Sexy Killers Bukan Penghakiman

Apa Itu Sexy Killers?

Sexy Killers merupakan film dokumenter tentang kisah produksi, distribusi dan konsumsi listrik masyarakat Indonesia yang digarap oleh Watchdoc Indonesia. Jika belum tahu, Watchdoc Indonesia adalah rumah produksi audio visual yang berdiri sejak tahun 2009.

Sepanjang berdirinya, Watchdoc sudah memproduksi lebih dari 160 film dokumenter dan juga memperoleh berbagai penghargaan. Adapun orang yang berada di balik Watchdoc Indonesia adalah Dandy Dwi Laksono. Seorang mantan jurnalis di beberapa stasiun tv swasta.

Famplet Film Dokumenter Sexy Killer

Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang siapa Dandy Dwi Laksono tersebut. Tulisan ini akan lebih membahas tentang isi film ini dari awal hingga akhir serta beberapa pendapat tentang tulisan ini. Karena sungguh di luar dugaan, film ini dapat memunculkan berbagai pandangan di kepala setiap orang. Sangat luar biasa.

Kontroversi Sexy Killers

Sejak kemunculannya, film ini sudah menjadi perbincangan banyak orang. Film yang ramai-ramai di tonton oleh banyak orang ini menuai berbagai pandangan. Sejak dikeluarkannya film ini, juga banyak daerah yang melaksanakan nonton bareng di tempatnya masing-masing. Hingga hari ini lebih dari 250 titik lokasi nonton bareng film ini. Bisa dibayangkan berapa juta masyarakat Indonesia yang sudah menonton film ini? Selain itu, sejak film ini resmi di unggah dalam platform Youtube sejak tanggal 14 April 2019 viewers film ini mencapai 21 juta hanya dalam waktu 2 minggu saja. Namun, uniknya film ini tidak masuk dalam trending youtube. Padahal jika dilihat dari jumlah viewersnya yang fantastis, film ini pantas masuk dalam trending youtube.

Selain dari segi jumlah penontonnya, baik pada momen nonton bareng maupun yang menonton di platform youtube. Film ini juga cukup menuai kontroversi, karena dalam film ini benar-benar mengupas habis keterlibatan kedua belah paslon yang sedang berkontestasi dalam Pemilu Tahun 2019 ini. Tanpa ada yang ditutup-tutupi, semua dibahas sampai tuntas keterlibatan elite politik Indonesia dalam oligarki tambang Indonesia.

Banyak juga yang mempertanyakan, kenapa film ini diputar pada detik-detik menjelang Pemilu diselenggarakan? Pertanyaan ini banyak sekali dilayangkan sebelum atau setelah menonton film ini. Bahkan dalam sesi diskusi Nonton Bareng film Sexy Killers di ISI Denpasar, ada salah satu penonton menanyakan hal tersebut kepada Dandy Dwi Laksono yang juga hadir sebagai narasumber kala itu.

Jawabannya sangat simpel dan masuk akal, “agar masyarakat dapat mengetahui siapa sebenarnya orang-orang yang akan dipilihnya nanti,” kurang lebih itulah yang dikatakannya. Jika, mengambil sudut pandang dari Sutradara Film, film ini diputar menjelang perhelatan demokrasi terbesar di Indonesia adalah untuk membuka wawasan masyarakat Indonesia akan calon pemimpin yang dipilihnya dan lebih memperkenalkan rekam jejaknya dalam bidang tambang khususnya.

Elite Politik Meragukan?

Saya
yakin banyak yang meragukan elite-elite politik Indonesia setelah mengetahui
data dan fakta yang disajikan dalam film Sexy Killers tersebut. Apalagi
kebanyakan narasi-narasi yang dilontarkan oleh mereka sangat berbanding terbalik
dengan apa yang nyataya terjadi.

Fakta bahwa bisnis tambang ini hanya dikuasai oleh segelintir orang dan ternyata dua kubu yang saling menyerang satu sama lain juga menjadi kolega dalam bisnis ini tentu akan menurunkan tingkat kepercayaan dari masyarakat kepada pemerintah sekarang. Dalam film tersebut juga disajikan cuplikan debat kandidat yang diikuti oleh kedua Calon Presiden yang pada kala itu sang moderator memberikan pertanyaan tentang nasib lubang bekas galian tambang yang terbengkalai dan memakan banyak korban jiwa di Kalimantan.

Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, moderator menyebutkan 3500 lubang tambang yang belum direklamasi kembali. Namun, respon dari kedua Capres tersebut sangatlah mengecewakan. Hanya melontarkan narasi bahwa akan tegas melawan mafia-mafia tambang perusak lingkungan dan tidak ingin banyak berdebat akan hal tersebut. Mengecewakan bukan?

Tidak
hanya sampai disana, dalam film tersebut juga ditampilkan cuplikan rapat komisi
VII DPR RI yang dipimpin oleh Muhammad Nasir selaku Wakil Ketua Komisi dari
Fraksi Partai Demokrat. Secara tegas menanyakan soal pertanggungjawaban
pemerintah terhadap lubang-lubang bekas galian yang terbengkalai kepada pihak
pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM yang kembali lagi tidak dapat
mempertanggungjawabkan ijin yang telah mereka keluarkan.

Mirisnya, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor tidak memiliki langkah strategis untuk menanggulangi lubang galian tambang yang makin hari semakin banyak merenggut korban jiwa. Pernyataan yang lebih parah lagi disampaikan oleh Gubernur Kaltim tersebut bahwa “korban jiwa terjadi dimana-mana, ya namanya nasib dia meninggal di kolam tambang.” Pernyataan yang sama sekali tidak memihak kepada masyarakat.

Dimana Posisi Negara dalam Kasus Ini?

Kembali
lagi, dalam kasus yang melibatkan kehidupan masyarakat kecil negara tidak
serius dalam menanggapai. Bahkan bisa dikatakan negara lebih memihak kepada
pemilik modal yang secara nyata tidak memperdulikan nasib masyarakat terdampak
langsung.

Bukan
tanpa alasan, melihat dan membaca respon yang disampaikan oleh pemerintah yang
notabene memiliki instrumen untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak terlihat
keseriusannya. Terlihat hanya sekedar memberikan jawaban yang mampu memuaskan
rasa ingin tau dari masyarakat banyak. Padahal belum tentu apa yang mereka
katakan akan langsung ditindak lanjuti. Ditunda? Sangat besar kemungkinan
tersebut karena tidak dalam prioritas mereka.

Padahal
dalam UUD 1945 pasal 33 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut : ayat (1) berbunyi; Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2);
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
, ayat (4), Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan
ayat (5); Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.

Meneropong bunyi dari
pasal 33 ayat 3, maka jika melihat realita hari ini apakah negara sudah mampu
mengamalkannya? Belum. Kenapa demikian? Karena masih sangat banyak sumber daya
kita yang dikuasai oleh pihak asing dan negara hanya bisa menikmati sedikit
dari sumber daya melimpah yang dinikmati oleh pihak asing. Negara harus segera
berbenah.

Bukan Penghakiman

Walaupun kita sebagai warga negara sudah mengetahui bahwa pemerintah kita memiliki banyak kekurangan, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, bukan berarti kita harus sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Sebagai warga negara, kita mesti memberikan kontribusi kepada negara, apalagi jika melihat pemerintah berada dalam track yang salah.

Wajib kita perbaiki yang dapat kita lakukan dengan berbagai cara, baik itu audiensi, demonstrasi atau bisa langsung melakukan aduan kepada Instansi terkait. Selain itu, media hari ini sangatlah efektif untuk menjadi ruang kita menyampaikan aspirasi. Tuangkanlah aspirasi dan pemikiranmu ke dalam bentuk tulisan dan sebarkan, sehingga banyak orang mengetahui apa saja keresahan serta apa solusi yang akan kamu berikan untuk dapat meningkatkan kinerja pemerintah.

Warga negara yang cerdas adalah warga negara yang memberikan kritik sekaligus solusi atau gagasan kepada pemerintah.

The post Sexy Killers Bukan Penghakiman appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *