Pinjam Bendera

A: Wah dapat banyak proyek tahun ini Pak?, papan nama perusahaannya tersebar dimana-mana ….

B : Ah, nggak juga kok, kebanyakan dipinjam, yang dikerjakan sendiri cuma satu proyek……… Bapak nangani berapa kerjaan?

A: Saya malah nggak dapat tahun ini, hanya dipinjamkan saja ….

Itulah isi percakapan dua orang pemimpin Perusahaan pada sesi rehat kopi suatu acara yang digelar sebuah asosiasi profesi. Isi percakapan yang ringan tanpa beban, datar dan biasa-biasa saja, seakan sudah menjadi hal yang lumrah dan biasa terdengar. Yang diperbincangkan adalah perihal proyek dan “Pinjam Bendera ( istilah untuk peminjaman badan hukum perusahaan untuk mengambil proyek) dan itu adalah sesuatu yang tidak lagi tabu dikalangan mereka padahal mereka tahu kalau hal itu tidak dibenarkan dari sisi manapun.

Pada hakikatnya, peminjaman bendera bisa disebabkan berbagai hal misalnya seseorang yang karena punya kedekatan dengan seorang pejabat pemilik proyek ditawari (atau meminta) untuk mengambil proyek padahal dia tidak memiliki perusahaan berbadan hukum seperti yang dipersyaratkan dan sebenarnya tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakannya, maka dia menghubungi kenalannya yang punya perusahaan dan akhirnya dengan fee sekadarnya, si pemilik perusahaan mau meminjamkannya jadilah proyek itu dikerjakan seadanya, yang penting diterima walau kualitas dinomorduakan, demikian juga si pemberi proyek, karena rekomendasinya dari mereka sendiri ya pasti diterima saja dengan membuta karena sudah “tahu sama tahu” atau karena rasa ewuh pakewuh pada orang yang mengambil itu.

Kasus lain yang terjadi adalah saling meminjam ( bertukar) perusahaan antara sesama pemilik perusahaan sejenis, maksudnya hanya untuk menghindari kesan monopoli oleh orang tertentu pada suatu “lahan”. Kalau yang ini sih masih mendingan karena mutu hasil pekerjaan akan lebih baik karena yang meminjam adalah kalangan profesi yang sama.

Konsekuensinya, jika hasil pekerjaan tersebut tidak beres atau bermasalah di kemudian hari maka yang memikul tanggung jawab sepenuhnya adalah si pemilik perusahaan, padahal mungkin saja dia tidak tahu menahu dengan proses dan hasil pekerjaan yang dimaksud tetapi karena yang tecantum adalah nama perusahannya, maka mau tidak mau dia harus bertanggung jawab. Karena mengharapkan fee yang mungkin saja tidak sebanding dengan tanggungjawabnya, seseorang pemilik perusahaan jadi kena masalah.

Bagaimanapun juga, profesionalisme tetap harus dijaga, tidak gampang meminjamkan begitu saja apalagi kepada orang yang tidak punya kapabelitas untuk mengerjakannya. Tetapi dilema mungkin saja dihadapi jika berhadapan dengan “orang kuat” dan berpengaruh, jika tidak diberikan mereka terancam dikemudian hari misalnya dikucilkan atau bahkan tidak diberi proyek sama sekali khususnya pada proyek-proyek dengan penunjukan langsung yang faktanya banyak dikondisikan seperti itu (misalnya dengan memecah2 paket proyek menjadi kecil-kecil). Nah, disinilah masalahnya, semua kembali menjadi lingkaran tak berujung yang tidak terlepas dari kondisi sistem yang sengaja dibuat dan sudah jadi semacam kebiasaan.

Bagaimana mau menjaga profesionalisme?…….

Ya sudahlah….akhirnya semua bermuara ke SDM….Selamatkan Diri Masing-masing…he..he..!

Share/Bookmark


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *