Kepentingan Modal Di Balik Nasionalisme Kita

oleh:



Agung Wardana



Masuknya kapal perang Malaysia ke perairan Indonesia di Blok Ambalat membuat hubungan kedua negara menjadi tegang. Sentimen nasionalisme pun dihembuskan oleh elit nasional untuk menarik simpati rakyat di tengah hiruk pikuk kampanye menjelang Pemilu Presiden. Sentimen ini memancing bangkitnya rasa nasionalisme masyarakat untuk mengambil peran membela NKRI. Buktinya, dengan mudah kita temukan berbagai organisasi massa siap dikirim ke Ambalat untuk berperang melawan Malaysia.

Pertarungan atas nama nasionalisme ini juga terjadi di dunia maya (internet), antar kedua kelas menengah dengan jalan mencela dan menjelek-jelekkan satu sama lainnya. Misalkan yang berasal dari Indonesia menjuluki Malaysia sebagai “Malingsial” karena dianggap telah mengklaim artefak budaya Indonesia. Sedangkan yang berasal dari Malaysia menyebut Indonesia dengan “Indon” yang merupakan julukan berkonotasi negatif yang biasa diucapkan untuk mencaci maki TKI di Malaysia.

Apakah benar sentimen Anti Malaysia merupakan bentuk pengejawantahan dari rasa nasionalime kita? Atau sebenarnya ada sebuah kepentingan bekerja di luar kesadaran yang memposisikan kita layaknya sebuah pion catur?

Melihat Malaysia Dari Dalam

Malaysia memiliki luas daratan 329.847 km persegi dengan penduduk sekitar 27,730,000 orang yang dibagi menjadi dua golongan yakni Bumi Putera dan Non-Bumi Putra. Golongan Bumi Putera yang berjumlah 65% penduduk Malaysia masih dibagi lagi menjadi 2 kelompok yakni Bumi Putera Melayu dan Bumi Putera Non-Melayu. Bumi Putera Non-Melayu merupakan bangsa asli seperti etnik Iban dan Kadasar yang menempati Sabah, Serawak (Borneo) dan Orang Asli yang menempati Peninsular Malaysia.

Golongan Non Bumi Putera terdiri dari China 26%, India 8% dan etnik lainnya sebesar 1%. Golongan Non Bumi Putera ini sebagain besar sebagai penggerak urat nadi ekonomi Malaysia di sektor barang, jasa (profesional) dan bahkan tenaga kasar. Sedangkan golongan Bumi Putera Melayu memegang kendali pemerintahan daik dari level lokal hingga kerajaan.

Di Malaysia, kelas menengah yang mengalami kemandekan ekspresi budaya dan politik, kemudian mencoba membangkitkan sebuah nasionalisme baru tanpa batas ras dan etnik. Karena selama ini kebijakan politik dibuat oleh penguasa dari ras Melayu menyebabkan terkekangnya ekspresi budaya dan politik dari ras yang lain seperti China, India dan bahkan Bhumi Putera Non-Melayu seperti Orang Asli.

Seorang teman mengatakan bahwa kelas menengah yang berupaya ‘melawan’ Indonesia harus dilihat sebagai sebuah pelampiasan mereka sebagai korban diskriminasi namun tidak mampu melawan sistem politik Melayu yang dibangun. Atau dengan sederhana dapat dianalogikan seperti seorang manajer perusahaan yang tidak mampu melawan perlukuan sewenang-wenang dari sang direktur, kemudian melampiaskan kemarahannya kepada bawahannya yang lebih lemah.

Pertanyaannya, mengapa mereka memilih melampiaskannya kepada Indonesia? Jelaslah karena Indonesia dipandang lebih lemah sebagaimana direpsentasikan oleh tenaga kerja asing di Malaysia yang sebagian besar merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Selain itu ras Melayu yang mendominasi Malaysia merupakan ras yang berasal dari Indonesia, maka Indonesia dilihat sebagai pusat masalah penyebab rasisme di negerinya.

Kemudian, mengapa TKI juga mendapat perlakuan tidak adil dari Pemerintah Malaysia padahal TKI memiliki asal yang sama dengan bangsa Melayu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, analisa ras tidaklah cukup memadai melainkan harus menggunakan analisa kelas. Bahwa TKI atau buruh migran dari Burma atau dari negara mana pun adalah merupakan pekerja kasar (kelas bawah) yang cenderung mendapatkan perlakuan berbeda dari kelas berkuasa.

Di kelas bawah sendiri sungguh tidak berbeda dengan apa yang sedang dihadapi oleh rakyat Indonesia. Penggusuran kaum miskin kota untuk mengembangan kawasan perkotaan yang metropolis-kapitalistik, pengambilalihan tanah-tanah ulayat Orang Asli untuk kepentingan Taman Nasional dan Kebun Raya demi menunjang industri pariwisata Malaysia. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, pembangunan dam skala besar menyisakan penderitaan rakyat Malaysia akibat dari penindasan penguasa politik dan modal.

Sentimen nasionalisme yang coba dihembuskan di kedua negara merupakan manuver elit untuk mengalihkan perhatian rakyatnya kepada sebuah ancaman dari luar. Sehingga isu kegagalan negara dalam menjamin pemenuhan hak asasi manusia di dalam negerinya tergantikan dengan pemberian legitimasi bagi negara untuk mempertahankan kedaulatannya.

Jadi siapa sebenarnya yang paling diuntungkan oleh situasi ini?

Siapa Mendapat Apa?

Blok Ambalat yang diperebutkan tersebut terletak di Kepulauan Borneo (Kalimantan) dan memiliki kandungan minyak yang sangat besar dan ingin dikuasai oleh banyak perusahaan minyak dunia. Karena letaknya di perbatasan jadi agak menyulitkan untuk menentukan siapa sebenarnya yang memilik kawasan tersebut. Indonesia sendiri telah menandatangani kontrak dengan Emi Ambalat Ltd (Italia) dan Unocal Indonesia Ventures Ltd (AS) sedangkan disisi lain Malaysia juga telah berkontrak dengan Shell (Belanda) dan Petronas untuk ladang minyak yang sama.

Apakah jika Indonesia menang dalam perang memperebutkan Ambalat akan berkorelasi positif terhadap kemakmuran rakyat? Atau justru akan memperoleh keuntungan paling besar adalah perusahaan yang diberikan konsesi oleh negara untuk melakukan eksploitasi kandungan minyak di dalamnya. Seperti sebagian besar kontrak-kontak minyak dan gas bumi di Indonesia lebih menguntungkan perusahaan multinasional dari pada negara. Sedangkan rakyat tetap harus membeli bahan bakar minyak sesuai dengan harga pasar dunia.

Untuk isu klaim artefak budaya yang dipatenkan, maka kita harus melihatnya lebih luas tidak sekedar dua bangsa saja. Hak kekayaan intelektual di-globalisasi kan oleh World Trade Organization (WTO) untuk memuluskan agenda pengerukan keuntungan di negara selatan. Sebuah artefak budaya merupakan hak kolektif yang bisa dinikmati oleh semua orang, namun lewat kebijakan hak kekayaan intelektual berkaitan dengan perdagangan maka memungkinkan lahirnya monopoli atas suatu artefak dan bahkan komodifikasi kehidupan.

Ketika sebuah artefak Indonesia di klaim oleh Malaysia, kembali terjadi ketegangan antar kedua negara. Tetapi mengapa ketika Jepang mematenkan kunyit, justru tidak pernah menimbulkan ketegangan yang serupa? Apakah kunyit kurang berarti jika dibandingkan dengan artefak budaya? Atau sebenarnya ada kepentingan modal yang bekerja di balik nafsu kita untuk menggayang negeri tetangga?

Penulis, Aktivis Lingkungan


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *