Merayakan Kebersamaan Petani Flores

Teriakan bergemuruh di aula itu menggetarkan. “Hidup petani! Hidup petani! Hidup petani!”

Sekitar 350 petani mengepalkan tangan bersama sambil berteriak memekikkan salam. Tua, muda, perempuan, laki-laki, juga beberapa bocah berdiri dalam dua kelompok berhadapan. Mereka saling membalas setelah bersama berteriak mengeja satu per satu huruf P-E-T-A-N-I.

Aula Paroki di Hokkeng, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur itu tak terisi penuh oleh mereka. Tapi, gema suara para petani itu membahana menembus ruang-ruang di dalamnya. Mengabarkan betapa kuatnya kebersamaan di antara sesama petani Flores.

Para petani, dan sebagian nelayan, itu mengikuti Musyawarah Besar (Mubes) Petani Nelayan Flores. Pertemuan empat hari ini diikuti petani dari seluruh kabupaten di Pulau Flores: Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, hingga Lembata. Dan, itu bukan hal mudah.

Petani dari Manggarai Barat di ujung barat Flores, misalnya, perlu waktu dua hari menuju tempat pertemuan ini. Mereka harus melewati jalanan turun naik berkelok-kelok dari Labuan Bajo hingga Hokkeng dengan bis.

Aku pernah menempuh perjalanan hanya separuh Flores dari Labuan Bajo hingga Ende selama lima hari. Itu saja rasanya tulang belulang hilang saking capeknya. Bagaimana dengan petani-petani yang melakukannya selama dua hari dari ujung barat ke ujung timur pulau ini?

“Capek. Tapi, rasanya seperti hilang ketika melihat sambutan dari teman-teman lain di sini,” kata Siti Rofi’ah, Ketua Asosiasi Petani Padi Organik Lembor (APPEL). Dia datang bersama 13 petani lain dari desanya.

Lalu, di Hokeng, mereka bertemu dengan ratusan petani dari desa-desa lain yang memiliki harapan sama tentang kemandirian petani Flores. Mereka melewati batas daerah, klan dan agama (di Flores ini sangat kuat pengaruhnya), komoditi, dan apa pun yang memisahkan petani satu dengan lainnya.

Kebersamaan itu sangat terasa. Ketika akan memasuki Kabupaten Flores Timur (Flotim), di mana Mubse diadakan, para petani peserta dari daerah lain menunggu dulu di perbatasan. Lalu, petani dari Flotim akan menjemput mereka dan mengaraknya keliling. Ini bagian dari upacara penyambutan di daerah setempat.

Kebersamaan itu lebih terasa selama Mubes. Para petani peserta Mubes tidur di rumah-rumah petani tuan rumah. Petani peserta juga membawa hasil pertaniannya sebagai bahan makanan. Beras, jagung, ketela, dan semacamnya. Mereka berbagi ruang. Juga pangan.

Di aula tempat Mubes, mereka bersama-sama mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi selama ini. Tak jelasnya komitmen pemerintah dalam mendukung kemandirian petani. Terus dijejalinya mereka dengan berbagai sarana produksi yang dihasilkan pabrik-pabrik berkedok organik. Atau terperangkapnya mereka pada sistem ijon atau pemerasan oleh para tengkulak.

Ada dua tema besar yang mereka diskusikan: pemasaran bersama dan kedaulatan pangan. Dua tema besar ini dibagi dalam lima sub tema yang didiskusikan dalam kelompok-kelompok lebih kecil. Misalnya, jaringan petani nelayan, penguatan kelompok tani, dan kedaulatan pangan. Satu sama lain berbagi pengalaman tentang keberhasilan ataupun kegagalan.

“Kami harus menciptakan sistem pemasaran bersama yang dibangun berlandaskan semangat dan komitmen sesama petani,” kata Darius Don Boruk, petani kakao di Hokeng.

Petani-petani itu menyatukan suara. Agar tuntutan mereka bergema. “Agar kami tidak terus diadu oleh kapitalis,” tegas Don.

Terdengar terlalu heroik. Tapi, ketika hadir di antara para petani itu, aku bisa merasakan semangat perlawanan dan perayaan kebebasan itu.

Merayakan Kebersamaan Petani Flores ~ 28/10/10

Teriakan bergemuruh di aula itu menggetarkan. “Hidup petani! Hidup petani! Hidup petani!”

Sekitar 350 petani mengepalkan tangan bersama sambil berteriak memekikkan salam. Tua, muda, perempuan, laki-laki, juga beberapa bocah berdiri dalam dua kelompok berhadapan. Mereka saling membalas setelah bersama berteriak mengeja satu per satu huruf P-E-T-A-N-I.

Aula Paroki di Hokkeng, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur itu tak terisi penuh oleh mereka. Tapi, gema suara para petani itu membahana menembus ruang-ruang di dalamnya. Mengabarkan betapa kuatnya kebersamaan di antara sesama petani Flores.

Para petani, dan sebagian nelayan, itu mengikuti Musyawarah Besar (Mubes) Petani Nelayan Flores. Pertemuan empat hari ini diikuti petani dari seluruh kabupaten di Pulau Flores: Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, hingga Lembata. Dan, itu bukan hal mudah.

Petani dari Manggarai Barat di ujung barat Flores, misalnya, perlu waktu dua hari menuju tempat pertemuan ini. Mereka harus melewati jalanan turun naik berkelok-kelok dari Labuan Bajo hingga Hokkeng dengan bis.

Aku pernah menempuh perjalanan hanya separuh Flores dari Labuan Bajo hingga Ende selama lima hari. Itu saja rasanya tulang belulang hilang saking capeknya. Bagaimana dengan petani-petani yang melakukannya selama dua hari dari ujung barat ke ujung timur pulau ini?

Capek. Tapi, rasanya seperti hilang ketika melihat sambutan dari teman-teman lain di sini,” kata Siti Rofi’ah, Ketua Asosiasi Petani Padi Organik Lembor (APPEL). Dia datang bersama 13 petani lain dari desanya.

Lalu, di Hokeng, mereka bertemu dengan ratusan petani dari desa-desa lain yang memiliki harapan sama tentang kemandirian petani Flores. Mereka melewati batas daerah, klan dan agama (di Flores ini sangat kuat pengaruhnya), komoditi, dan apa pun yang memisahkan petani satu dengan lainnya.

Kebersamaan itu sangat terasa. Ketika akan memasuki Kabupaten Flores Timur (Flotim), di mana Mubse diadakan, para petani itu menunggu dulu di perbatasa. Lalu, petani dari Flotim akan menjemput mereka dan mengaraknya keliling. Ini bagian dari upacara penyambutan di daerah setempat.

Kebersamaan itu lebih terasa selama Mubes. Para petani peserta Mubes tidur di rumah-rumah petani tuan rumah. Petani peserta juga membawa hasil pertaniannya sebagai bahan makanan. Beras, jagung, ketela, dan semacamnya. Mereka berbagi ruang juga pangan.

Di aula tempat Mubes, mereka bersama-sama mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi selama ini. Tak jelasnya komitmen pemerintah dalam mendukung kemandirian petani. Terus dijejalinya mereka dengan berbagai sarana produksi yang dihasilkan pabrik-pabrik berkedok organik. Atau terperangkapnya mereka pada sistem ijon atau pemerasan oleh para tengkulak.

Ada dua tema besar yang mereka diskusikan: pemasaran bersama dan kedaulatan pangan. Dua tema besar ini dibagi dalam lima sub tema yang didiskusikan dalam kelompok-kelompok lebih kecil. Misalnya, jaringan petani nelayan, penguatan kelompok tani, dan kedaulatan pangan. Satu sama lain berbagi pengalaman tentang keberhasilan ataupun kegagalan.

Kami harus menciptakan sistem pemasaran bersama yang dibangun berlandaskan semangat dan komitmen sesama petani,” kata Darius Don Boruk, petani kakao di Hokeng.

Petani-petani itu menyatukan suara. Agar tuntutan mereka bergema. “Agar kami tidak terus diadu oleh kapitalis,” tegas Don.

Terdengar terlalu heroik. Tapi, ketika hadir di antara para petani itu, aku bisa merasakan semangat perlawanan dan perayaan kebebasan itu.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *