Kecantikan Bukan sebagai Standar Kesuksesan Perempuan

Pekerja perempuan di Koperasi Kerta Samaya Samaniya Jembrana memilah kakao hasil fermentasi. Foto Anton Muhajir.

Oleh Gladis Desyani Putri

“Kopi cokelat” begitu kerap saya menyebutnya ketika masih belia.

Tidak pernah terpikirkan bahwa buah berbentuk oval dan dominan berwarna hijau ini ternyata memiliki segudang manfaat dan peran. Siapa yang tidak mengenal cokelat? Remaja Indonesia tentu sangat menyukai olahan pabrik satu ini. Bukan hanya manis, tetapi juga lezat. Buah ini juga telah diteliti mampu melepaskan hormon endorfin ke otak sehingga memicu perasaan bahagia pada konsumenya.

Kabupaten Jembrana merupakan salah satu penghasil buah kakao di Bali. Sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Bali, Jembrana bukanlah tempat ramai atau sarat dengan kemacetan. Kabupaten ini lebih terasa sunyi dan tenang. Seolah semua penduduknya bergerak perlahan.

Namun, kini Jembrana tidak akan lagi dipandang sebelah mata karena buah kakao.

Buah yang disebut “makanan para dewa” (the food of the gods) ini dikenal sebagai bahan pembuat makanan seperti bubuk cokelat yang dipakai dalam pembuatan kue, dan permen cokelat. Carolus Linnaeus, ahli botani dari Swedia, memberikan nama Latin “Theobroma cacao” untuk tanaman kakao pada 1735. “Theobroma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “makanan para dewa” sedangkan “cacao” adalah bahasa Maya yang merujuk pada tanaman kakao.

Linnaeus menggunakan nama ini karena pengaruh literatur Bangsa Spanyol yang menceritakan mengenai bangsa Maya dan Aztek. Mereka mengasosiasikan kakao dengan para dewa dan sering menggunakannya dalam ritual keagamaan. Meskipun berasal dari dataran Amerika, kakao kini ditanam di kawasan tropis, termasuk Indonesia. Kakao telah dibudidayakan secara luas di Indonesia sejak tahun 1970. Kakao menjadi salah satu andalan ekspor non migas milik Indonesia (Wardani, 1988).

Menurut Morganelli (2006) cokelat merupakan hasil olahan biji kakao (Theobroma cacao) yang tumbuh pertama kali di hutan hujan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Sejarah mengenai cokelat dimulai dari ditemukanya cokelat oleh Bangsa Olmek di Amerika Selatan tiga ribu tahun lalu. Bertahun-tahun setelah bangsa Olmek punah, cokelat pun masih dinikmati Bangsa Maya yang menghuni Amerika Selatan. Olahan dari tanaman kakao ini, secara historis berasal dari Amerika dan disebarkan ke wilayah Indonesia akibat pengaruh Spanyol pada tahun 1560 tepatnya di Minahasa.

Setelah membaca dari beberapa literatur, saya menyimpulkan bahwa tingkah petani yang hanya kenal instan dan sukar menerima perubahan menyebabkan kualitas kakao di Indonesia tidak pernah meningkat. Hingga saat ini, Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana di Afrika Barat.

Namun, sayangnya, kualitas kakao Indonesia masih rendah di pasar internasional. Kakao Indonesia didominasi oleh biji-biji tanpa fermentasi, biji dengan kadar kotoran tinggi serta terkontaminasi serangga, jamur dan mikotoksin (Wahyudi, et al., 2007).

Untuk menghasilkan produk cokelat berkualitas, diperlukan sebuah perhatian khusus terutama dalam tahap fermentasi. Fermentasi merupakan inti dari proses pengolahan biji kakao. Proses ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan biji kakao dari pulp (daging buah) dan mematikan biji, tapi juga memperbaiki dan membentuk cita rasa cokelat yang enak serta mengurangi rasa sepat dan pahit.

Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Savitri, kurangnya perhatian para petani pada proses fermentasi inilah yang menyebabkan produksi biji kakao Indonesia kalah dengan produksi Pantai Gading, Ghana, dan Nigeria. Bahkan, di Jepang, biji coklat dari Indonesia hanya untuk makanan ternak karena kualitasnya rendah.

Dewi dalam Keluarga

Bali telah banyak dikenal hingga kancah internasional sebagai daerah pariwisata. Kultur budaya dan keindahan alamnya menarik turis domestik dan mancanegara untuk bertandang ke Bali. Namun, kini Bali juga memiliki potensi lain yang tak kalah menarik, kakao fermentasi dari Jembrana. Kabupaten di ujung barat Bali ini telah mengirim 11 ton kakao fermentasi dengan tujuan 5 ton ke Perancis, 2 ton ke Jepang, dan 4 ton. Semuanya adalah simbol keberhasilan usaha petani anggota Koperasi Kerta Semaya Samaniya.

Petani kakao yang tidak mengenal lelah dan terus memupuk semangat untuk lebih baik adalah kunci sukses utama keberhasilan Jembrana. Mendengar kata “petani”, masyarakat mungkin akan cenderung terbayang dengan kehidupan penuh peluh, kotor, dan tentu saja seorang laki-laki dengan cangkul sebagai senjata utamanya. Namun, di era globalisasi yang sudah mengakui emansipasi wanita, peran petani tidak hanya diambil laki-laki.

Ungkapan perempuan sebagai dewi dalam keluarga mungkin cocok dikenakan pada kaum hawa di seluruh dunia. Standar yang sedari dulu dipergunakan oleh perempuan hanya tentang kecantikan dan ketrampilan dalam mengurus suami beserta anak. Namun, tidakkah perlu untuk memberikan kesempatan lebih bagi kaum hawa untuk merentangkan sayapnya? Terutama wanita yang gemar bertani.

Menjadi petani tidak hanya tentang mencangkul di sawah atau pulang dengan baju lusuh dan kotor. Seorang petani juga memiliki harkat dan martabat sendiri. Tidak dipungkiri bahwa seorang petani merupakan seorang pengusaha bertamengkan kebun dan lahan.

Seorang petani kakao dituntut untuk tekun dan sabar. Perempuan sebagai insan yang lembut tentu saja memiliki kemampuan jika diberikan kesempatan untuk menekuni bidang ini. Bukan karena keterpaksaan, tetapi dari hati nurani murni ingin mandiri. Seperti dilansir dari sumber-sumber di Internet, diskriminasi gender masih kerap terjadi. Misalnya dalam hal perbedaan penentuan tugas karena jenis kelamin, bukan berdasarkan kompetensi dan kemampuan. Adapun kesetaraan gender merujuk kepada suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban.

Menjadi petani tidak mesti tampak lusuh, tapi tidak juga takut kotor. Sebuah kerja keras tidak bisa didapat jika setengah-setengah. Karena itu, perempuan belia seperti saya ini supaya jangan takut mencoba hal baru. Para petani kakao Jembrana telah membuktikanya. Kerja keras dan kuatnya pemberdayaan perempuan sehingga timbul hubungan kerja sama yang timbal balik, membuahkan hasil hingga ke kancah dunia.

Pahlawan Agronomi

Secara khusus saya sempat berbincang dengan salah satu petani wanita yang sudah terjun ke bidang ini sejak ia menikah. “Pernah belajar akuntansi pada salah satu universitas di Jakarta, eh, tidak disangka malah menjadi petani kakao untuk membantu suami,” ungkap Ni Made Budi Ayu Anggreni saat kami datangi di kediamanya.

Beliau menceritakan pengalaman pertamanya saat menginjakkan kaki di kebun. Sedari kecil ia hanya fokus pada pendidikan dan sesekali membantu keluarga berdagang. Sama sekali tidak pernah beroikir akan menjadi seorang petani seperti sekarang membuat Kadek Ayu, begitu kerap ia disapa, tidak memiliki pengalaman dan gambaran pasti mengenai dunia pertanian.

Pengalaman menggelikan pun tidak luput ia rasakan ketika pertama kali berada di kebun suami yang diwariskan turun temurun tersebut. Salah satunya saat salah mengira biji nangka sebagai biji kakao. Kedua biji ini memang agak mirip hanya saja memiliki perbedaan dari segi ukuran. Biji nangka lebih besar daripada biji kakao.

“Suami saya sampai tertawa, padahal sudah dapat satu ember,” ucap Kadek Ayu sambil tertawa geli mengingat kejadian itu. Memulai sesuatu dari dasar ketika sudah menikah begini merupakan sesuatu yang unik dan menantang untuk Kadek Ayu. Dia menerangkan, awal mula niatnya hanya untuk membantu suami karena mertua tidak di rumah dan dia sendirian. Bahkan ketika telah dikaruniai seorang putri yang cantik jelita, Kadek Ayu tidak vakum dari kegiatanya bertani kakao.

Kadek Ayu menuturkan dengan senyum semringah mengingat momen pertama ia mengajak kedua putrinya ke kebun. Keduanya tampak senang dan tidak lupa pula ikut membantu. Kedua malaikatnya itu akan mengumpulkan biji kakao kemudian dibawa pulang dan dijemurnya. Setelah itu mereka sepakat menjual biji tersebut kepada guru di sekolah mereka yang juga kebetulan pedagang biji kakao.

Uang hasil penjualan ditabung di bank. Inginnya digunakan untuk keperluan masa depan. Kadek Ayu dan suami telah mengajarkan buah hatinya untuk hidup mandiri dan mencintai pekerjaan kedua orang tuanya.

Kadek Ayu tersenyum sendu sambil menatap kami. “Saya nggak mau mereka merasa malu dan terintimidasi oleh ejekan dari teman-temanya karena kami hanyalah petani kakao. Saya dan suami ingin menanamkan pada mereka bahwa petani kakao juga pahlawan, tapi di ladang,” ujarnya.

Ajaran itu pun tidak sia-sia karena kedua putri mereka kini telah sukses dengan jalan masing-masing. Kini tinggal si bungsu yang masih duduk di sekolah menengah pertama.

Seorang ibu, istri, sekaligus petani wanita yang mengurus kebun bukanlah pekerjaan yang dibilang mudah. Bangun di pagi hari, menyiapkan sarapan untuk anak-anak sekolah. Lalu siangnya berangkat ke kebun hingga sore menjelang. Belum lagi mengurus pekerjaan rumah seperti bersih-bersih, mencuci, dan memasak merupakan tanggung jawab besar bagi Kadek Ayu. Beliau tidak ingin hal tersebut menghalangi jalanya untuk tetap bertani kakao.

Ibu beranak tiga itu yakin jika sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesabaran, sesulit apapun itu pasti akan diberikan jalan oleh-Nya. Benar saja, masa-masa penuh tantangan ketika harus mengurus si kecil di rumah dan bertani kakao berhasil Kadek Ayu lewati dengan lancar.

“Dulu saya ini juga termasuk perempuan manja di masa muda. Suka belanja, berpenampilan cantik. Ah, pokoknya yang kayak gitu! Tapi sekarang saya sadar bahwa itu semua bukan segalanya,” tuturnya. Lagi-lagi dengan senyum khas di wajahnya.

Kadek Ayu menyayangkan pendidikanya yang tidak bisa lancar hingga usai dikarenakan sakit. Namun, kini ia tidak lagi menyesal karena menyadari bahwa inilah jalan yang ditunjukkan Tuhan. Memiliki suami, tiga anak yang jelita, dan menjadi petani wanita kakao yang berperan dalam memajukan kakao Jembrana merupakan jawaban Tuhan atas hal-hal malang yang menimpanya dahulu. Ia sangat bersyukur.

Wanita berumur 45 tahun ini merasa tidak terbebani dengan profesinya sebagai petani. Malahan merasa sangat menikmatinya. Menurut Kadek Ayu, petani meskipun lusuh-lusuh begitu sebenarnya juga berjasa dalam menghasilkan bahan pangan. Penghasilannya pun tidak kalah dengan pekerjaan orang elite jika musim panen tiba.

Intinya adalah tentang kesabaran dan tekun. Apalagi saat serangan hama beberapa tahun silam. Kala itu keadaan sungguh kacau. Kadek dan suami kebingungan, padahal sudah mencari di berbagai sumber, tidak juga membuahkan hasil. Hingga akhirnya kedua pasangan petani ini mengenal sistem sambung pucuk, samping, dan batang. Keadaan pun kembali pulih.

Lagi-lagi bicara soal takdir. Tidak lama setelah itu, tepatnya akhir 2015, mereka dipertemukan dengan Koperasi Kerta Semaya Samaniya (KSS) dan Yayasan Kalimajari. Mulai dari sini kerja sama dan kerja keras kedua belah pihak digencarkan. Lika-liku akibat musim yang tidak stabil, serangan hama penggerek buah kakao (PBK), dan belum ditemukanya skill yang tepat dalam memfermentasi biji kakao pun dihadapi.

Sampai akhirnya kakao fermentasi Jembrana berhasil mendapatkan perhatian dunia. Sejumlah besar buah kakao hasil fermentasi dari Jembrana diekspor ke luar negeri dan berhasil menyabet sertifikat Cacao Excellent 2017, di Paris, Perancis.

Kabupaten Jembrana, khususnya di Koperasi KSS menjadi daerah pertama di Indonesia yang berhasil menyabet penghargaan kelas dunia dalam hal fermentasi kakao. Hal ini merupakan sesuatu yang membanggakan sekaligus mengharukan, mengingat segala dan serta pengorbanan sejumlah komponen koperasi yang terlibat dalam keberhasilan ini. Tidak luput juga peran petani kakao yang atas kerja kerasnya mampu menghasilkan biji berkualitas dan mempertahankan kebun yang terserang hama kala itu. Dalam konteks lebih khusus dari topik yang sedang saya bicarakan, petani wanita juga memegang andil penting.

Kala itu saya dan rekan saya mengunjungi Koperasi KSS. Kami bertemu dengan beberapa petani wanita yang bertugas di penyortiran biji. Semua petani tersebut sangat ramah dan menerima kehadiran kami dengan tangan terbuka. Ketika ditanya soal peran wanita dalam program kakao lestari, mereka memberikan jawaban sederhana namun membuat diri saya baru sadar akan potensi yang dimiliki wanita.

Salah satu petani wanita, Ibu Kerti, menuturkan bahwa penyortiran biji memerlukan kesabaran dan ketelitian. Seorang laki-laki mungkin bisa melakukanya juga, akan tetapi bakat wanita yang merupakan bawaanya dari lahir tentang keterampilan semacam itu tidak bisa diremehkan. Petani wanita ini secara khusus terjun di bidang pengolahan biji kakao sedangkan Ibu Kadek Ayu yang merawat pohon kakao di kebun. Keduanya sama-sama petani wanita kakao di Jembrana dengan peran yang berbeda namun untuk tujuan yang sama.

Kenapa Tidak?

Tingginya peran perempuan di Koperasi KSS, baik dari kebun maupun pengolahan, menunjukkan pentingnya kesetaraan gender dalam pertanian, termasuk kakao berkelanjutan di Jembrana. Petani laki-laki dan perempuan tidak boleh dibeda-bedakan haknya. Kepala Bidang Dinas Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Jembrana, Ni Ketut Arwati, S.Pd, menyatakan ketidaksetujuanya tentang perbedaan hak antara perempuan dan laki-laki pada beberapa aspek kehidupan. Salah satunya dalam memilih pekerjaan dan meneruskan kehidupan.

“Tapi saya juga tidak bisa menyalahkan, sih. Adat purusa di Bali membuat ini susah,” pungkas ibu dua orang anak ini. Budaya yang telah masyarakat yakini sejak dahulu sungguh sulit untuk diubah, meski demi kebaikan dan merupakan bentuk dari proses penyesuaian terhadap globalisasi.

Bagaimanapun, salah merombak tradisi di masyarakat akan menimbulkan perpecahan dan konflik. Anggapan bahwa perempuan hanya bertugas melayani suami dan tidak diberi kesempatan bekerja serta memperluas pengetahuan, sampai saat ini masih saja tertanam dalam benak masyarakat. Mereka belum memahami situasi dunia yang tidak bisa kaku semacam itu.

Akan tetapi, suasana menjadi sedikit canggung setelah membicarakan adat dan nasib perempuan di masa lalu. Ibu Arwati tersenyum dan menatap kami, seolah tidak ingin membuat kami yang masih menempuh pendidikan ini ikut terseret arus. Melihat suasana telah kembali normal, akhirnya kami mulai pada bagian inti yaitu mengenai petani wanita kakao di Jembrana.

“Saya sih setuju-setuju saja dengan wanita yang bertani. Kenapa tidak? Kalau karena gengsi dan takut kotor, itu sih cuma kedok supaya bisa malas-malasan di rumah,” ujarnya sambil mengerling pada kami berdua. Melihat reaksi kami yang salah tingkah, beliau melanjutkan. “Maksud ibu, perempuan juga bisa. Srikandi bahkan bisa membunuh ksatria termasyur semacam Bhisma bukan? Saran saya, tidak perlu gengsi asalkan pekerjaanya positif,” ujarnya.

Banyak pengaduan yang pernah Ibu Arwati terima, tapi yang paling melankolis adalah kasus sepasang suami istri berseteru karena dimulai dari media sosial. Sambil menceritakanya, wanita umur 53 tahun itu menyuguhkan kami segelas air dan beberapa kali bertanya mengenai prospek kami ke depan. Pembicaraan dengan beliau sungguh ringan dan keibuan. Tidak lupa, di akhir percakapan kami Ibu Arwati kembali membuka suaranya.

“Kapan-kapan saya mau, deh, berkunjung ke kebun kakaonya. Siapa tahu tertarik bertani juga!” Kami berdua tersenyum mendapat respon menyenangkan tersebut.

Meninjau hal yang telah saya paparkan, menurut saya pemberdayaan perempuan perlu lebih digencarkan lagi dengan menyadari kelebihan yang dimiliki insan bernama wanita ini. Dengan memberikan kesempatan untuk berkembang. Tidak memandangnya sebelah mata seolah wanita hanya pelengkap dan tidak bisa berdikari. Saya rasa cukup dimulai dari diri sendiri dan lingkungan sekitar.

Dari diri saya sendiri yang kebetulan juga merupakan seorang perempuan yang masih menuntut pendidikan, saya menyadari betapa pentingnya pendidikan dan kerja keras. Menekuni bidang yang diminati adalah sebuah pilihan tersendiri. Bila minat saya berada di pertanian kakao, mengapa tidak?

Sedangkan dari lingkungan sekitar saya rasa lebih banyak untuk melibatkan wanita dalam setiap program, khususnya dalam hal ini yaitu program kakao lestari. Bahwa potensi yang ada pada diri wanita tidak akan pernah mencuat jika tidak ada rasa saling menghargai dan membutuhkan. Seseorang akan memberikan hal lebih dari kemampuanya ketika merasa dihargai.

Harapannya, semoga peran perempuan dalam program kakao lestari dapat lebih diapresiasi lagi. Misalkan dengan tidak mencibir setiap langkah yang ia tempuh jika tidak merugikan siapapun. Karena sosok dewi ini pun dapat memimpin tanpa terus harus dipimpin. [b]

Keterangan: Artikel ini merupakan salah satu dari tiga karya terbaik dalam Anugerah Jurnalisme Siswa (AJS) 2019 yang diadakan Yayasan Kalimajari dan Koperasi Kerta Semaya Samaniya (KSS)

The post Kecantikan Bukan sebagai Standar Kesuksesan Perempuan appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *