STATUS TELUK BENOA PASCA PERDA PERUBAHAN RTRWP BALI*

Oleh: I Wayan Gendo Suardana**

 

Sidang Paripurna DPRD Propinsi Bali (20/8)/2019) telah mengesahkan Ranperda tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Bali Tahun 2009-2019, hal yang paling mengemuka dalam isu pengesahan perubahan RTRWP Bali ini adalah mengenai, ditetapkannya Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi,. Di dalam media massa, Ketua Pansus I Ketut Kariyasa “posisi Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi tidak diutak-atik lagi dalam revisi RTRW sekaligus meneguhkan apa yang menjadi komitmen dan rekomendasi Gubernur Bali terpilih I Wayan Koster. Kariyasa menyatakan pula; “Semestinya tidak ada istilah demo-demo lagi. Kita sudah sangat aspiratif dalam pansus tata ruang”. (Bali post, 20/8).

 

Penulis berpijak dari pendapat tersebut, karena dapat tersirat hendak menyampaikan kepada publik bahwa urusan penetapan kawasan konservasi Teluk Benoa sudah selesai. Namun tidak demikian bagi Penulis. Pengesahan Ranperda tersebut (yang didalamnya berisi penetapan Teuk Benoa sebagai kawasan konservasi) adalah fakta, tetapi secara hukum, khususnya hukum tata ruang, penting didalami, apakah penetapan tersebut menjamin secara hukum Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi, sehingga tidak dapat direklamasi? Hal ini mengingat pengaturan ruang Teluk Benoa sudah diatur melalui Perpres No 51 th 2014.

 

Untuk menjawab hal tersebut, tentu saja yang harus diperiksa adalah mengenai pengaturan ruang dalam UU No 26 th 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebut UUPR), yang pada pokoknya menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan secara berjenjang dan komplementer. Yang dimaksud dengan “komplementer” adalah penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling melengkapi satu sama lain, bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam penyelenggaraannya.

 

Mengingat pengaturan ruang Teluk Benoa telah diatur dalam Perpres no 51 th 2014 yang pada pokoknya mengubah Teluk Benoa dari kawasan konservasi menjadi kawasan budi daya zona penyangga (vide; Pasal I ; Pasal 56 jo. Pasal 63A Jo Pasal 101A), sebaliknya, DPRD Propinsi Bali menetapkannya sebagai kawasan konservasi.. Keadaan ini adalah keadaan yang saling tumpang tindih, tidak saling melengkapi dan tidak sinergis atau saling bertentangan. Oleh karena memuat norma yang saling bertentangan tentu saja patut diuji, dalam konteks penataan ruang yang diatur dalam UUPR, manakah yang peraturan hukum yang lebih berwenang untuk mengatur ruang Teluk Benoa, Perpres no 51 th 2014 ataukah Perda perubahan RTRWP Bali?

 

Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan 2 (dua) hal, yakni: a. rencana umum tata ruang, b. rencana rinci tata ruang. (vide pasal 14 UUPR). Kedua hal tersebut berkaitan erat karena rencana rinci tata ruang disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang. Rencana rinci tata ruang merupakan penjabaran rencana umum tata ruang yang dapat berupa rencana tata ruang kawasan strategis yang penetapan kawasannya tercakup di dalam rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci tata ruang merupakan operasionalisasi rencana umum tata ruang.

 

Dalam perencanaan tata ruang ini khususnya dalam rencana umum tata ruang, terdapat penjenjangan yang jelas. Hierarki ini dibedakan menurut wilayah administrasi pemerintahan karena kewenangan mengatur pemanfaatan ruang dibagi sesuai dengan pembagian administrasi pemerintahan. Sedangkan mengenai rencana rinci tata ruang terdiri atas: a) rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional (huruf tebal oleh penulis), b) rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan c) rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

 

 

Lebih lanjut mengenai rencana tata ruang wilayah nasional, di dalam UUPR, diatur dalam peraturan pemerintah sedangkan mengenai rencana rinci tata ruang termasuk pula rencana tata ruang kawasan strategis nasional diatur dengan peraturan presiden. Salah satu rencana tata ruang kawasan strategis nasional yang dibentuk oleh Pemerintah adalah Perpres No. 45 Tahun 2011. Perpres tersebut adalah mencakup 4 (empat) kota Kabupaten yakni Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Tabanan sebagai rencana tata ruang kawasan perkotaan Sarbagita.

 

Peran dari rencana tata ruang kawasan Perkotaan Sarbagita adalah sebagai alat operasional rencana tata ruang wilayah nasional dan sebagai pelaksanaan pembangunan di kawasan perkotaan Sarbagita. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 Perpres No. 45 Th. 2011 yang menyatakan: “Rencana tata ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita berperan sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan alat koordinasi pelaksanaan pembangunan di Kawasan Perkotaan Sarbagita.” Jangka waktu dari Perpres ini yang mengikuti ketentuan berlakunya jangka waktu RTRWN sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (vide; Pasal 123 Ayat (1) Perpres No. 45 Th. 2011). Dengan demikian, senyatanya Perpres no 45 th 2011 adalah bagian dari RTRW Nasional, halmana kewenangannya berada di tangan pemerintah pusat. Artinya, kewenangan pengaturan rencana tata ruang di Teluk Benoa secara hukum telah beralih sejak diterbitkannya perpres dimaksud.

 

Konsekuensi hukum dari terbitnya Perpres No. 45 Th 2011, dihubungkan dengan prinsip penataan ruang yang dilakukan secara berjenjang dan komplementer, adalah rencana tata ruang di kawasan Sarbagita yang diatur dan ditentukan dalam Perpres ini berlaku mutlak dan dapat membatalkan ketentuan penataan ruang yang berada dibawahnya. Artinya, seluruh peraturan hukum mengenai penataan ruang yang ada di bawah Perpres 45 Th 2011, baik Perda RTRWP Bali maupun Perda RTRW 4 (empat) kabupaten/kota yakni : Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan yang bertentangan dengan Perpres No. 45 Th 2011 dinyatakan tidak berlaku.

 

Ketentuan tersebut diatur dalam BAB IX tentang Ketentuan Peralihan dan Bab X tentang Ketentuan Penutup Perpres No. 45/2011. Pada Pasal 121 huruf a dan huruf b pada pokoknya, mengatur bahwa sejak berlakunya Perpres ini, maka ketentuan dalam Perda RTRWP, Perda RTRW Kabupaten/Kota, dan Perda tentang rencana rinci tata ruang beserta peraturan zonasi yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini. Bagi peraturan yang bertentangan harus disesuaikan paling lambat dalam waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak Perpres ini ditetapkan. Ketentuan tersebut menyiratkan secara tegas bahwa tidak ada celah bagi peraturan hukum penataan ruang di bawahnya untuk memuiat ketentuan ruang bertentangan dengan Perpres ini. Hal yang lebih rinci juga diatur dalam pasal 122 ayat (1) dan ayat (2) yang menegaskan bahwa terkait izin pemanfaatan ruang pada masing-masing daerah wajib sesuai dengan perpres dimaksud, atau wajib menajdikan Perpres ini sebagai acuan pemberian ijin pemanfaatan ruang.

 

Dengan adanya perubahan terbatas atas Perpres No. 45 tahun 2011 melalui Perpres No 51 th. 2014, dalam hal ini perubahan kawasan konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan Budi Daya zona Penyangga (vide: pasal 56 jo pasal 63A), dan mengalokasikan ruang untuk melakukan reklamasi paling luas 700 hektar (vide pasal 101A Perpres no 51 th 2014), maka secara mutatis mutandis yang berlaku dalam pengaturan ruang di Teluk Benoa adalah Perpres no 51 th 2014. Keadaan ini, selanjutnya dikaitkan dengan perencanaan ruang yang berjenjang dan komplementer, mengandung kosekuensi logis bahwa peraturan tata ruang dibawahnya baik RTRWP Bali mapun RTRWK Denpasar, Badung, wajib tunduk dan menyesuaikan pengaturannya yang terkait dengan Teluk Benoa sebagaimana yang ditetukan dalam Perpres 51/2014. Artinya sejak 3 Juni 2014 hingga kini Teluk Benoa tetap berstatus sebagai kawasan Budi daya zona penyangga bukan kawasan konservasi.

 

Berdasaarkan semua paparan Penulis di atas, maka senyatanya, tindakan DPRD Bali yang mentapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi adalah tindakan yang tidak mempunyai akibat hukum bagi status kawasan Teluk Benoa. Secara hukum, pengaturan ruang di Teluk Benoa adalah kewenangan dari pemerintah pusat yang telah nyata diatur dalam perpres no 51 th 2014 dan RTRWP Bali wajib tunduk dan menyesuaikan dengan isi perpres no 51 th 2014. Sekalipun ditetapkan demikian oleh DPRD Bali, maka pengaturan demikian dalam persepktif hukum tata ruang tidak berakibat hukum karena setiap ijin pemafaatan ruang akan kembali merujuk pada Perpres 51 /2014. Sepanjang Perpres 51/2014 berlaku, maka peraturan tata ruang dibawahnya (yang merupakan turunan dari UUPR) akan diabaikan dan rujukan utamanya adalah Perpres 51/2014.

 

Pertanyaan terakhir yang paling menarik, apakah tindakan DPRD Bali sama sekali tidak punya arti? Tentu saja tidak sepenuhnya demikian. Secara normatif hukum, dengan berat hati Penulis sampaikan tindakan DPRD Bali tersebut memang tidak ada arti. Namun demikian, secara politis (jikapun tindakan tersebut diapresiasi), maka tindakan tersebut menunjukan 2 hal yakni; (1) Simbol semangat politik DPRD Bali untuk mempertahankan Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi, (2) Simbol sikap protes DPRD Bali atas pemberlakuan Perpres no 51 th 2014. Namun tentu tindakan dirasa kurang karena yang diharapkan adalah DPRD Bali melakukan terobosan politik dengan membuat keputusan Sidang Paripurna untuk menolak reklamasi Teluk Benoa dan sikap pembatalan Perpres no 51th 2014. Selanjutnya didesakan kepada pemerintah pusat sebagai pihak yang berwenang dalam tata ruang Sarbagita. Bila ini tidak dilakukan, jangan salahkan bila muncul persepsi publik bahwa tindakan tersebut hanya bertujuan melakukan pencitraan politik lembaga DPRD Bali jelang berakhirnya masa jabatan periode ini.

 

—————0000—————–

 

*Tulisan ini pernah dimuat di Media Bali Post, Halaman Opini, Jumat, 23 Agustus 2019, hal. 6

 

**Penulis adalah Dewan Nasional WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan sekaligus Kordinator ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *