SOUNDRENALINE DAN FACEBOOK: SEBUAH CATATAN PERJALANAN

Kenapa Soundrenaline? Ini bukan karena kebetulan sempat datang di mega konser yang satu ini, bukan juga karena konser tahun ini hanya diselenggarakan di Bali, tetapi tidak bisa dipungkiri, Soundrenaline masih diklaim sebagai panggung musik bergenre rock yang paling banyak menyedot perhatian publik dan media hingga hari ini. Jika para penggila rock di Amerika selalu membanjiri dua festival rock paling bersejarah: Woodstock dan Lollapalooza, lalu Australia juga punya Big Day Out, Jerman menjadi panas dengan seri Rock Im Park dan Rock Am Ring-nya serta para kamikaze muda Jepang juga tidak mau kalah dengan Summer Sonic-nya, maka Soundrenaline bisa menjadi jawaban atas pertanyaan “Festival Rock Terbesar di Indonesia apa sih?”.

15 November yang lalu dua puluh ribuan manusia berdatangan menjejali Garuda Wisnu Kencana (GWK), Pecatu.  Di hari Minggu yang cerah itu seluruh tiket ludes terjual. Malam hari deretan kendaraan menjadi sangat panjang, banyak yang gigit jari karena berlama-lama tertahan di jalan untuk sekedar bisa menembus pintu masuk. Yang datang malam hari malah pasrah dua hingga tiga jam untuk antri. Padahal band-band hebat sudah mulai tampil sejak sore jam tiga. Susahnya menembus GWK membawa kerugian terhadap jadwal tampil band. Banyak jadwal yang tidak bisa ditepati, misalnya kehadiran Burger Kill yang sangat molor karena terhalang oleh padatnya penonton sejak di jalan raya. Akhirnya band-band lokal yang selalu harus mengalah. Mestinya lebih banyak lagi penonton yang bisa melihat XXX tampil sangat luar biasa dengan kolaborasi kecak dan heroisme merah putihnya. Beberapa penonton dari luar Bali sempat nyeletuk “Gile ini band. Keren banget..” Ryan Kanan Lima mesti jumpalitan hingga celana jins nya robek, belum lagi nanoeBiroe yang tampil agesif dengan dukungan ratusan Baduda-nya. Sesungguhnya mereka perlu mendapat perhitungan dan tidak bisa dipandang sebelah mata oleh penyelenggara. Tapi ada yang perlu diberi aplaus, yaitu antisipasi terhadap semangat band-band indie Bali untuk tampil di Soundrenaline ini, walaupun akhirnya hanya bisa tampil di panggung yang lebih kecil. The Day After The Rain, Painful By Kisses, de Buntu dan kawan-kawan akhirnya bisa mendapat tempat untuk menjajal momentum Soundrenaline.

Minim Publikasi Tapi Kok Bisa Luber Penonton?

Barisan list of the performers yang tampil di Soundrenaline memang selalu menjadi magnet yang kuat untuk mendatangkan banyak penonton. Apalagi sebagian dikenal dengan tampilan panggung yang selalu dinantikan. Festival Park menjadi panas oleh Burger Kill yang tampil penuh energi, Koil masih tampil cadas, Pas Band dan Netral masih belum ada matinya, Kotak menunjukkan kelasnya dalam beraksi, Saint Locco tampil hangat, juga tentu saja daya pikat SID mendatangkan para Outsidernya. Belum lagi mereka yang tampil lebih melow di Lotus Pond: D`Massive, Ungu, Andra & The Backbone, The Rock, Nidji, Gigi dan tentu saja Slank. Semua adalah jaminan gelontoran adrenaline dan keringat buat menonton.

Tetapi ada yang menarik dari kehadiran puluhan ribu penonton itu karena sesungguhnya konser ini tidak terlalu gegap gempita dalam berpromosi, bahkan tidak terlihat ada mega promosi di media-media konvensional. Tidak seperti yang sudah-sudah. Tahun-tahun sebelumnya kita sering lihat bagaimana ramainya iklan Soundrenaline menjejali TV, majalah, radio dan surat kabar. Logikanya bila sebuah acara minim dengan promosi maka berisiko dengan minimnya kehadiran penontonnya. Tetapi logika sederhana ini rupanya sudah tidak bisa dipertahankan lagi dengan semakin mendapat tempatnya kehadiran media non-konvensional berbasis jaringan sosial di dunia maya. Tidak banyak yang menduga, justru Soundrenaline dipenuhi oleh banjirnya masa anak muda yang mengikuti perkembangan acara ini lewat situs-situs jejaring sosial di internet seperti Facebook, Twitter dan blog. Terutama Facebook. Sesungguhnya kekuatan konser ini dalam mendatangkan masa hanya ada dua: brand Soundrenaline yang sudah melekat dan hingar bingarnya Facebook.

Lagi-lagi Facebook

Begitu populernya Facebook, sampai Gigi pun terinspirasi untuk membuatnya menjadi sebuah lagu “my facebook” yang masih kencang beredar di radio-radio. Bagaimanapun juga, kepopuleran lagu “Online”  telah membuat Saykoji makin populer dan bertambah kaya.  Tidak bisa dihindari Facebook saat ini adalah situs jejaring sosial yang sedang digandrungi. Pengguna Facebook hingga awal November telah menembus 325 juta user di seluruh dunia.  Dari 325 juta pengguna tersebut, pengguna Facebook di Indonesia sudah mencapai angka 12 juta. Angka tersebut menempatkan Indonesia di posisi ke 7 sebagai negara pengguna Facebook terbesar di dunia. Dan dari 12 juta pengguna lebih tersebut, 47,04 persen di antaranya merupakan pengguna aktif. Urutan negara dengan pengguna terbanyak adalah Amerika Serikat, Inggris, Turki, Perancis, Kanada, Italia, Indonesia, Spanyol, Australia, dan Filipina.

Dengan fenomena maraknya situs-situs jejaring sosial yang saat ini dipimpin oleh Facebook dan Twitter, mengirim pesan berantai dan saling menanggapi pesan dijamin bisa langsung diakses ke ratusan orang dalam hitungan detik dan menit, atau bahkan ribuan hingga jutaan orang hanya dalam sehari. Hanya dengan melakukan update status di Facebook bertuliskan “Yuk datang ramai-ramai ke Soundrenaline di GWK minggu depan”, seorang facebooker yang memiliki friend list sebanyak seribu teman saja sudah bisa mendapatkan tanggapan dari belasan orang dalam hitungan menit. Itu baru yang memberikan “comment” atau sekedar mengklik tanda jempol “like this”, belum lagi yang sekedar membaca tanpa meninggalkan jejak. Bisa dibayangkan bila status serupa juga dibuat oleh ratusan facebooker lainnya dengan respon yang serupa. Dan bisa ditebak, sesungguhnya dalam hitungan tiga hari saja ajakan untuk menghadiri event seperti Soundrenaline bisa langsung diketahui oleh jutaan pengguna Facebook yang sebagian besar adalah anak muda, yang juga merupakan target usia dari Soundrenaline. Itu baru Facebook, belum yang di Twitter. Dengan kata lain, di jaman sekarang, kehadiran media konvensional untuk mempromosikan acara-acara seperti konser musik dan sejenisnya makin digeser oleh kehadiran situs jejaring sosial. Dan ini adalah sebuah keuntungan besar bagi sebuah konser yang sudah punya nama sekelas Soundrenaline.

Sisi Lain Facebook: Fenomena Pee Wee Gaskins, Party Dorks vs APWG

Tetapi apakah kehadiran Facebook selalu membawa kabar baik? Tunggu dulu, saking paniknya, salah satu lembaga berbasis agama sempat melarang penggunaan Facebook. Kehadiran Facebook memang terasa jelas memunculkan fenomena kreatif. Hal-hal baik dan buruk bisa saja terjadi bagai sebuah pisau yang bisa ditujukan buat mengiris bawang sekaligus mengiris urat nadi. Demikian juga, ternyata sebelum konser Soundrenaline berlangsung kabar-kabar dan komentar yang muncul di status, di wall, di group Facebook juga tidak selalu ajakan yang kondusif. Tidak semua band yang tampil di Soundrenaline ternyata memiliki fans yang fanatik atau simpatik. Sebagian justru datang untuk menyalurkan aspirasi tidak simpatiknya kepada band yang tampil. Ini bukan cerita tentang D`Massive yang sejak sore sudah ditongkrongin oleh para Massivers Bali yang imut-imut dan jelita itu. Tetapi ini tentang Pee Wee Gaskins (PWG) yang menjadi korban malam itu. Malam yang bisa jadi tidak akan mereka lupakan karena mereka tampil tidak konsentrasi dan dibawah tekanan lemparan botol air mineral, teriakan-teriakan untuk meminta mereka turun dan umpatan akan istilah-istilah homoseksual yang distigmakan ke mereka, hingga meriahnya salam jari tengah yang sesungguhnya tidak pantas dari puluhan penonton yang merangsek ke depan panggung. Ironisnya ini terjadi di Soundrenaline, walaupun hal ini sudah bisa ditebak akan terjadi mengingat fenomena yang terjadi pada PWG belakangan ini. Jadi teringat fenomena serupa yang pernah terjadi di awal kemunculan SID sebagai band punk yang mulai diperhitungkan di panggung-panggung terbuka secara nasional beberapa tahun lalu. Terlepas dari apapun alasan anarkisme penonton terhadap musisi yang tampil, sesungguhnya hal ini perlu diantisipasi. Syukur anarkisme tidak berlanjut meluas.

Fenomena PWG ini bisa jadi disebabkan oleh kekuatan dunia maya. PWG juga “dijatuhkan” oleh Facebook. Kasus foto ciuman sejenis yang beredar luas di internet dan Facebook, yang katanya atau diduga dilakukan oleh personel PWG membawa respon antipati dari masa ABG dan remaja, yang memang menjadi sasaran target musik PWG. Mereka yang tadinya masuk ke dalam komunitas Party Dorks (fans PWG) malah justru ikut-ikutan melebur ke dalam komunitas APWG (Anti Pee Wee Gaskins) karena terpengaruh dengan hasutan yang beredar tentang berbagai isu dan gosip buruk personel PWG mulai dari kesombongan hingga permasalan seks. PWG sudah melakukan klarifikasi tetapi tentu saja hal-hal seperti ini sering kali tidak mempan dan  malah “berkat jasa” Facebook masa APWG makin bertambah banyak jumlahnya, bahkan ada 400 lebih account group Facebook yang memakai identitas APWG dengan jumlah member bervariasi. Di sisi lain jumlah group dengan identitas Party Dorks juga ada sekitar 400-an. Sebuah perang di ranah Facebook yang luar biasa. Tentu saja akhirnya isu ini merambah dunia nyata dengan respon yang sudah bisa ditebak: konser musik PWG yang selalu diselingi hujatan, salam jari tengah dan lemparan botol air mineral. Sepertinya di konser-konser PWG berikutnya, kejadian serupa masih juga akan terjadi. Tentu sangat disayangkan. Atau jangan-jangan PWG malah menikmati fenomena ini, saking kebalnya. Buktinya, dari sebuah info, San-San (salah seorang personel PWG) dengan bangga menyebutkan pasca konser Soundrenalin kemarin seorang vokalis band lain, Jimmy Multazam dari The Upstair menghampirinya dan bilang “San, gile juga band lu ya, bisa bikin rusuh gitu. Itu artinya band lu sudah bisa dibilang besar karena dapat perhatian besar dari penonton. Band gue aja nggak bisa gitu”. Nah lho. Dan semua fenomena ini bisa terjadi dengan cepat. Lagi-lagi gara-gara Facebook.

Perlukah Band Untuk Melek IT?

Jawabnya sangat mudah. Bukan lagi perlu, tetapi “harus”. Mengingat banyak fans bisa diraih dan cepatnya informasi yang bisa ditampilkan di dunia maya.  Yang menjadi syarat kemudian adalah: “good networking” dan “good relationship”. Membina jaringan yang lebih baik dengan komunitas musisi lain dan membina hubungan baik dengan para fansnya.  Itu artinya juga harus rajin untuk selalu berbagi informasi yang positif tentang keberadaan bandnya, tentu saja dengan gaya dan karakter masing-masing. Saat ini untuk bisa tampil dan mengelola fans sudah bisa dengan sangat mudah dilakukan lewat Facebook. Beberapa band Bali seperti Discotion Pill, Bintang, XXX, deBuntu, D`Kantin, Artmosphere, Hanamura terlihat aktif dalam mengupdate Facebooknya. Kalau mau yang lebih serius, bisa ditingkatkan lagi statusnya ke bentuk website yang dikelola dengan baik atau yang berbasis blog, seperti yang sudah dilakukan misalnya oleh SID, Navicula, Dialog Dini Hari, XXX, Telephone, Day After The Rain dan lainnya. Website komunitas seperti deathrockstar.com hingga musikator.com juga bisa digunakan sebagai sarana membina relasi musik ini. Mungkin sebagian band lagi lebih tertarik untuk menampilkan diri di situs MySpace dan Friendster, semua tentu bisa dilakukan untuk bisa membina relasi dengan fans dan band lain,  sekaligus promosi, selama semua bisa dibina lewat hubungan baik dan tidak mengundang antipati publik.

Nah, Sekarang Bagaimana?

Sudah saatnya musisi bisa dengan baik mengelola fansnya. Facebook adalah salah satu media yang paling mudah. Yang perlu diingat adalah tidak sekedar membuat, tetapi juga mengelolanya dengan baik. Walaupun hanya buat fans, tetapi karena sifatnya yg sangat mudah diakses dan bisa dilihat siapa saja, tentu saja jangan lagi sembarangan “melakukan kesalahan” walaupun tujuannya hanya untuk iseng dan senang-senang, karena tidak semua orang bisa dengan persepsi yang sama menerimanya. Manfaatkan peluang yang ada untuk membentuk jaringan yang luas tetapi bertanggungjawab, karena ini demi karir juga, karena apapun yang diinformasikan, bisa dalam hitungan detik sudah tiba sebagai informasi baru bagi ratusan, ribuan pengguna facebook atau fans dimanapun berada. Karena dunia maya adalah dunia yang tanpa batas. Jadi selama bisa bertanggung jawab, silakan lanjutkan berFacebook!

Ditulis dalam Majalah Musik; BM2, Edisi Desember 2009.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hosted by BOC Indonesia