Oleh
Agung Wardana
Pasca pertemuan geothermal di Nusa Dua, Bali, tampaknya beberapa akademisi Bali kegenitan untuk membuka kembali luka lama proyek geothermal Bedugul yang selama ini dihentikan. Entah karena akan mendapatkan pencerahan dalam konferensi atau entah ada potensi proyek yang bisa digarap kembali. Sepertinya jalur lobi mereka sudah berjalan sedemikian cepatnya sebagaimana diberitakan oleh Bali Post (Kamis, 7/10). Oleh karena itu, rasanya penting melihat ada apa dalam konferensi tersebut, siapa yang bermain dan bagaimana hubungan antarpemain. Selain itu, penting juga untuk meletakkan konferensi ini dalam konteks perdebatan proyek geothermal Bedugul.
Jika ditelusuri, konferensi geothermal beberapa saat yang lalu disponsori oleh berbagai perusahaan multinasional yang mencoba peruntungan dari gas dan minyak ke panas bumi. Berbagai logo nama perusahaan besar muncul, yang sedang ”membersihkan” diri dari kotornya lumpur tambang gas dan minyak.
Memang upaya membersihkan diri ini bukanlah muncul dari kesadaran bahwa bumi makin renta dan bersama perusahaan multinasional kita berjuang menyelamatkan lingkungan. Melainkan, lebih disebabkan oleh naiknya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan yang berdampak pada makin terbukanya pasar produk ramah lingkungan. Masyarakat yang ramah lingkungan adalah pangsa pasar baru dalam menggarap bisnis energi terbarukan bagi perusahaan multinasional.
Di samping disponsori pemain besar, konferensi ini juga menghasilkan deklarasi yang disebut ”Deklarasi Bali”. Berbagai pendangan tentang segi positif dari energi panas bumi dipaparkan. Menariknya, dalam deklarasi juga menekankan pentingnya peranan investor besar yang sekaligus menjadi pemain utama dalam bisnis geothermal energi. Selain itu, juga dinyatakan bahwa berbagai rintangan dalam berinvestasi dan melakukan privatisasi energi panas bumi haruslah segera dihapuskan. Mirip Washington Consensus yang merupakan mantra ideologi neoliberalisme.
Proyek Geothermal BegudulPertanyaannya kemudian adalah apa hubungan para pemain besar, deklarasi dengan penghapusan rintangan berinvestasi ini dalam konteks proyek geothermal Bedugul. Jawabannya, sebenarnya tampak jelas dari peranan yang sedang diambil oleh para akademisi Bali dengan melemparkan wacana untuk membuka kembali proyek geothermal Bedugul. Yakni, memberikan legitimasi akademis terhadap rencana proyek serta melakukan lobi untuk menghapuskan hambatan investasi bagi sebuah perusahaan trans-nasional untuk masuk di Begudul.
Kemudian pertanyaannya siapakah perusahaan trans-nasional tersebut? Tidak banyak publik yang tahu karena seolah-olah perusahaan berkantor pusat di Bermuda ini kebal dari pemberitaan media. Panasnya diskusi geothermal di kalangan masyarakat Bali dan lobi para komprador dengan nikmatnya disuguhkan kepada para CEO-nya yang tinggal di luar negeri. Tidak banyak juga yang tahu bagaimana perubahan kepemilikan perusahaan pascaputusan Supreme Court of Bermuda (Mahkamah Agung-nya Bermuda) 2008 lalu. Gembar-gembor bahwa perusahaan milik putra daerah sejatinya hanya dijadikan tameng untuk menggalang simpati di kalangan masyarakat Bali.
Selain itu, belum juga terbuka dengan jelas mengenai peruntukan proyek. Untuk pembangkit listrik, pengembangan pariwisata spa dan eko-turisme, serta pusat kajian merupakan salah satu informasi yang selama ini dilemparkan kepada publik. Perusahaan tidak pernah menjelaskan secara terbuka tentang rencana mereka, apalagi berharap untuk menjelaskan tentang akuntabilitasnya sebagai korporasi.
Jadi perubahan pendapat dari beberapa pemuka adat ataupun agama di Bali tentang proyek geothermal Begudul adalah dampak dari ketidakterbukaan informasi. Jika saja semua informasi dibuka kepada publik, mungkin masyarakat akan lebih jernih untuk melihat di mana posisi mereka dalam perdebatan ini. Tidak saja informasi proyek tetapi juga pemainnya dan hubungannya dalam konstelasi ekonomi-politik, keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup di Bali.
Posisi Rakyat BaliRencana membuka proyek geothermal Bedugul sejatinya berjalan paralel dengan agenda neoliberal di bidang energi yang sedang digarap di Indonesia. Di mana segala sumber energi akan dikelola oleh perusahaan swasta atas nama efisiensi dan negara tidak bertanggung jawab lagi dalam memberikan pelayanan energi kepada rakyatnya.
Kemudian pertanyaannya, di mana posisi rakyat sebagai pemilik sumber daya alam tersebut? Dalam era kapitalisme neo-liberal, tidak ada yang namanya kepemilikan kolektif atas sumber daya alam. Jadi ketika sumber daya alam itu diserahkan kepada perusahaan, maka perusahaanlah yang punya hak monopoli atasnya. Jika rakyat tidak punya uang untuk membeli, maka jangan berharap korporasi menjadi dermawan dengan memberikannya secara cuma-cuma.
Masyarakat Bali secara umum tidak akan diuntungkan oleh proyek ini, melainkan hanya menebalkan isi kantong para elite dan oknum-oknum akademisi. Ada atau tidak ada proyek geothermal masyarakat Bali tetap harus membayar rekening listrik yang mereka gunakan. Yang terpenting adalah, memberikan kesempatan kepada korporasi untuk melakukan privatisasi sumber kehidupan yang sejatinya milik bersama, maka akan membawa masyarakat Bali menjadi tersingkir di atas ibu pertiwinya. Mari kita belajar dari dampak privatisasi korporasi di tempat lain.
sedang belajar di School of Law,
University of Nottingham, Inggris
telah dipublisikan pada 11 Oktober 2010 di Harian Bali Post:
http://balipost.com/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=7&id=4421
Leave a Reply