Viva Las Vegas: Klimis dan Kolosal

The Hydrant menyusuri gemerlap kelap-kelip Las Vegas yang berlangung 1×24 jam. | Foto: Erick Est/SuperMusicID

The Hydrant menyusuri gemerlap kelap-kelip Las Vegas yang berlangung 1×24 jam. | Foto: Erick Est/SuperMusicID

Bicara Viva Las Vegas bak bicara tentang kewajiban dalam agama. Utamanya bagi penganut kepercayaan rockabilly. Menghadiri Viva Las Vegas bagi umat rockabilly nyaris setara maknanya dengan naik haji ke Mekah. Khidmat dan tawakal berserah diri pada Elvis Presley.

Acara bertitel lengkap Viva Las Vegas Rockabilly Weekend ini pertama kali diprakarsai oleh Tom Ingram. Pria berkebangsaan Inggris ini memutuskan meninggalkan London dan hijrah ke Southern California, Amerika, mengikuti kata hatinya. Padahal saat itu, 1996, ia telah lumayan sukses di Inggris lewat penyelenggaraan Hemsby Rock ’n’ Roll Weekender serta telah berpredikat sebagai DJ rockabilly lumayan terhormat namun jiwa mudanya yang menggelegak lebih mendorongnya untuk mencapai sesuatu yang lebih besar, lebih menantang.

Tiba di negeri Abang Sam, land of the free and opportunity, bukan sambutan hangat yang ia dapat. Tapi tipuan oleh kolega kerja jahat. “I had been here two months, and he . . . completely ripped me off—left me here with no money, no income, nothing,” kata Ingram saat diwawancara oleh ocweekly.com.

Ketimbang memilih jalur hukum lalu menuntut partnernya itu, ia memakai pengalaman buruknya sebagai pecut pemicu. Pria penggemar Johnny Burnette and the Rock and Roll Trio ini justru memutuskan menginvestasi dana serta energi habis-habisan. Penggila setiap artis rockabilly di bawah Sun Records ini menolak tunduk, ogah menyerah.

Berbekal pengalaman yang cukup dalam penyelenggaraan festival, pada 1997 Viva Las Vegas diperkenalkan. Kawan-kawannya di Inggris jelas terhenyak, sebagian nyinyir mencibir. Tom yang juga adalah aktor film dianggap nekat tanpa juntrungan: warga Inggris tahu apa soal skena Amerika?!

Pun, tadinya Tom berniat membuat acaranya di Southern California. Namun akibat peraturan yang ketat semisal mesti menyudahi keramaian maksimal jam 2 subuh, dipilihlah Las Vegas. Sebab di distrik yang kerap dijuluki sebagai “Kota Dosa” itu regulasi cenderung lentur. Bar dan kasino boleh buka dari pagi hingga malam sampai pagi lagi. Keramaian boleh berjalan 1×24 jam, sak karepmu.

Sikap ngotot lelaki asal Leigh Park tersebut akhirnya berbuah manis. Viva Las Vegas direspons apik. Makin tahun makin membesar. Semula cuma mempersembahkan pertunjukan musik rockabilly yang diselipkan car show—mobil kuno dan hot rods keluaran pra-’63. Namun akibat respons nan gempita belakangan acara-acara bonus macam car show, pagelaran busana, burlesque, parade tattoo, dsb, semua diberikan perlakuan spesial, dibikinkan tempat khusus.

Saking membludaknya pengunjung, di tahun ke-13 lokasi acara dipindah ke The Orleans Hotel agar sanggup menampung 15 ribu audiens di akhir pekan. Bisa dipahami jika Viva Las Vegas memperoleh sambutan begitu meriah. Selain merupakan satu di antara sedikit acara sejenis di dunia, Viva Las Vegas pula terbilang paling berskala global—Tom mengklaim paling tidak publik dari 20 negara tiap tahun bertandang ke Viva Las Vegas. Selain juga konsisten, tahan banting, selalu hadir setiap tahun. Dengan deretan penampil yang dikurasi teliti oleh Tom Ingram sendiri.

I get between 500 and 700 submissions each year from bands wanting to play. Fifty percent of them are totally wrong for the event and the other 50% I go through and it’s just what I think sounds good, will suit the event and give a good balance of ‘50s music. I go through every submission—I know most of the bands.

Selain memilih sendiri siapa-siapa nama baru yang pantas tampil, artis-artis tenar di skena rockabilly tetap diutamakannya. Sosok-sosok legendaris macam Jerry Lee Lewis, Wanda Jackson, Chuck Berry, Little Richard, Dick Dale, dan sekelasnya, semua pernah menjajal panggung Viva Las Vegas. Kian menarik adalah kesukaan Tom mengajak serta musisi-musisi kulit hitam, seolah ia memang hendak menyeimbangkan nuansa hillbilly yang kadang keras memunculkan kesan supremasi kulit putih.

Pada 2016 ini, di tahun penyelenggaraan Viva Las Vegas yang ke-19, nabi rockabilly revival Brian Setzer dan dewa gitar Dick Dale menjadi dua sosok tenar andalan. Juga The Polecats formasi orisinil, Jack Scott, Rocky Burnette dan Darrel Higham, serta persekutuan klimis dari beragam negeri seperti Inggris, Australia, Swedia, Jepang, Brazil, Swiss, hingga Indonesia.

Kehadiran band dari Indonesia, The Hydrant, ini menakjubkan. Bagaimana tidak, sejak pertama kali diselenggarakan hingga 19 tahun berikutnya, sepertinya belum pernah ada wakil dari Asia Tenggara sama sekali. Diundangnya The Hydrant untuk unjuk kebisaan di Viva Las Vegas ini sungguhlah bersejarah. Indonesia pantas sudah menepuk dada.

Shakin’, shoutin’, rockin’, rollin’, let your voodoo workin’!

_______________

Artikel yang saya tulis sendiri ini pertama kali tayang di http://invasion.supermusic.id


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *