Tegallalang dan Memori Melali yang tak Pernah Hilang

Memori tentang Tegalalang masih terpatri di ingatan dan hati. Sesekali, kala akhir pekan menyapa muncul keinginan dalam diri, “Ingin rasanya kembali”. Pengalaman perdana menyusuri beberapa titik wisata di Tegallalang, membuat diri ini terbius akan Bali mini yang tersuguh apik di Tegalalang.

Bali mini, mininya Bali itulah Tegallalang. Memadukan pariwisata dengan tradisi yang masih terjaga, menjadikan desa dengan beragam pilihan diorama mini ini hingga kini masih mendapatkan hati wisatawan.

Sejatinya, saya itu tipe yang ‘rumahan banget’, saya keluar rumah seperlunya, keluar rumah saat penting dan ingin saja. Cara menghabiskan akhir pekan pun hanya nongkrong dirak-rak buku, membaca buku yang masih belum beres, atau sekadar mengisi buku TTS. Selingan aktivitasnya mencuci pakaian, motor, dan wara-wiri bersih-bersih lainnya. Kalau memang ada yang mengharuskan saya keluar di akhir pekan, itu mungkin acara kampus, terkadang ke kampung, atau aktivitas lainnya yang biasanya datang tak terencana dan itu benar-benar ingin saya ikuti tentu dengan kesadaran sendiri.

Dua hari sebelum tanggal 4 September 2022, notifikasi pesan masuk ke gawai saya. Ajakan jalan-jalan dari teman satu organisasi muncul. “Kak Yuko ayo kak join (ikut) Melali KJW” tulisnya. Ajakannya diikuti dengan kiriman redaksional kegiatan tersebut dan berkas dengan format PDF yang setelah saya buka, ternyata itu susunan acara. “Menarik,” ucap saya kecil. Namun, tak langsung saya iya-kan ajakan kawan saya. Timbang-menimbang pun dimulai, buku skejul harian pun saya buka. Lima menit kemudian, “Yuk Gas,” kiriman pesan saya ke kawan satu organisasi pers kampus.

Minggu, saya jemput rekan saya. Kami janjian di sekre organisasi kami pukul 08.00 WITA. Terkadang, saya menjadi orang Indo yang baik hati, jiwa jam karet itu saya lempar jauh jauh. Tepat pada pukul yang dijanjikan saya sudah tiba duluan di sekre. Hampir 30 menit saya menanti rekan saya, tapi ia tak kunjung tiba. Sampai hujan gerimis pun mulai terdengar dan mengguyur semesta, mengiringi kedatangan kawan saya. “Kak Yuko sorry nunggu lama ya?” ujarnya mencoba menenangkan saya. Tawa kecil pun keluar berbarengan dari kami. “Yuk dah berangkat,” ajak saya.

Saya membonceng rekan saya, ia di belakang sibuk dengan gawai saya yang telah membuka aplikasi Google Maps. Was-wes-wos, jujur ini kali pertama saya ke Tegallalang, lokasi jalan-jalan kami kala itu. Ini bukan sekadar jalan-jalan berdua antara sesama teman wanita, yang biasanya disisipi gosip tak karuan. Jalan-jalan kali ini beda, namanya Melali Alumni Kelas Jurnalisme Warga (KJW). Melali adalah bahasa Bali dari jalan-jalan. Hampir 40 menit kami menyusuri jalanan Denpasar menuju Tegallalang. Cukup lama kami kesulitan, bukan karena tersesat, melainkan hujan yang tiba-tiba melesat, membuat kami harus merapat sejenak mengenakan jas hujan.

Dari Smiling Coffe Menuju Lawar Bersejarah, Lawar Tegallalang

Kami datang terlambat 15 menit. Destinasi pertama adalah sebuah kedai kopi bernama Smiling Coffe. Sesuai nama kedai kopi itu, senyum hangat langsung menyambut kami. Saya memesan segelas kopi hitam, agar kembali merasa segar setelah diterjang hujan selama perjalanan.

Kami mengobrol dengan Sukanda Arimbawa sebagai salah seorang pengagas wisata Ceking menjadi destinasi wisata. Sosoknya sangat ramah dan bersahaja. Ada beberapa hal yang sangat menempel dalam ingatan saya tentang kisah Pak Sukanda, kurang lebih ucapannya seperti ini “mengolah pikiran dengan pikiran”. Mulanya saya bingung sendiri, percakapan semakin panjang dan semakin ke dalam saya berpikir, pikiran adalah awal mula dari perbuatan, dan ketika mengolah pikiran dengan pikiran maka akan ada perbuatan yang lebih terencana, tidak tergesa-gesa. Kekuatan pikiran memang luar biasa.

Hampir 60 menit kami mengobrol kami melanjutkan perjalanan menuju Puri Tegallalang. Baru saja melihat arsitektur puri yang sederhana dan otentik itu dengan foto-foto bersejarah yang masih setia menempel di dinding, kami pun dipanggil untuk berkumpul.

Di sana sudah ramai dengan berbagai bahan yang saya kira itu adalah untuk membuat lawar. Ternyata benar, dan Nang Roda dan Nang Dul dengan sangat kompak menjelaskan sekaligus mendemonstrasikan cara membuat lawar ala Tegallalang. Lawarnya terasa segar dan lebih banyak komponen sayurannya.

Sehingga, bagi rekan vegetarian ini adalah lawar idaman mereka. Sambil melahap makan siang dengan bersemangat, saya menyimak penjelasan bahwa lawar Tegallalang masih setia berpegang teguh dengan Dharma Caruban, yakni panduan memasak nenek moyang orang Bali. Dari segi persiapan bahan, pengolahan, hingga penyajiannya terdapat ketentuan khusus yang tak dapat dikesampingkan.

Puri Hingga Kesenian Lukis Sampai Pertanian Desa Tegallalang

Kisah tentang puri di Bali selalu hangat untuk dibahas. Kami disambut hangat oleh penerus puri. Mulailah berbagai dialog yang sebagian terasa berat sebagian lagi terasa seru.

Bagian serunya bagi saya ketika mengetahui bahwa asal mula penamaan Desa Tegallalalang karena memang desa ini mulanya ditumbuhi alang-alang yang begitu lebat. Tak hanya itu, dimasa lampau pun seperti kisah mistis yang umum di Bali, bahwa dahulu lokasi di Tegallalang ini kerap menjadi tempat menguji ilmu batin, yang pembaca semua pasti sudah tahu itu apa. Kami pun saling pandang kala cerita tentang itu terkesiap, dan mengakhiri kisah dengan tawa dan mengabadikan foto bersama.

Dengan sepeda motor saya yang masih setia membonceng rekan saya, sepanjang perjalanan kami tidak berhenti terkagum-kagum. Melali yang kami lakoni kala itu sangat mengasyikkan, kami tidak hanya berbagi senang tetapi kami terisi dengan hal baru yang sebelumnya belum pernah kami ketahui.

Sampai tak terasa, matahari yang terik pun akhirnya membawa kami ke rumah pelukis terkenal dari Tegallalang yakni Pande Ketut Bawa. “Keren” kata itu spontan keluar dari bibir ini. Memang begitu luar biasa, karya Pak Pande begitu detail dan khas. Bagi saya, gaya lukisannya agak mirip dengan lukisan Batuan. Dari melukis, Pak Pande dapat hidup dan memperoleh penghidupan. Kami belajar lagi, betapa sebuah karya itu butuh kesabaran.

Perjalanan kami yang terakhir sebelum kembali lagi ke titik awal, yaitu Lahan Pertanian Pak Arsana yang direncanakan akan menjadi ekowisata di Desa Tegallalang. Subur dan asri, beberapa tumbuhan yang ditanam seperti terong, cabe, dan beberapa sayuran tampak subur dan sehat. Pak Arsana mengungkapkan, butuh perjuangan untuk merawat tanaman tersebut ditengah cuaca yang sulit diprediksi dan kondisi tanah di Tegallalang yang sejatinya kurang begitu cocok sebagai lahan perkebunan bagi beberapa jenis tanaman.

Puas berkeliling dan menikmati hamparan sawah Tegallalang juga, kami kembali ke titik utama. Matahari pun mulai tenang, langit mendung menyelimuti perjalanan kami kembali. Kembali disambut kedai kopi Smiling Coffe, dengan teh hangan dan pisang goreng, Tegalalang menjadi saksi adanya relasi baru, kawan baru, dan ilmu baru. Namun, yang paling penting tentu kami dapat menyegarkan pikiran dan bersiap menjalani hari Senin, Selasa, dan seterusnya hingga kembali ke Sabtu-Minggu, si yang paling ditunggu.

The post Tegallalang dan Memori Melali yang tak Pernah Hilang appeared first on BaleBengong.id.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *