Setelah 30 Jam Menuju Sisi Lain Bumi

IMG_7287
Paspor yang sudah aku siapkan itu ternyata tidak ada di tas.

Aku ubek-ubek di kantong bagian depan, tengah, dan belakang tas tidak ada juga. Tiap bawaan di atas sudah aku keluarkan demi mencari paspor tersebut.

Paspor hijau berisi formulir imigrasi dan bea cukai untuk masuk Ekuador itu tetap tidak ada! Aku setengah panik. Paspor itu tidak ada padahal aku sudah masuk antrean warga non-Ekuador di Bandara Quito,.

Seingatku, paspor itu beserta dua formulir sudah aku masukkan tas ketika di dalam pesawat KLM Amsterdam – Quito. Aku sempat masukkan kantong kursi, tapi kemudian sudah aku masukkan tas karena takut ketinggalan.

Pikiranku ke mana-mana. Bagaimana kalau beneran paspor itu hilang? Jatuh atau diambil orang, misalnya? Padahal sudah jauh-jauh dalam penerbangan Denpasar – Amsterdam selama 15 jam dilanjut Amsterdam – Quito selama 12 jam.

AMS - QUITOPerjalanan dari Indonesia lewat Singapura dan Amsterdam menuju Ekuador serupa perjalanan mengelilingi bumi. Setidaknya pas dilihat dari peta.

Namun, setelah perjalanan begitu jauh dan lama, aku harus menghadapi kenyataan konyol, paspor hilang.

Dengan agak putus asa, dan berharap benar, aku kembali ke pesawat KLM 0755. Dengan muka melas bilang ke pramugari maskapai Belanda tersebut. “Saya ketinggalan paspor di kursi.

“Nomor berapa?” tanya pramugari.

“28F.”

Sekitar 3 menit kemudian, mbak pramugari datang dengan membawa paspor hijau itu. Pasporku! Whaaaa. Ketemu juga. Ternyata aku memang ceroboh. Meninggalkan paspor di kantong kursi tanpa memeriksa lagi ketika mau turun pesawat.

Selebihnya, prosesnya jauh lebih mudah dari yang aku kira. Setelah antre dalam barisan sekitar 50 orang, aku pun maju ke loket imigrasi. Petugas perempuan bertanya dengan datar. Pertama kali ke Ekuador? Ya. Jeblek. Jeblek. Paspor distempel. Tak perlu visa. Bebas masuk negara di Amerika Latin ini.

Bienvenido. Selamat datang di Ekuador. Lega rasanya setelah lebih dari 30 jam perjalanan, akhirnya sampai juga.

IMG_7230
Penerbangan ke Ekuador bosa dilakukan lewat beberapa jalur. Setelah cek kali cek, paling murah adalah KLM lewat Amsterdam. Penerbangan dimulai dari Denpasar Sabtu malam, pukul 10-an. Meskipun tujuan Amsterdam, tapi sebagian besar penumpangnya justru berbahasa Perancis terutama yang duduk di sekitarku.

Setelah 2,5 jam, penerbangan transit di Changi, Singapura. Waktu di sini hanya 1 jam. Jadi agak buru-buru karena harus boarding ulang, termasuk lewat pemeriksaan ketat itu.

Dari Singapura, tanpa ganti pesawat, perjalanan berlanjut ke Amsterdam, salah satu titik penting Eropa. Setelah 12 jam penerbangan, kami pun tiba di Schipol sekitar pukul 8 pagi. Matahari baru terbit. Keren juga melewati pintu-pintu Schipol dengan cahaya pagi di antara jendela-jendela kaca.

Sin - Ams
Ini kali ketiga aku di Schipol. Rasanya selalu seperti akrab. Bisa jadi karena bandara ini yang pertama kali aku kunjungi ke luar negeri. Juga karena Belanda toh punya hubungan historis dan psikologis dengan Indonesia.

Sayangngya kali ini aku hanya lewat. Mampir selama sekitar 3 jam. Tak bisa keluar karena memang tak ada niat dan… visa. Gobloknya aku. Seharusnya bisa mampir ke Belanda atau Belgia dulu untuk istirahat atau urus kerjaan.

Pukul 10an pagi waktu Schipol, pesawat ke Ekuador pun berangkat. Ukuran lebih kecil dibanding pesawat Denpasar – Amsterdam. Layar televisi juga lebih kecil. Kurang asyik. ?

Selama 12 jam perjalanan, seharusnya kami tiba di Quito sudah malam. Tapi, karena perjalanan searah matahari, jadinya kami tiba pun masih sore.

Cuaca mendung. Suhu belasan derajat Celcius. Bandar Quito berada di daerah perbukitan. Bukit-bukit mengelilinginya. Sebagai bandara internasional, dia terlihat tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu ramai. Padahal masih pukul 4 sore waktu setempat.

Adriano, sopir yang akan menjemput, datang menyambut dengan kertas isi namaku.

Dari bandara ke Quito, ibu kota Ekuador masih sekitar 1 jam. Jalanan mulus, menanjak, dan berliku. Quito berada di ketinggian lebih dari 2.800 meter di atas permukaan laut. Sempat lirik kanan kiri pas di mobil, ngeri juga ternyata. Jurang sedalam kira-kira 20-30 meter menganga di pinggir jalan.

Hari sudah gelap ketika kami tiba di hotel tempat menginap. Hotelnya lebih mirip rumah. Setelah perjalanan begitu, lama dan panjang, mari rebahan dulu..


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *