Hati-hati dengan Distorsi Informasi

Lelaki itu maju ke depan kerumunan lalu berteriak.

“Kalau tidak ada tujuan buruk, untuk apa kita menyembunyikan tempat latihan kita?” teriak lelaki berpakaian biasa itu. Lalu, dia kembali ke dalam kerumunan. Masuk. Tak ada yang tahu bahwa dia bukan warga biasa.

Lelaki itu telik sandi. Dia prajurit Majapahit yang menyusup ke kerumunan warga kerajaan Keta. Menyamar sebagai warga biasa dan berteriak merupakan upaya dia untuk mengacaukan persiapan Keta yang sedang merencanakan pemberontakan.

Langit Kresna Adhi menggambarkan dengan bagus situasi tersebut dalam novel sejarah Gajah Mada. Membaca narasi tersebut, di pikiranku langsung bermain teater suasana genting ketika Keta mendadak diserbu oleh sesuatu yang mungkin tak pernah mereka pikirkan sebelumnya, distorsi informasi.

Keta dan Sadeng yang hendak memberontak sudah menyiapkan pasukan dalam jumlah besar. Secara jumlah mereka mungkin berimbang. Tapi, secara manajemen informasi mereka masih kalah sama Majapahit.

Puluhan teliksandi Majapahit sengaja membuat informasi untuk mengacau. Mereka menulis di dinding-dinding fasilitas publik mengabarkan pemberontakan yang akan dilakukan Keta. Dengan cara itu, warga jadi bingung.

Mereka yang tak pernah tahu dan tak setuju dengan rencana pemberontakan pun menyerbu istana dan menggugatnya. Majapahit kemudian berhasil membatalkan pemberontakan Keta tanpa harus berperang secara fisik. Cukup perang dengan informasi itu tadi.

Cerita Majapahit itu membuktikan bahwa dari zaman bahuela, distorsi informasi itu memang sudah terjadi. Penyebarluasan tulisan tentang rencana pemberontakan dan pertanyaan oleh teliksandi merupakan upaya agar informasi tersebut menyebar dan justru menguntungkan Majapahit.

Kenapa distorsi? Karena informasi yang seharusnya ditutup rapat justru sengaja disebarkan oleh teliksandi agar mengacaukan persiapan Keta ketika akan memberontak.

Samaran
Praktik distorsi informasi ini memang lekat dalam dunia teliksandi. Kalau bahasa sekarang ya intelijen. Informasi bohong kadang disebar untuk membuat kekacauan. Atau sebaliknya, hal yang benar dibuat seolah-olah hanya rekaan. Gunanya ya untuk mengacaukan.

Dalam konteks kekinian, distorsi informasi ini juga terjadi, terutama melalui dunia maya. Yes, Twitter adalah salah satunya.

Akun-akun pseudonim alias tanpa kejelasan siapa orang di baliknya sengaja menyebarkan informasi yang kadang memang benar tapi kadang juga tak jelas kebenaran faktanya. Dengan menggunakan akun samaran tersebut, mereka merasa aman menyebarluaskannya. Mereka tak terlalu peduli pada konsekuensinya karena toh mereka hanya pakai nama samaran. Aku yakin mereka belum tentu seberani itu jika pakai nama asli.

Tak cuma di Twitter, di Facebook dan blog pun terjadi, terutama di negara-negara otoriter, seperti Vietnam dan Burma. Di negara-negara ini, penguasa menyebarkan orang-orang yang mengaku sebagai blogger atau netizen. Tujuannya ya untuk membuat informasi tandingan terhadap informasi kritis dari aktivis di negara mereka.

Karena itu, meski sebal setengah mati, aku kemudian tak terlalu ambil pusing ketika seorang blogger Vietnam menghapus tulisanku di grup Southeast Asia Blogger Network di Facebook. Dia menghapus postinganku tentang blogger Vietnam yang masih dipenjara. Aku mikir, ah, paling juga dia bagian dari intelijen yang dipasang pemerintah Vietnam untuk memata-matai blogger di negaranya sendiri.

Maka, sibuklah dia membuat berbagai alasan kenapa dia menghapus postinganku tersebut. Pada titik tertentu sih aku setuju. Cuma mbok ya tak usah merampas kebebasan orang lain untuk menulis, dong. Sebab, dengan begitu ya dia tak lebih otoriter dibanding pemerintahnya sendiri.

Foto diambil dari sini.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *