Jalan Berliku Hasil Pertanian Lokal

Terserahlah. Aku tidak akan pernah bosan menulis tentang ini.

Negara kita kaya raya. Kaya banget. Sayangnya kekayaan itu justru tak diurus dengan baik. Tidak diolah. Atau malah dilupakan.

Pikiran itu muncul lagi setelah aku liputan ke Sulawesi Tengah minggu lalu. Kali ini tentang rantai pemasaran kakao di wilayah program VECO Indonesia yang baru tersebut.

Perjalanan kali dimulai dari pengenalan program VECO Indonesia di Parigi Moutong. Ini wilayah baru bagi lembaga donor bagi pertanian berkelanjutan, tempat aku bekerja sejak 2007 lalu. Mulai tahun ini, kami mendukung rantai kakao di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Sebelumnya, VECO Indonesia mendukung organisasi petani dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk rantai kakao di Polewali Mandar (Polman) Sulawesi Barat. Kini, teman-teman dari Polman mendampingi petani kakao di Parigi Moutong, terutama di Kecamatan Parigi dan Tinombo.

Sehari setelah pengenalan program di Parigi, aku dan staf VECO Indonesia bersama mitra di sana mengunjungi petani kakao di Dusun Tompeng, Desa Okualas, Kecamatan Tinombo.

Tinggal di pegunungan dengan jalan rusak parah tentu jadi masalah bagi petani di sini. Namun, sisi baiknya, mereka justru bergantung pada alam. Tidak pakai bahan kimia sama sekali dalam praktik pertaniannya, apakah itu pupuk ataupun pestisida.

Sayangnya, petani setempat juga tak kenal teknologi budi daya yang lebih baik. Mereka menanam pohon kakao dan membiarkannya begitu saja. Tak ada pemangkasan. Tak ada pemupukan.

Hasilnya jadi tak terlalu bagus. Apalagi, menurut para petani, cuaca memang sedang tidak bagus. Terlalu banyak hujan. Akibatnya, buah kakao jadi rusak. Hitam tapi berjamur. Hasil panen pun turun.

Padahal, daerah ini sebenarnya sangat kaya dengan kakao. Wilayah subur tanpa bahan kimia menjadi nilai tambah. Kakao di sini sudah mendapatkan sertifikat sebagai kakao organik dari lembaga sertifikasi Rainforest Alliance (RA). Dengan sertifikat RA ini, kakao dari Tinombo bisa diekspor ke pasar internasional.

Meski berada di wilayah dengan medan sulit dan terpencil, kakao Tinombo memenuhi standar kakao ekspor.

Dari dusun-dusun terpencil di pegunungan Tinombo, kakao kemudian diekspor melalui rantai pemasaran yang lumayan panjang.

Rantai pertama di tingkat dusun. Pengepul di tingkat dusun akan membeli buah kakao yang sudah dikeringkan dari tiap petani. Karena lokasi tempat tinggal yang terpencil dan susah diakses, petani setempat lebih suka jika kakao mereka dibeli dengan sistem jemput bola.

Mereka tinggal menunggu pembeli, tak usah repot menjual.

Dari pengepul di tingkat dusun, kakao kering ini akan dibawa ke pengepul di tingkat desa. Ini rantai kedua. Namun, kadang ada yang langsung membawa dari tingkat dusun ke tingkat kecamatan, seperti di Tinombo.

Tantangannya, para pengepul ini harus melewati jalan super berat. Aku yang hanya bawa diri saja sudah susah setengah mati, apalagi mereka yang naik motor dengan dua karung kakao seberat lebih dari 1 kuintal?

Dalam perjalanan balik dari Tompeng, misalnya, aku bertemu pengepul dari tingkat dusun yang menjual ke pengepul di tingkat kecamatan. Dia menuruni jalan berlumpur, berkerikil, dan naik turun tajam dengan membawa kakao.

Dari tingkat kecamatan, kakao kering itu kemudian dibawa ke pembeli di kabupaten. Dari kabupaten baru ke pembeli di Palu. Pembeli besar di Palu inilah yang akan mengirimkan ke eksportir di Makassar atau Surabaya.

Ringkasnya, rantai pemasaran kakao di Sulawesi Tengah ini memang sangat panjang. Bisa sampai empat atau lima rantai sejak dari petani produsen sampai eksportir. Lebih panjang lagi kalau kita tambahkan pabrik pengolahan kakao menjadi makanan atau bahkan konsumen.

Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk membantu petani? Ya, tetap saja pemerintah.

Tapi begitulah. Petani di Tinombo mengeluh. Akses jalan yang susah ke tempat mereka membuat pemerintah melupakan mereka. “Kami tidak pernah mendapat bantuan dan dukungan apapun dari pemerintah,” kata petani di Tompeng.

Dukungan seperti pendampingan teknologi budi daya secara berkelanjutan seharusnya bisa dilakukan pemerintah.

Dukungan lain adalah fasilitasi pemasaran. Petani didukung agar mereka bisa memasarkan secara langsung ke pembeli di tingkat provinsi atau sekalian ke eksportir, misalnya Armajaro, PT Mars, dan seterusnya. Jika petani langsung menjual ke mereka, tentu mereka bisa mendapatkan harga lebih tinggi.

Biar mudah dalam memasarkan, bangunlah infrastruktur yang baik. Jalan-jalan diperbaiki biar petani mudah membawa hasil pertanian mereka ke kota. Biar tidak seperti menyabung nyawa dengan jalanan berbahaya begitu.

Terus, apa kabar pemerintah setempat? Susah diharapkan. Petani di sana malah bercerita tentang dukungan pemerintah terhadap perusahaan, iya betul, perusahaan kelapa sawit. Padahal ini milik perusahaan, bukan petani.

Padahal, kata petani, kelapa sawit justru berbahaya karena mengancam lahan, memakan air, dan milik perusahaan, bukan petani.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *