Sudah Efektifkah Perlindungan terhadap Daily Worker di Bali?

Usaha pariwisata di Bali saat ini makin banyak menggunakan pekerja harian lepas atau daily worker. Foto Anton Muhajir.

Bali Top Jobs, grup di Facebook, kini memiliki 25.664 anggota.

Awalnya, grup ini dibuat hanya untuk memberikan informasi lowongan pekerjaan khususnya industri pariwisata Bali. Saat ini, grup ini sudah membantu banyak perusahaan untuk menemukan kandidat ideal dan telah memudahkan pencari kerja untuk menemukan pekerjaan impian mereka.

Sejak saya ditunjuk menjadi administrator grup yang dibuat seorang pendatang dari Lombok Nusa Tenggara Barat ini, saya memutuskan untuk menjadikan grup ini sebagai wadah bagi para pekerja dan pengusaha berbagi pengalaman kerja mereka baik yang positif maupun negatif.

Saya kaget saat menyadari partisipasi aktif anggota grup ini. Mereka berbagi pengalaman dengan jujur yang diungkapkan dengan atau tanpa nama. Saya baru menyadari, ternyata banyak pekerja termasuk saya sendiri yang tidak selalu mengetahui dan memahami hak-hak mereka yang diatur dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan Indonesia.

Saya pun memutuskan untuk mempelajarinya lebih mendalam, memberikan edukasi dan mengundang semua pihak baik pemilik usaha, manajemen perusahaan terutama departemen personalia, dan pekerja untuk mengeluarkan unek-unek mereka.

Berikut rangkuman hasil pembelajaran dari hasil diskusi dengan anggota grup Bali Top Jobs dan observasi di lapangan.

Pertama, banyak pemilik usaha akomodasi membatasi jumlah pegawai tetap dan akhirnya menggunakan pekerja waktu tertentu. Hal ini karena menjamurnya usaha peginapan bagi wisatawan, seperti hostel, guest house, hotel, dan vila menyebabkan persaingan sangat ketat. Pekerja waktu tertentu ini terbagi menjadi pekerja kontrak dan pekerja harian lepas, lazim disebut daily worker.

Menurut hasil penelitian Emma. R. Allen, Analysis Trends and Challenges In The Indonesian yang diterbitkan Asian Development Bank (ADB), aturan pemerintah tentang pemberian pesangon yang cukup besar, jauh lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lain, adalah salah satu alasan makin banyaknya perusahaan yang enggan menggunakan pegawai tetap.

Memang, tujuan aturan pesangon ini untuk menghargai pengabdian pekerja dan memastikan mereka memiliki simpanan selama menjalani masa transisi dan mencari pekerjaan baru. Namun, laporan menyebutkan bahwa aturan ini juga mendorong makin rendahnya jumlah perusahaan patuh terhadap aturan ini dan, di sisi lain, memicu tingginya penggunaan pekerja waktu tertentu.

Kebanyakan perusahaan bahkan membuat aturan sendiri tentang uang perpisahan. Mereka menekankan pula bahwa pada 2015 saja, dari 100 juta tenaga kerja, hanya 48.843 orang yang menerima pesangon.

Kedua, dalam demonstrasi Aliansi Buruh Bali di depan kantor Gubernur Bali April lalu, salah satu hal yang diperjuangkan adalah kenaikan upah minimum regional serta sektoral bagi pekerja pariwisata. Para demonstran merasa pekerja di Bali berhak mendapatkan Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta gaji pokok. Mereka juga meminta biaya ritual adat dan agama sebesar Rp 300 ribu dimasukkan dalam komponen upah mereka. Tujuannya untuk menghormati Bali sebagai sebuah pulau yang mengandalkan budaya sebagai atraksi utama bidang pariwisata.

Sebagai warga Hindu Bali, saya mengerti pentingnya agama dan budaya dalam kehidupan masyarakat kita. Juga pentingnya kedua hal ini dalam menghasilkan devisa, tidak hanya bagi Bali tetapi juga Indonesia. Namun, saya tidak selalu setuju ataupun mendukung tuntutan ini.

Menurut laporan Badan Pusat Statistik Bali (2015) yang ditulis Kompas dan Suluh Bali, biaya untuk upacara agama adalah salah satu komoditas bukan makanan yang menyebabkan angka kemiskinan di Bali.

Banyak anggota masyarakat memiliki gaya hidup lebih besar pasak daripada tiang dan tidak disiplin mengatur keuangan saat menyelenggarakan upacara agama.

Banyak anggota masyarakat yang saya observasi memiliki gaya hidup lebih besar pasak daripada tiang. Mereka juga tidak disiplin mengatur keuangan saat menyelenggarakan upacara agama. Hal ini terutama mereka yang memiliki kebiasaan membandingkan diri dengan tetangga atau saudara lain, sekaligus menganggap upacara agama sebagai ajang kompetisi untuk menunjukkan status sosial mereka.

Saya ingat sekali percakapan dengan seorang wanita Bali yang tinggal di daerah Padonan, Canggu, Kuta Utara. Tukang bangunan harian untuk membantu suaminya itu mengatakan, “Saya cukup menikmati pekerjaan lepas ini karena waktu kerja lebih fleksibel walaupun secara fisik memang melelahkan. Namun, yang membuat saya merasa berat adalah pendapatan saya kebanyakan habis untuk menyama braya dan biaya pendidikan anak saya.”

“Saya bahkan harus menjual sarana persembahan lain untuk penghasilan tambahan karena apa yang saya hasilkan tidak cukup. Saya pun tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk menikmati hasil kerja saya sendiri akibat dua alasan di atas,” tambahnya.

Belum lagi jika si pekerja adalah laki-laki dan memiliki kecanduan judi sabung ayam atau perokok, dua hal yang juga merupakan penyebab kemiskinan kedua tertinggi setelah beras.

Dari pengalaman saya pribadi, penghasilan yang makin tinggi mendorong keinginan material yang semakin tinggi juga. Saya juga menilai bahwa para demonstran tidak menyadari bahwa semakin tinggi upah pokok, maka harga kebutuhan hidup pun akan ikut meningkat.

Laporan ADB juga menyebutkan, semakin tinggi upah minimum regional, maka kecenderungan pengusaha untuk menggunakan pekerja kontrak akan semakin tinggi. Hal ini karena jumlah THR dan pesangon akan menyesuaikan sehingga akan cukup memberatkan pengusaha.

Sebagai pulau yang sektor pariwisatanya kebanyakan memberikan service charge pada pekerjanya, terutama pekerja hotel dan restoran, permintaan ini akan sangat menyulitkan pengusaha kecil yang baru saja memulai usaha maupun pengusaha hotel yang sudah memberikan cukup banyak keuntungan bagi pegawai tetapnya.

Salah satu tuntutan buruh Bali dalam aksi May Day dengan meminta dimasukkannya biaya upacara. Foto Metro Bali.

Upah di Bawah Standar

Ketiga, makin banyak pekerja melaporkan pada saya bahwa mereka menerima upah di bawah upah minimum kabupaten (UMK). Di sisi lain jumlah perusahaan lebih banyak daripada jumlah staf Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) yang bertugas untuk sidak.

Banyak pekerja enggan melaporkan hal ini karena masih banyak yang tidak bergabung dengan serikat pekerja. Mereka juga khawatir laporannya tidak akan diladeni atau pihak pengusaha akan menyuap untuk melepaskan jeratan hukum. Karena itu tantangan untuk melindungi hak dasar pekerja pun akan makin tinggi.

Keempat, daily worker atau pekerja harian lepas masuk dalam kategori Pekerja Waktu Tertentu. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, daily worker hanya boleh bekerja selama 20 hari.

Nyatanya, masih banyak daily worker bekerja selama 30 hari dalam waktu tiga bulan berturut-turut. Parahnya lagi ada laporan dari mantan daily worker sebuah hotel bintang 5 ternama yang harus menjalani kontrak daily worker selama tiga tahun sebelum diangkat menjadi pegawai tetap. Padahal, sering kali pengangkatan hanya terjadi jika seorang pekerja tetap mengundurkan diri. Akibatnya, tidak ada jaminan bahwa daily worker pasti akan diangkat.

Peraturan Ketenagakerjaan tidak mengatur tentang daily worker kontrak tahunan. Maka, beberapa hotel pun memanipulasi aturan ini. Banyak daily worker tidak mengetahui bahwa secara hukum, jika mereka lebih dari 20 hari selama tiga bulan berturut-turut ataupun lebih, maka secara otomatis, status mereka sudah menjadi pegawai tetap.

Banyak dari mereka juga tidak tahu bahwa jika kontrak yang diberikan tidak ditandatangani Disnaker, maka kontrak tersebut tidak sah dan jika tidak ada kontrak tertulis setelah mereka bekerja selama waktu tersebut, maka secara hukum status mereka sudah menjadi Pekerja Waktu Tidak Tertentu.

Saya juga mendapatkan laporan bahwa beberapa perusahaan memberikan daily worker gaji UMK regional bahkan lebih rendah dari pekerja tetap.

Sementara, Pasal 17 ayat (2) Permenaker 7/2013 mengatakan bahwa upah pekerja/buruh harian lepas, ditetapkan secara bulanan yang dibayarkan berdasarkan jumlah hari kehadiran dengan perhitungan upah sehari:

  • bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, upah bulanan dibagi 25 (dua puluh lima);
  • bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, upah bulanan dibagi 21 (dua puluh satu).
Agama dan budaya berperan penting dalam menghasilkan devisa bagi Bali. Foto Anton Muhajir.

Aturan Perlu Direvisi

Kelima, banyak pemilik usaha memberlakukan sistem probasi untuk pekerja kontrak. Padahal, dalam aturan ketenagakerjaan, hanya pekerja tetap yang berhak mendapatkan probasi. Banyak pekerja tidak memahami atau mengetahui bahwa jika mereka diberikan probasi dan lulus, status mereka sudah pekerja tetap.

Keenam, banyak pengusaha yang memberlakuan sistem kontrak hanya bagi pekerjaan di luar kegiatan atau perkerjaan yang biasa dilakukan perusahaan, seperti seorang spesialis. Akibatnya, pekerjaan seperti pramusaji, kasir, housekeeping, butler, personalia bahkan manajer bukanlah jenis posisi yang bisa diberikan sistem kontrak. Sekali lagi jika kontrak mereka tidak ditandatangani oleh Disnaker, maka kontrak tersebut dianggap tidak sah secara hukum.

Ketujuh, pelanggaran lain yang saya temukan adalah banyaknya kasus di mana dalam kontrak disebutkan bahwa jika pekerja diberhentikan sebelum masa kontrak berakhir, maka pengusaha tidak akan membayar penalti. Begitu juga sebaliknya. Padahal, menurut aturan, siapapun pihak yang mengakhiri kontrak sebelum kontrak berakhir harus membayar penalti. Penalti yang harus dibayar adalah sejumlah upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Kedelapan, sebuah laporan juga menyebutkan ada beberapa staf personalia yang enggan membantu daily worker atau pekerja yang menduduki posisi lainnya untuk dipromosikan sebagai pekerja tetap karena status mereka sendiri pun hanyalah pekerja kontrak.

Kesembilan, sebuah sumber tepercaya membocorkan, sebenarnya banyak pekerja tetap yang menolak memberikan service charge kepada daily worker walaupun mereka sudah mengabdi selama bertahun-tahun dan diberikan tanggung jawab sama.

Banyak daily worker tidak terima hal ini. Penyebabnya, mereka melihat banyak contoh pekerja tetap yang performa kerjanya justru stagnan, menurun, dan bahkan bersikap arogan setelah mendapatkan posisi tersebut, tetapi malah tetap mendapatkan banyak uang tambahan lain selain gaji.

Ada beberapa manajemen dan pemilik usaha yang membocorkan bahwa mereka justru memberikan service charge secara bertahap kepada daily worker karena menyadari beratnya mencari pegawai baru yang membutuhkan waktu untuk dilatih. Ada juga yang tidak mau menggunakan daily worker dan langsung memberikan posisi kontrak atau tetap setelah masa probasi karena melihat contoh pekerja yang tidak menampilkan performa kerja maksimal dan berkualitas karena mereka merasa tidak dihargai sama dengan pegawai tetap.

Bagi saya, usaha pemerintah untuk melindungi pekerja akhirnya hanya membantu pegawai tetap dan bukan semua pekerja. Contoh di atas memperlihatkan bahwa keuntungan yang didapat di luar gaji dibuat tidak berdasarkan kompetensi. Apalagi peraturan pemerintahan kita juga menyulitkan pengusaha yang ingin memecat pekerja yang tidak kompeten.

Meskipun aturan pemerintah sudah menunjukkan usaha untuk melindungi pekerja, banyak aturan yang masih perlu direvisi dan dievaluasi.

Kesepuluh, banyak daily worker yang mengeluh bahwa mereka dituntut bekerja lebih dari 8 jam tanpa diberikan upah lembur.

Kesebelas, website Departemen Tenaga Kerja Bali terakhir diupdate pada tahun 2016 dan tidak memberikan informasi yang mengedukasi para pekerja tentang hak-hak mereka.

Dari hasil pembelajaran saya tentang Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan Indonesia, saya melihat bahwa meskipun aturan pemerintah sudah menunjukkan usaha untuk melindungi pekerja, banyak aturan yang masih perlu direvisi dan dievaluasi terutama peraturan untuk pekerja tetap.

Diperlukan adanya penelitian komprehensif dan menyeluruh maupun dialog bersama antara pemerintah, pengusaha, dan pemerintah untuk mencari solusi yang adil. [b]

The post Sudah Efektifkah Perlindungan terhadap Daily Worker di Bali? appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *