzat maha mencintai dan mengasihi setiap jiwa yang melangkah dan berjalan mendekati-Nya.

Di Loloan, kampung yang dihuni keturunan Bugis-Melayu sejak ratusan tahun lalu di Negara, Jembrana, Bali, terdapat tradisi tua yang masih lestari hingga kini. Wida’, syair yang terdengar lirih, penuh kesedihan karena Ramadhan segera berakhir. Ngewida’, aktivitas membaca Wida’ dilakukan sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Eka Sabara, penulis dan pegiat sejarah asal Loloan mengatakan, sekitar abad ke-18 hingga abad ke-19 Masehi, para Tuan Guru, sebutan ulama atau orang alim di Loloan pada abad ke-18, sangat bersedih menjelang tibanya sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.

“Kesedihan para Tuan Guru atau ulama dahulu, ditumpahkan dalam bentuk pujian-pujian dengan menggubah syair-syair khas Bugis-Melayu Loloan, yang bertujuan untuk menghidupkan suasana sepuluh malam terakhir Ramadhan sampai akhir malam Ramadhan,” jelasnya.
Eka menambahkan, syair Wida’ yang cukup populer dibaca oleh para ahli Wida’ yaitu syair Rakbi. Tradisi Ngewida’ ini dilakukan pada sekitar jam 12 malam hingga jam 2 pagi.

“Wida’ dilantunkan dengan suara lengkingan yang cukup panjang dan tinggi, memecah kesunyian dan keheningan malam, terdengar syair alunan kesedihan akan berakhirnya bulan Ramadhan,” jelasnya.

Ia menuturkan, kata Wida’ berasal dari bahasa Arab yang berarti perpisahan. Oleh para ahli syair wida’ tradisi ini sering disebut Ngewida’. Tradisi ini hanya ada di Loloan saja.

“Wida’ sebenarnya merupakan warisan tradisi Bugis Melayu Loloan, karena kata Wida’ juga berasal dari serapan bahasa Bugis yang berarti “selamat tinggal,” tukas Eka.

Cerita tentang kepercayaan masyarakat Loloan terkait bulan Ramadhan, diceritakan langsung oleh H. Ichsan kepada keponakannya yang bernama Suldan.
“Pada bulan Ramadhan para datuk-datuk kita mendapatkan “remisi” dari Allah SWT pulang ke rumah asalnya semasih di dunia fana ini. Nah, selama satu bulan tidak ade (ada) pertanyaan dari malaikat alam barzah, sehingga dengan syair Wida’ itu membantu mengantar para datuk-datuk awak (kita) pulang lagi ke alam Barzah. Setelah mendapat libur atau “remisi” selama satu bulan di bulan Ramadhan, libur satu bulan itu sama dengan libur setahun tidak mendapatkan pertanyaan dari malaikat,” tutur H. Ichsan kepada Suldan saat itu.

Dikatakan Eka, hikmah dari tradisi Ngewida’ ini menggambarkan pesan dan kesan sedih karena rasa kehilangan kegembiraan Ramadhan. Sebaliknya, muncul rasa senang karena lepas dari kewajiban puasa dan mendapat hadiah hari raya Idul Fitri.
“Pada tahun 1980-an, pewida’ yang paling terkenal karena khas suara sedihnya, yaitu suara Pak Tabrani, Pak Zaki, dan Pak Huzaimi. Semua sudah almarhum saat ini,” ujarnya.
Generasi Muda
Yusuf Mudatsir, salah satu generasi muda Loloan mempunyai pengalaman pribadi saat mendengarkan Wida’ dilantunkan. Menurutnya, dari segi seni tarik suara, Wida’ memiliki note dan tangga nada yang khas, percampuran antara sika-nya note Melayu dan tembangnya note Bali. Maka di dalam mendengarkan Wida’ ia dapat merasakan bagaimana toleransi perpaduan seni tarik suara disuguhkan.

“Di samping itu dalam syair Wida’ juga terdapat keindahan dalam kesedihan. Ada soul di dalamnya, ada history dalam lantunannya seperti contoh perjalanan pendakian seorang hamba yang mendambakan Lailatul Qadar di bulan Ramadhan,” kata Yusuf.

Sebagai seorang Muslim, rasa sedih berpisah dengan Ramadhan juga ia rasakan. Baginya, lantunan Wida’ merupakan representasi jiwa-jwa para hamba yang sedang gundah dalam mendaki dan meraih Lailatul Qadar.

“Maka jika Anda pejamkan mata Anda ketika mendengar Wida’, seolah-olah jiwa kita merasakan rintihan kesakitan saat detik-detik Ramadhan akan pergi. Ini berlaku kepada siapa pun walau tidak mengerti apa itu Wida’. Hal ini telah terbukti dengan eksperimen sosial yang kami lakukan dengan beberapa kawan dari luar daerah Loloan maupun luar Bali,” jelas Yusuf yang merupakan bagian dari Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia.

Ia memandang Wid’a dan aktivitas Ngewida’ sangatlah baik karena merupakan tradisi masa silam yang masih tetap terpelihara hingga kini. Pelestarian warisan budaya tersebut, menurutnya sangat perlu dilakukan karena tradisi ini sesuatu yang sangat langka dan hanya didapati pada momen-momen tertentu yakni menjelang berakhirnya Ramadhan.

Bahkan, sambung Yusuf, tradisi Wida’ tak tertutup kemungkinan bisa menjadi daya tarik pariwisata, khususnya wisata religi. Ia melihat, dari kekhususannya Wida’ memiliki potensi untuk bisa dikenalkan ke khalayak ramai.

“Untuk caranya bisa bermacam-macam, tergantung apa yang kita ingin capai. Seperti contoh pagelaran festival dan memberikan reward kepada pelaku-pelaku Wida’ tempo dulu. Lagi pula, zaman sekarang budaya harus diimbangi juga dengan story telling, kan?” katanya.

Story telling yang dimaksudkan Yusuf adalah menulis tentang Wida’, misalkan asal-usul Wida’ dan berbagai seluk-beluknya baik di laman pribadi atau media sosial kelurahan Loloan maupun mengirimkannya ke media lokal, nasional bahkan internasional.

“Untuk mengenalkan Wida’, banyak hal yang rencananya akan kami selaku pemuda-pemudi Loloan lakukan. Di antaranya, membuat film dokumenter tentang Wida’ dan Ngewida’. Hal itu sebagai bentuk rasa bangga dan kepedulian terhadap warisan leluhur, para datuk dan ulama Loloan yang bisa jadi jenis kesenian ini satu-satunya di Indonesia,” sebutnya.

Tentang regenerasi pelantun syair Wida’, Yusuf mengatakan hal tersebut terus dilakukan. Banyak generasi muda Loloan yang tertarik mempelajari Wida’ dan Ngewida’. Ia sendiri beberapa kali pernah membawakan Wida’ walau masih taraf Mushollah depan rumah. Yusuf mengaku, dari Ngewida’ ia dapat menggambarkan bagaimana cara penyampaian soul atau jiwa dari Wida’, teknik apa saja yang ada saat melantunkannya. Seperti yang ia singgung di atas, ada perpaduan tembang Melayu dan Bali.

Kini, pelantun Wida’ di Loloan yang dikenal banyak orang adalah Ustadz Suldan yang merupakan paman Yusuf. Darinya ia banyak belajar bagaimana melantunkan Wida’.

The post Syair Lirih Perpisahan Ramadhan di Loloan, Jembrana appeared first on BaleBengong.id.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *