The Soloist

Workshop Batik di Solo 2010. Koleksi pribadi
Jiwa manisku,
Setelah Kr. Dibawah Sinar Bulan Purnama, menempati urutan kedua tangga lagu klangenan keluarga adalah Kr. Bengawan Solo. Jika untuk lagu yang pertama kami berhasil mengumpulkan sampai 42 versi musik digital terbaiknya hasil unduh dan memohon sana sini, maka untuk lagu yang kedua kami tertahan di angka 30. Ya, 30 versi Bengawan Solo mulai dari versi original rekaman pertama yang suara dan gesekan biolanya dibawakan sendiri oleh yang tersayang Alm.Gesang sampai versi jazz dan bluesnya yang rilis di tahun tahun belakangan. Beberapa jam lalu saya mengirim file mp3 sebuah versi bening instrumentalnya kepada seorang sahabat di pulau seberang sana untuk secara digital di re mixing. Entah seperti apa nanti hasilnya, versi ke 31.

Jika Kr. Dibawah Sinar Bulan Purnama begitu disukai Ibu, maka Kr. Bengawan Solo ini  kekasih hati Ibulah penggemar fanatiknya. Ayah. Sejauh ingatan mampu merentang kenangan, entah sudah berapa kali dalam diskusi atau obrolan santai diselewat senja saya mendapati Ayah menerangkan hal yang sama tentang makna ‘tersembunyi’ di balik lagu Bengawan Solo. Sampai dengan beberapa tahun lalu, saya masih tak terlalu memikirkan tentang itu, saya masih selalu menganggap itu bisa jadi hanya rekaan ayah saja. Maklum, selain pendiam beliau juga agak pemikir. Bukan pemalas seperti saya :’)
Tapi akhirnya beberapa tahun belakangan, saya mulai meyakini penggal penggal pemikiran beliau. Bukan semata karena Ayah ternyata sempat mengalami banyak momen berbincang dan berjumpa dengan Alm. Gesang, tapi juga karena semua artian lagu yang dituturkannya itu begitu runut masuk diakal. Ya. Ayah meyakini, jika lagu Bengawan Solo di ciptakan Alm.Gesang bukan semata hanya untuk menjelaskan perihal eloknya Sungai Solo. Lebih besar dari itu, Gesang sebenarnya menyisipkan pesan yang jauh lebih dalam tentang hidup kedalam lagu tersebut. Dalam bahasa saya, lagu Bengawan Solo merupakan sebuah metafora musikal tentang hidup yang hakikinya memang seperti sungai.
Berikut kurang lebih hasil tutur Ayah tentang ‘makna tersembunyi’ dalam lagu Bengawan Solo yang dieja kedalam tulisan mendekati celotehnya.
Bengawan Solo. Riwayatmu ini. Sedari dulu jadi. Perhatian insani. → Bengawan Solo. Sungai, perlambang Hidup. Sejak dulu hingga hari ini, hidup dan kehidupan merupakan sebuah hikayat yang mejadi perhatian mereka yang hidup.
Musim kemarau. Tak seb’rapa airmu. Di musim hujan air. Meluap sampai jauh → Pernah membayangkan seseorang yang sedang hidup dirudung nestapa dan kesusahan? Ya, kemarau. Kemarau semangat, kemarau rezeki, kemarau harapan. Merasa diri tak seberapa dibanding yang lainnya. Tapi jika berkah hujan itu sedang berlimpah, meluaplah mimpi dan keinginan diri, meluap jauh, bahkan kadang tak terbendung, tak tergapai.
Mata airmu dari Solo. Terkurung Gunung Seribu. Air mengalir sampai jauh. Akhirnya ke laut → Seperti halnya Bengawan Solo. Manusia itu asalnya dari sumber yang Solo, Satu. Dalam perjalanannya mengarungi hidup ia terkurung banyak mimpi, harapan dan kemauan laksana kurungan raksasa gugusan seribu gunung. Dan itulah yang membuat manusia terus hidup, mengalir, hingga mati, meluas menemui muara diakhirnya nanti..
Itu perahu. Riwayatmu dulu. Kaum pedagang s’lalu. Naik itu perahu → Seperti halnya perahu dalam lagu tersebut, riwayat seseorang itu akan selalu dilihat dari seberapa banyak ia bermanfaat untuk orang lain dalam hidupnya. Semakin banyak ‘pedagang’ yang memanfaatkan kehadiran dirimu sebagai sebuah ‘perahu’ dalam mengarungi hidup mereka, semakin panjanglah engkau akan dikenang.
Malam itu ruang hening saya terusik, sebuah tanya terlontar. Ada apa sebenarnya dengan Ayah dan Bengawan Solo?. Yang ditanya menjawab datar tanpa memalingkan wajah dari tumpukan buku yang sedang ditatanya. Diwaktu yang lalu, disatu malam tenang setelah hari yang panjang, Ayah dan Ibu pernah berjalan kaki berdua, menyusuri  kota ditepian Bengawan Solo Dibawah Sinar Bulan Purnama. Saya terdiam disepenggal nafas tercekat. Ruang temaram. Suara yang lamat melambat. Kelopak mata saya menghangat. 37 tahun sudah sejak hari Ayah dan Ibu menyusuri sungai itu. Dan bagaimana mungkin jika dua judul lagu kesukaan mereka adalah titik mula dari cerita perjalanan mereka berdua?
a note to remember. Dibawah Sinar Bulan Purnama (1938) Bengawan Solo (1940) Pernikahan Ayah Ibu (1974)

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *