Perajin Kecil Yang Terlupakan dan Mitos Kesejahteraan Pariwisata

oleh:

AGUNG WARDANA

Membaca berita Bali Post, 7 September 2009 yang berjudul ”Perajin Menjerit, Harga Kayu Albesia Melonjak”, kita merasa makin miris. Lengkap sudah penderitaan perajin kecil Bali yang selama ini juga telah dilupakan oleh kebijakan pemerintah. Seringkali kemiskinan para perajin kecil dianggap sebagai kesalahan perajin tersebut karena tidak mampu menaikkan kualitas produknya dan tidak mampu mengakses pasar. Namun jika dilihat lebih dalam, justru itu merupakan tanggung jawab dari pemerintah untuk membantu perajin kecil dan memberikan perlindungan terhadapnya.

Intervensi pemerintah dalam hal ini tetap dibutuhkan, dengan tidak menyerahkan sepenuhnya proses produksi, distribusi dan konsumsi kerajinan Bali kepada mekanisme pasar. Jika dibiarkan melalui mekanisme pasar, tentu saja akan lebih banyak menguntungkan produsen besar dan suplier saja. Saatnya pemerintah untuk turun tangan dan mendorong sebuah model perdagangan yang adil bagi para perajin kecil Bali.

Perdagangan yang adil yang dimaksud harus mengandung prinsip-prinsip berikut: menyikapi kemiskinan; keterbukaan dan bertanggung jawab; meningkatkan keterampilan; mensosialisasikan perdagangan berkeadilan; adil dalam pembayaran; menghormati kesetaraan gender; memiliki bengkel kerja yang aman, nyaman dan sehat; tidak mengeksploitasi tenaga kerja anak; menghormati keseimbangan ekologis; hubungan jangka panjang. Dengan demikian perajin kecil tidak selalu menjadi korban eksploitasi dari pemilik artshop dan terpinggirkan di tengah gemerlapnya industri pariwisata Bali. Misalnya, pihak artshop belum punya uang untuk membayar kerajinannya yang telah laku dijual, sehingga si perajin harus pulang dengan tangan hampa.

Perajin tidak memiliki posisi tawar yang kuat untuk menekan pemilik artshop guna membayarkan hasil penjualan produknya. Perajin tidak berdaya untuk menolak pesanan (order) dari pemilik artshop meski tanpa mendapatkan uang muka sepeser pun. Alih-alih untuk tahu berapa nilai lebih yang diperoleh pemilik artshop dari hasil kerja keras para perajin kecil.

Perajin, selama ini terlupakan, seharusnya pula diakui merupakan salah satu corak produksi dari masyarakat bawah di Bali selain petani dan nelayan yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah.

Mitos Kesejahteraan
Bali sebuah provinsi yang terdiri atas gugusan pulau-pulau kecil yang berluas hanya 5.636 km persegi atau satu perdua puluh empat kali dari Pulau Jawa. Sebelum meledak menjadi daerah tujuan pariwisata ternama di Indonesia, Bali merupakan daerah yang dibangun di atas sendi-sendi budaya agraris.

Dengan pola pertanian tradisional yang bersandar pada sistem subak (pola gotong royong/mutual aid) membuat para petani Bali memiliki waktu senggang yang biasa diisi dengan kerja budaya (berkreativitas) atau pun mencari pendapatan tambahan. Kemudian, lahirlah artefak-artefak budaya dari interaksi masyarakat dengan spiritualitas, kekerabatan sosial, dan alamnya.

Di masa Kolonial Belanda, eksotisme ini dilihat sebagai sebuah keunikan yang harus dilestarikan sekaligus secara politis juga dapat digunakan untuk melakukan filterisasi terhadap gerakan nasionalisme. Karena dianggap memiliki nilai jual, mulailah Bali dipromosikan oleh perusahaan jasa pelayaran sebagai kawasan eksotis berlabel ”Pulau Surga” yang menjadi babak awal industri pariwisata di Bali.

Kebijakan untuk mendorong industri pariwisata di Bali ini dilanjutkan oleh rezim Orde Baru setelah naik ke tampuk kekuasaan dengan melakukan pembantaian massal di Bali 1965-1966. Berbeda dengan Soekarno yang anti-imperialis, Soeharto justru melihat Bali sebagai tempat perputaran dana asing lewat aktivitas wisata sehingga kepariwisataan Bali pun menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Meledaknya industri pariwisata di bawah rezim Orde Baru ini membuat perubahan pola dan relasi sosial di Bali. Budaya agraris mulai tergusur seiring dengan alih fungsi dan pemusatan kepemilikan lahan di tangan spekulan tanah dan investor pariwisata. Ekspansi industri pariwisata yang rakus lahan dan sumber daya alam ini pun harus dibayar mahal dengan peminggiran hak-hak masyarakat dan perusakan lingkungan hidup.

Pengembangan pariwisata massal berimplikasi pada ketergantungan masyarakat, yang telah kehilangan lahannya, untuk menghamba pada industri pariwisata. Keterampilan membuat kerajinan tangan yang diperoleh secara turun-temurun akhirnya menjadi satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup.

Pemerintah mencoba membangun asumsi bahwa pembangunan pariwisata massal dapat membantu kehidupan ekonomi masyarakat, terutama perajin. Namun dalam kenyataannya ekspansi pariwisata tidak berdampak signifikan memperbaiki kehidupan perajin, yang justru diuntungkan lebih besar adalah para suplier. Hal ini karena perajin tidak secara langsung masuk pada pasar kerajinan melainkan harus melalui suplier dalam bentuk artshop-artshop.

Seringkali produk telah laku dijual, oleh pemilik artshop pembayaran atas produk perajin ditunda-tunda dan bahkan tidak dibayarkan sama sekali. Perajin pun tidak memiliki cukup kuasa untuk meminta dan juga tidak punya pilihan untuk membawa produknya ke artshop yang lain.

Dalam penentuan harga jual pun perajin tidak pernah dilibatkan oleh pemilik artshop. Hal ini membuktikan bahwa asumsi yang coba dibangun oleh pemerintah tidak sepenuhnya benar. Perajin tetap saja menjadi kelompok masyarakat yang dipinggirkan oleh gemerlap industri pariwisata Bali.

Penulis, aktivis keadilan lingkungan tinggal di Tabanan
http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=7&id=2574


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *