Alarm belum berbunyi ketika Bani membangunkanku pagi itu.
Jam di Galaxy S masih pukul 04.50 Wita. Alarm di ponsel pintar ini aku atur berbunyi pada pukul 05.00. Namun, Bani sudah menggoyang-goyang tubuhku. “Ayah. Bangun. Sepakbolanya sudah mau main,” kata Bani sambil menarik selimutku.
Dengan mata masih berat aku bangun. Cuci muka. Ambil selimut lagi. Lalu duduk manis di ruang tamu bareng Bani. Di luar masih gelap pada dini hari yang dingin itu. Tapi, kami sudah siap menikmati pertandingan Barcelona lawan Real Madrid.
Selama sekitar dua jam kemudian, kami sama-sama bersemangat memberi dukungan pada Barcelona. Kami sama-sama pendukungnya. Hingga akhir pertandingan kemudian sih skor akhirnya 2-2 setelah Barcelona sempat menang 2-0 hingga akhir babak pertama.
Bukan soal kalah menang yang menarik. Tapi, kebersamaan dengan Bani itu yang makin hari makin menyenangkan. Anak pertama kami ini berusia 5,5 tahun. Tak hanya makin besar, dia juga makin bisa diajak bermain layaknya teman. Begitu pula dengan nonton bareng Barca vs Madrid pagi itu.
Ini tentu saja ego laki-laki. Aku merasa amat berbeda ketika melakukan sesuatu, misalnya jalan-jalan atau pergi ke mana, hanya bersama Bani. Tentu saja asyik juga bersama Bunda. Tapi, rasanya akan berbeda ketika hanya sama Bani. Aku merasa tidak sedang bersama anak sendiri tapi bersama teman kecil.
Ya. Anak kami ini sudah bisa menjadi teman. Tak lagi sebagai anak kecil. Ini yang mungkin membuat saat-saat kami hanya berdua terasa berbeda. Kalau sudah seperti itu kadang mikir juga, “Hmm, anakku sudah bisa diajak main sebagai sesama laki-laki. Cepat sekali rasanya.”
Selain sudah bisa jadi teman itu, Bani juga terasa semakin mandiri. Kami mendidiknya begitu sejak dini. Kami ingin dia seperti juga kami, tak mau merepotkan orang lain selagi bisa.
Kami ingat bahkan ketika dia lahir pun kami sengaja mengurusi dia sendiri tanpa bantuan orang tua kami masing-masing. Kami ingin melakukan semuanya sendiri. Hanya berdua saat melahirkan di rumah sakit. Mengubur ari-ari sendiri. Mandiin. Bersihin pup dan pipis.
Semua kegiatan mengurus bayi kami lakukan berdua dengan mandiri. Menyenangkan dan membanggakan meski sesekali juga pengen langsung manggil, “Emaak, bantu kami urus cucumu ini.” Tapi kami bisa melewatinya.
Kini, Bani sepertinya mengikuti jejak kami. Dari semula kami harus memaksa dia gosok gigi sebelum mandi, kini malah kebalik. Dia yang sering mengingatkan kami untuk gosok gigi. Dari semula suka nangis kalau disuruh mandi pagi, sekarang dia penuh semangat malah ajak aku untuk mandiin dia.
Soal belajar pun begitu. Tanpa harus dipaksa-paksa, dia dengan khusyuk kemudian belajar baca dan nulis sementara kami malah enggan mendampingi karena sibuk sama gawai alias gadget masing-masing. Hehe..
Ya, tentu saja masih ada hal-hal lain yang kurang sesuai dengan harapan kami. Misalnya, nonton TV. Kalau sudah nonton TV, dia terlalu serius sampai lupa makan dan enggan diajak ngobrol.
Tapi ya tidak lebay juga. Begitu pukul 8 malam, misalnya, dia dengan kesadaran sendiri akan mematikan TV-nya sendiri lalu masuk kamar. Belajar sebentar lalu gosok gigi. Terakhir, dia akan rebahan lalu sibuk dengan permainannya di iPad sebelum kemudian terlelap.
Paginya, dia yang kadang-kadang lebih awal bangun lalu kembali berteriak, “Ayaaah. Sudah pagi. Ayo banguuuun…”
Leave a Reply