Kisah di Balik Kuliner Semarang

image

“Mbak, saya daftar perjalanan ke Semarang karena kangen lumpia,” kata saya berkali-kali ke panitia famtrip #SemarangHebat.

Tak hanya dapat lumpia, juga kisahnya. Dan tak hanya narasi soal lumpia. Juga es Cunglik (dibaca conglik), lontong Cap Go Meh, dan sego Kethek. Hikz, kisah di balik bandeng Juwana kelewatan karena LionAir Dps-Sby-Smg delay hampir 4 jam saat transit Surabaya. Isshh…

3:03 AM hari Rabu di Denpasar saat ngblog via ponsel ini, tiga hari setelah balik Semarang saya masih punya stok lumpia udang dan ayam di kulkas. Sarapan hari ke-3 dengan lumpia. Oh bahagia.

Mungkin sebahagia ini rasanya ketika sepasang kekasih, seorang perempuan Jawa dan lelaki Cina berjodoh dan menemukan rejekinya lewat lumpia. Konon, keduanya sama-sama berjualan camilan. Si perempuan dagangannya sangat laris. Sementara laki-laki penjual heran kenapa dagangannya tak selaris dia.

Setelah diselidiki, karena mengandung babi sementara ia menjual di daerah mayoritas Muslim. Berduetlah pasangan ini mengolah camilan tanpa daging babi yang diberi nama kue gulung. “Kini usahanya sudah generasi keempat,” seru Jongkie Tio pemilik Resto Semarang yang legendaris ini.

Saya mendengarkan pria pelestari kuliner nusantara ini sambil tetap mengunyah lumpia olahan Resto Semarang. Di sini lumpianya lebih padat, tak ada ruang kosong antara kulit lumpia dengan cacahan daging dan rebung. Setelah digoreng dipotong-potong sekitar 1 cm saat disajikan. Jadi tinggal comot dan hap. Bahkan sarapan pertama di Semarang lumpia. Oh semesta mendukung.

Jongkie Tio sangat ramah. Pria kelahiran 1941 ini melanjutkan kisah tentang Cap Go Meh. Saya beberapa kali beli lontong berjudul ini di Denpasar dan jauhhh sekali dengan yang otentik. Baru tahu setelah nyam nyam, mengaduk 12 lauk dan taburannya bersama kuah santannya yang tipis, tak pekat. Ada bubuk kedelai, irisan rebung, tahu, buncis, telur rebus, dan lainnya.

Seorang Cina perantauan di Semarang sangat senang kerap mendapat lontong saat lebaran oleh tetangga Muslimnya. Ia teringat perayaan Cap Go Meh di Cina yang pikuk dengan aneka lauk di meja makan. Karena merasa kere, ia bersiasat menggunakan lontong dan menambahkan lauk-lauk sederhana di rumahnya. Walla… jadilah lontong dengan siraman santan dan topping 12 tadi. Yumm… Lontongnya dipotong-potong agar menyerupai bulan purnama, bulat penuh. Ihh jadi gak enak melahapmu, bulan.

Monggo ke Resto Semarang menikmati kisah kuliner kolaborasi Cina-Jawa olahan istri Jongkie Tio. Harganya terjangkau dari Rp 12-40 ribu se porsi.

Usai makan siang kami diajak menjelajah Pecinan, dipandu tiga anak muda peranakan Cina atraktif Michael Deo, Sherly, dan Manda, perempuan berjilbab yang fasih sekali berbahasa Mandarin. Ia menyambut kami dengan bahasa milyaran umat itu. Asyikkk…

Perjalanan Pecinan saya kisahkan di postingan lain biar kita fokus pada makanan dulu.

Malam di pusat kuliner Semawis Pecinan sangat berkeringat. Para pembeli dan pedagang sama sibuknya. Kami sibuk cuci mata bingung menentukan pilihan dan pedagang berkeringat melayani antrian pembeli.

Wuah, untuk kali pertama saya melihat penganan bernama unik-unik di sini. Sebagian menu gaul macam churos, es pop, dan sejenisnya. Sebagian menu tradisional. Ada camilan Korea, pecel, Sulawesi, Sumatera, dan ah tak bisa disebutkan semuanya. Karena baru jalan setengah saja sudah letih. Jadi, tenda-tenda Semarang Wisata aka Semawis di Pecinan ini membentang di seruas jalan raya. Seperti Kya Kya di Surabaya yang sudah hilang. Tapi super rame.

Sampai akhirnya berhasil ngunyah sego ayam. Banyak dijual di Simpang Lima, seperti sego kucing angkringan Jogja tapi lauknya ayam goreng suwir dan telur diguyur kuah santan dan tambahan sayur labu siam yang gurih.

Makanan penutunya es Kacung Cilik alias conglik yang maklegender. Mirip es puter dengan varian aneka rasa tapi lebih mulus dengan toping kopyor muda. Slurrp…

image

Ceritanya seorang pembantu atau kacung rumah makan merasa bosan bekerja dengan majikannya. Ia mencoba dagang es dan sukses. Es conglik ini jejaknya, membekukan sejarah kuliner lekat dengan aroma peranakan ini. Ah, akulturasi itu selalu memperkaya bukan meniadakan. Inilah kehebatan Semarang.

Barangkali satu-satunya menu yg khas Jawa dan saya coba dalam perjalanan 7-8 Mei lalu adalah sego Kethek ini.

image

Kethek dalam bahasa Jawa artinya monyet. Nasi cantik berbungkus daun jati ini lekat dengan kisah monyet ekor panjang atau Macaca yang menghuni Desa Kandri dan Goa Kreo di pinggiran Semarang.

Monyet-monyet ini bersahabat dengan manusia. Walau Desa Kandri penuh pangan dan buah-buahan kawanan monyet disebut tak pernah merusak kebun. Monyet ini dihormati karena kisah Goa Kreo yang akan saya ceritakan di bagian lain tulisan ini.

Tak banyak daerah yang menjaga cerita lisannya, terutama soal kulinernya. Bahagia sekali saya tak hanya kenyang raga di Semarang. Juga kenyang jiwa.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *