Ubud Village Jazz Festival yang Menghangatkan Hati

Angin berhembus cukup kencang sepanjang malam. Pepohonan besar di Agung Rai Art Museum (ARMA) bergoyang, dahan-dahannya melengkung, dedaunan berjatuhan. Rintik hujan mulai membasuh kulit.

Namun interaksi musisi di atas panggung terus berjalan, penonton malah makin menghangat. Memberikan tepukan, bercuit-cuit memberi apresiasi, dan menyoraki tiap musisi usai bermain solo. Sepasang penonton yang duduk paling depan merapatkan diri, saling menghangatkan.

Ubud Village Jazz Festival (UVJF) 2018 ini adalah yang ke-6, setangah lusin tahun bertahan dan dinikmati beragam penonton, aneka umur, dalam suasana intim dan nyaman.

Sepasang laki-laki tengah baya nampak selalu beriring-iringan, duduk lalu berdiri, dan pindah dari satu panggung ke panggung lain yang jaraknya berdekatan.Salah satu dari mereka nampaknya tuna netra. Ia dituntun rekannya tanpa banyak menarik perhatian orang lain. Mereka bergerak dengan leluasa dan tenang saat harus pindah menonton. Ada 3 panggung indah yang dibuat panitia, Padi, Giri, dan Subak. Backgroundnya adalah material alam seperti daun kelapa tua, bambu, dan ada yang beratap ilalang.

Mild Jazz Project Season 3 menutup pertunjukan dengan lagu ceria mengajak berdansa. Sebelumnya, Windy Hariyadi, vokalisnya mengalunkan salah satu lagu legenda, Di Dadaku dari biduan Vina Panduwinata. Sekilas, warna vokal Windy mirip dengan Vina. Bening dan menentramkan. Band ini diawaki musisi-musisi muda yang berhasil menarik perhatian penonton.

Gegap gempita tepuk tangan juga diberikan untuk trio Triple Ace-Colours in Jazz. Oliver Kent (piano), Uli Langthaler (bass), dan Dusan Novakov (drum) saling menunggu, lalu bersahutan menghasilkan melodi dan interaksi. Mereka jarang memulai main bersamaan, menunggu Oliver dulu berimprovisasi lalu merespon dengan betotan bass atau ketukan drum. Selanjutnya memberikan waktu tiap musisi tampil solo, untuk kembali bersama saling berinteraksi. Berkomunikasi melalui alat musiknya masing-masing.

Suasana diam saat memberikan rekannya berimprovisasi ini lah kekuatan jazz. Kebebasan berekspresi yang dimatangkan oleh talenta. Merayakan pasang surut, seperti memandang laut. Kadang tenang, kemudian tiba-tiba menghentak seperti tamparan ombak.

Seorang penonton meneriakkan nama “Yuri, Yuri, come on Yuri,” untuk mendapuknya berimprovisasi bersama Triple Ace. Yuri Mahatma dan Anak Agung Anom Wijaya Darsana adalah perintis perhelatan UVJF ini. Yuri bermain gitar sementara Anom ahli di bidang tata suara dan panggung. Duet yang saling melengkapi.

Keduanya memberi konteks tema kali ini, Freedom of Expression sebagai sebuah nilai abadi dalam pertunjukkan. Kebebasan berekspresi dalam jazz bukan sekadar bebas menyiptakan bunyi dan improvisasi seenak perut, tapi penuh tanggung jawab. “Kebebasan berekspresi tanpa pengetahuan yang memadai dan kerendahan hati untuk memahami keindahan akan mengakibatkan chaos,” ingat mereka dalam catatan festival ini.

Dalam pidato pembukaan, Heru Jatmiko mewakili UVJF meminta penonton tak ragu mengekspresikan diri merespon musisi. “Kita merayakan cinta dan persaudaraan di sini,” serunya. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace yang baru saja terpilih sebagai Wakil Gubernur mendampingi I Wayan Koster juga menyambut perhelatan jazz ini di Ubud, menambah kekayaan budaya dan keragaman kesenian yang sudah ada.

Keragaman musisi ini nampak dalam line-up UVJF selama 2 hari pada 10-11 Agustus 2018. Tampil untuk pertama kalinya di Bali sebuah group fusion jazz dari Korea Selatan yang beranggotakan 4 wanita, A-FUZZ. Dari Autralia Emilia Schnall, seorang vocalis, pianist dan composer. Gerard Kleijn, salah seorang trumpeter andal dari Belanda, Judith Nijland, vocalist jazz kenamaan Belanda, berkolaborasi dengan Astrid Sulaiman Trio, tampil membawakan beberapa aransemen dari album larisnya ”Jazz Tribute to ABBA”.

Ada juga Insula, sebuah group world-jazz-fusion yang unik yang didatangkan khusus oleh lembaga kebudayaan perancis (Institut Francais). Sebastian Gramms, pemain kontra bass legendaris di Jerman yang akan membawa projectnya yang dinamakan FOSSILE 3. Salah satu yang ditunggu, musisi jazz kenamaan dari Amrika Serikat, Benny Green Trio.

Untuk pertama kalinya UVJF menyelenggarakan kompetisi jazz band untuk para musisi muda pada tanggal 29 April 2018 bertempat di Colony Creative Hub, Plaza Renon Denpasar. Acara ini diselenggarakan sekaligus sebagai acara memperigati hari jazz internasional yang telah ditetapkan oleh UNESCO (PBB) pada 30 April. Pemanangnya, Joda Band, yang digawangi musisi berusia 12-17 tahun.

UVJF bisa dibilang dirintis sejak 2010 dari perhelatan Underground Jazz Movement. Kemudian pada 2013, perhelatan perdana dengan jumlah musisi tak sebanyak saat ini. Musik yang sulit ditebak alurnya, kehangatan tahun ini bertambah dengan free flow bir dan juga wine pada jam tertentu. Ditambah suasana intim dari desain panggung dan penataan ruang, kolaborasi arsitek Klipz, Diana Surya, dan Gede Suanda, dan lainnya.

 

 

The post Ubud Village Jazz Festival yang Menghangatkan Hati appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *