(Sebuah Perenungan)
Oleh
Agung Wardana
Ruang tidak sekedar tempat berpijak tapi ruang memainkan peran timbal balik dalam masyarakat. Ia membentuk kesadaran dari warganya dan menjadi cermin dari sebuah peradaban. Jika kita menengok ruang kota kita saat ini, tentu saja kita bisa menilai untuk siapa kota kita dibuat. Jalan-jalan diaspal hotmix guna menjamin kenyamanan para pengendara kendaraan. Pohon perindang jalan beradu tinggi dengan tiang listrik ataupun telepon. Banner-banner saling beradu menawarkan barang dengan sangat meyakinkan. Mungkin ini yang oleh para pejabat diklaim bahwa ekonomi kita sedang tumbuh baik. Buktinya, di jalan selalu saja bisa kita temukan merk mobil terbaru. Toko-toko telepon seluler, laptop dan showroom mobil dan motor di pinggir jalan selalu dipenuhi pengunjung hingga lahan parkir toko tersebut tidak mampu lagi menampung kendaraan para pengunjung.
Orang Bali sudah sejahtera! Begitu ungkap data-data statistik buatan pemerintah. Mau bukti lagi? Satu dari dua orang Bali memiliki kendaraan bermotor. Bahkan mereka melekatkan status sosial mereka pada mesin yang bernama mobil atau sepeda motor. Misalnya, kita sering lupa dengan nama seseorang tetapi kita sering sekali menyebut kendaraan yang ia miliki untuk membantu ingatan kita, misalnya, “siapa ya nama cowok yang bawa mobil bermerek XXXX?” Begitu pentingnya kepemilikan sebuah kendaraan dalam masyarakat kita. Hal inilah yang membuat program transportasi publik yang baru saja dicanangkan terancam gagal.
Namun ditengah gemerlap wajah kota menyambut manusia-manusia peradaban unggul, di taman kota para pedagang asongan lari tunggang langgang dikejar trantib atau tibum ataupun satpol PP. Bagaimana tidak lari sekuat tenaga karena alat cari makan, gerobak, hingga barang dagangan dapat saja dirusak atau paling tidak disita oleh petugas yang katanya untuk menjaga keindahan sebuah taman kota. Aneh! Sejak kapan keindahan ditentukan dari ada atau tidaknya pedagang asongan di dalamnya.
Para Difable dan Peminggiran Secara Halus
Sebenarnya kaum difablebukanlah orang yang cacat atau tidak normal sebagaimana banyak pihak menyebut. Mereka bukan pula orang yang disable tidak mampu (‘dis’ berarti ‘tidak’, ‘able’ berarti ‘mampu’). Mereka hanya memiliki kemampuan yang berbeda (different ability atau ‘difable’). Contohnya, jika hakekat memiliki kaki adalah untuk berpindah tempat, maka mereka pun bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan cara yang berbeda. Atau misalnya hakekat mata adalah untuk memberi tuntunan, maka mereka dapat menuntun diri mereka dengan cara yang berbeda pula. Karena itulah mereka dikatakan memiliki kemampuan berbeda tetapi memiliki hakekat yang sama.
Permasalahannya saat ini adalah apakah kota kita mampu memberikan ruang bagi kemampuan berbeda ini. Sayang, jawabannya belum! Orang yang memiliki kemampuan berbeda ‘dirumahkan’ secara halus karena kota adalah rimba belantara yang tidak ramah bagi mereka. Misalnya, sering kali kita lihat di depan sebuah kampus yang megah bak kerajaan, seorang tuna netra menyeberang jalan yang penuh kendaraan tak pernah putus-putusnya. Bunyi klakson bertalu-talu dari belakang meminta kendaraan paling depan untuk maju karena ia terhenti mendapati sang tuna netra berada tepat ditengah-tengah jalan yang sedang panik dan kebingungan akibat bunyi klakson. Empati pun sirna dihembuskan kepentingan diri sendiri.
Selama ini, fasilitas umum perkotaan memang tidak diperuntukkan bagi mereka. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya gedung-gedung pemerintah yang tidak memberikan akses bagi kaum difable yang berkursi roda; ironisnya, di sisi yang lain parkir-parkir mobil dibuat sedemikian luas, teduh dan indah. Pertanyaannya, bagaimana mungkin mereka akan mendapatkan pelayanan pemerintah jika datang ke gedung pemerintah saja mereka tidak diberikan akses? Apakah status mereka lebih rendah dari mobil-mobil mewah para pejabat yang terparkir nyaman dibawah pepohonan?
Ketiadaan fasilitas ini pula yang membuat kaum difable harus tergantung dengan orang lain dalam memperoleh pelayanan umum. Sehingga banyak yang menyebut kaum difable sebagai orang yang tidak mandiri dan bisanya hanya membebani orang lain. Dengan demikian, negara lah yang sebenarnya secara tidak langsung membuat kaum difable untuk tergantung dari orang lain. Jadi, bukan simpati yang sebenarnya mereka butuhkan tetapi tanggung jawab pemerintah yang selama ini melupakan dan meminggirkan mereka. Padahal jika saja ada cukup akses bagi mereka, tentu saja mereka akan dapat melakukannya sendiri.
Di Bali sendiri, sebenarnya pertarungan kaum difable untuk merebut ruang yang lebih adil telah dimulai. Saat pembahasan dan penyusunan Rancangan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (Ranperda RTRW) Bali, mereka telah memyampaikan tuntutanannya. Alhasil, Ranperda yang kemudian disetujui menjadi Perda RTRWP Bali berhasil memasukkan beberapa pasal yang mewajibkan gedung-gedung publik untuk memberikan akses bagi kaum difable. Memang ini bukan akhir dari perjuangan, tetapi sebuah tonggak dan pintu masuk. Hal ini paling tidak bisa menjadi bentuk pengakuan dari negara bahwa kaum difable bukan warga negara kelas dua sekaligus juga menjadi alat klaim yang bisa kita gunakan bersama jika nantinya negara tidak melakukan kewajibannya sebagaimana diamanatkan.
Penulis, Dosen cum Aktivis
Tulisan ini telah dipublikasikan dalam Katalog Pameran Foto Yayasan Anak Tangguh
Leave a Reply