Sesuluh Hidup dalam Satu Genggaman

Buku Antologi Cerpen Bilingual “Memayu Hayuning Hawana – Uniting Humanity” UWRF 2022

Kesepuluh cerita pendek (cerpen) dalam Buku “Memayu Hayuning Hawana – Uniting Humanity” A Billingual Anthology of Indonesia mengupas berbagai sisi kehidupan dengan menyisipkan unsur kearifan lokal. Salah satu buku kumpulan cerpen yang awet untuk memaknai hidup dan menghargainya.

Miris dan haru bercampur pilu, tetapi tak sampai membiru. Terkadang tawa berkelindan dengan kebingungan. Semua rasa itu silih berganti terasa, kala lembar demi lembar kumpulan cerita pendek telah terbaca semuanya. Sensasinya sama seperti memakan rujak kuah pindang super pedas sembari meminum es campur. Pedas, manis, masam, asin, kecut, dan pahit. setiap komponen memberikan rasa yang teramat kontras. Begitu pula setiap cerpen yang teramu apik pada Buku Kumpulan Cerpen “Memayu Hayuning Hawana – Uniting Humanity” yang hadir sebagai salah satu karya seni sastra dalam perhelatan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) ke-19.

Antologi Cerita Pendek Berbahasa Indonesia dan Inggris (Bilingual) ini merupakan hasil kurasi dari 1.300 karya yang masuk ke tim kurator UWRF. Sebagian besar penulis mengangkat kearifan lokal daerahnya sebagai landasan penciptaan tulisan. Kearifan lokal itu dikemas melalui beberapa aspek kehidupan manusia seperti pola interaksi dan tradisi, kesetaraan gender, lingkungan, sejarah bahkan mitos. Namun, ada pula yang hadir dengan kebaruan dengan menyuguhkan sebagian kecil realita penulis baru yang merasa serba tahu, atau mungkin lebih tepatnya penulis aji mumpung? Pepet sana sini agar karyanya diakui? Jawabannya ada, dan melalui cerpen bertajuk Jalan Buntu Kesusastraan, I Putu Agus Juli Sastrawan berhasil membuat saya tertawa sambal geleng-geleng kepala akan setiap paragraf yang dihiasi satire.

Selayaknya karya sastra, tidak hanya fokus pada fungsi hiburan semata. Seluruh cerpen ini kompak mematri pelajaran hidup, baik secara terang-terangan disampaikan maupun disisipi rapi melalui kiasan maupun permainan simbol. Kesepuluh penulis kompak meretas batas realitas, mendobrak stigma, dan secara terang-terangan menyuratkan getirnya kehidupan. Seluruhnya tidak dapat lepas dari kondisi sosiologis, geografis, dan seluruh is – is yang tidak dapat dijabarkan satu per satu. Sebab, jika saya melakukannya mungkin saya tak ada ubahnya Mausuri Lalilu, teman masa SMA Gigih, tokoh utama cerpen bertajuk Jalan Buntu Kesusastraan.

Saat membaca judulnya saja, saya langsung terkesiap, “Hmm unik juga judulnya, jarang ada cerpen dengan judul begini,” batin saya. Saya, sebagai penikmat sastra kelas teri (masih berusaha menyelami sastra dan menikmati sastra dengan benar), entah mengapa saya yakin kalau tulisan ulasan ini bagi sebagian orang hanya penuh ocehan dan ketidak pahaman. Namun, satu hal yang saya pegang kali ini saya juga memposisikan diri sebagai konsumen yang ingin mencicipi hidangan lezat menurut lidah saya. Sehingga, pada beberapa bagian bisa saja akan cukup subjektif, sebab yang lezat menurut saya belum tentu lezat untukmu maupun pembaca lainnya.

Kembali ke ulasan, seusai membaca cerpen karya Juli Sastrawan, saya teringat satu teori, Dunning Kruger Effect. Tokoh Mausuri Lalilu dengan nama asli Suri Umar adalah contoh riil seseorang dengan Dunning Kruger Effect, merasa diri paling pintar. Teori psikologi Dunning Kruger Effect dicetuskan oleh dua orang psikolog bernama David Dunning dan Justin Kruger. Mulanya, kedua psikolog tersebut bermaksud mengadakan riset berkaitan dengan kemampuan logika, tata bahasa, hingga selera humor. Riset pada tahun 1999 itu membuahkan penemuan bahwa peserta dengan hasil tes rendah justru menilai kemampuan diri mereka di atas rata-rata.

Ilustrasinya, pada saat penelitian aspek tata bahasa, beberapa peserta dengan kemampuan memahami teks maupun unsur kebahasaan yang rendah justru merasa paling memahami konteks bahasa. Intinya mereka merasa paling paham. Sosok si paling- inilah yang ditemukan dua psikolog ini menjadi teori Dunning Kruger Effect, yaitu sebuah fenomena kala seseorang meleset bahkan keliru menilai kemampuannya. Kaum si paling- ini tentu merasa superior, jago, se jago-jagonya ayam jago, bahkan lebih.

Paragraf keempat cerpen ini mulanya saya tidak menyadari hal tersebut. Namun, semakin bertambah paragraf yang saya baca, telaah, hingga tawa ini tak tertahankan lagi karena Gigih menuturkan dengan detil bagaimana Mausuri, sastrawan kemarin sore itu yang membutuhkan Gigih untuk menopang karirnya yang masih terseok-seok.

Gigih juga seorang penulis mungkin juga bisa disebut sastrawan. Usianya tiga puluh tahun. Karyanya sudah terbit dan penjualannya dramatis, itu kurang lebih yang disampaikan Gigih tentang dirinya. Kalau mau yang benar-benar lengkap tahu tentang Gigih, sangat disarankan langsung membaca cerpennya. Sebab ulasan bukanlah bocoran cerita, sensasinya tentu berbeda ketika membaca langsung dan menghayatinya.

Kembali lagi ke Gigih dan Mausuri. Beberapa dialog yang menggelitik, berhasil menyalip pula suara gemuruh kala saya memutuskan menulusuri seisi buku cerpen ini. Mausuri, penulis kemarin sore itu berusaha mati-matian agar karyanya terkenal, menghubungi berbagai penerbit, dan berakhir dengan hanya diterbitkan sebanyak 50 eksemplar. Bukannya merasa tertampar oleh keadaan. Ia justru semakin ke-pede-an. “Gendeng banget si Mausuri ini,” umpat saya kecil. Cara Mausuri meminta tolong tidak kalah menyebalkan, bukannya sopan, Mausuri justru kembali merasa diri tinggi. Gigih yang waras pun tak ingin ikut gila, meski hinaan Mausuri seperti dialog ini

“Kamu penulis terbitan Mayor Metra tapi masih sedikit punya uang”

Membuatnya keheranan. Cerpen buah karya Mausuri bertajuk “Ingatan Empat Tempat dan Kisah-Kisah Lainnya” yang kenyataannya jangankan sarat makna, menghibur saja tidak dan setelah dibaca pula oleh penerbit Mayor Metra kenalan Gigih, mereka kompak bersuara, cerpen Mausuri penuh dengan penggambaran menyudutkan perempuan, subjektifitas perempuan, dan segala imajinasi nyeleneh Mausuri yang sudah cukup jelas bahwa ia misoginis. Tokoh bernama Adira Lawahantam yang merupakan salah satu jajaran Penerbit Mayor Metra menuliskan dalam ulasannya bertajuk “Perempuan dalam Cengkraman Misoginis; Sebuah Telaah Teks Cerpen Karya Mausuri Lalilu”.

Misoginis merupakan cara pandang laki-laki yang mengatasnamakan perempuan membuat definisi atas tubuh perempuan sepenuhnya dimiliki laki-laki. Oleh karena itu, ketika ada perempuan yang mencoba untuk mengeksploitasi tubuh dan seksualitas, hal seperti ini menjadi sebuah aib yang perlu dilenyapkan. Akhir cerita, Gigih berupaya menjelaskan dengan jelas tanpa menyinggung perasaan Mausuri. Mempertegas bahwa Mausuri, yang menganggap dirinya penulis paling wahid, urgen untuk melek dan belajar kesetaraan gender. Tentu, Mausuri yang merasa dirinya pintar bukannya menerima masukan dan mulai berbenah. Disinilah Juli Sastrawan menutup kisah dengan tanya dari Mausuri, “Lalu sekarang bagaimana?”

Perempuan, Lingkungan, dan Kesetaraan

Para panelis pada sesi Local Culture in Literature dalam UWRF 2022 di Restoran Indus, Ubud (30/10), Andi Makkaraja (kemeja motif kotak-kotak berwarna cokelat) menjelaskan asal muasal inspirasi cerpennya yang bertajuk Siri di Ujung Badik.

Saya sempat mewawancarai salah satu penulis dari buku antologi cerpen UWRF 2022, yakni Andi Makkaraja. Cerpennya yang bertajuk Siri di Ujung Badik mengangkat kearifan lokal masyarakat suku Bugis. Mula-mula saat membaca cerpen lelaki yang berprofesi sebagai guru Bahasa Indonesia ini saya merasa kebingungan. Beberapa dialog dan istilah berbahasa Bugis kerap muncul menghiasi percakapan tokoh utama baik dengan tokoh lainnya maupun monolog dengan dirinya sendiri.

Andi mengungkapkan bahwa Siri di Ujung Badik merupakan cerita pendek yang terinspirasi dari rumitnya tradisi apabila disesuaikan dengan kondisi dimasa kini. “Bugis mengenal 5 gender, sayangnya tradisi di Bugis lebih mengutamakan andil laki-laki. Sehingga gerakan feminisme itu sulit,” tutur Andi seusai menjadi salah satu panelis dalam UWRF sesi Local Culture in Literature (30/10) lalu.

Kelima gender yang dimaksud Andi diantaranya, para masyarakat suku Bugis menetukan diri sebagai perempuan (Makkunrai), laki-laki (Orowane), laki-laki feminin (Calabai), perempuan maskulin (Calalai), dan Bissu (gabungan antara laki-laki dan perempuan) sesuai dengan kecenderungan yang dirasakan dari kecil dan pengaruh dari lingkungan sekitar.

Tokoh utama yang terlahir sebagai seorang perempuan, merasa amat terbatas dengan penentuan sepihak dari keluarga maupun warga di lingkungan rumahnya. Si tokoh utama dalam cerpen Andi telah dipaksa untuk menjadi anak perempuan dengan membuatnya berkutat pada pekerjaan domestik saja, seperti memasak dan mencuci. Bahkan soal pakaian pun tokoh utama tak dapat memilih, dan saat Ia telah menentukan pilihannya, terasing dan berpaling dari kampung halaman adalah bayarannya.

Salah satu dialog yang diungkapkan tokoh Ammak (ibu bahasa Bugis) dalam cerpen Siri di Ujung Badik yakni “Menjadi perempuan lebih gampang, Nak. Yang penting bisa masak dan mencuci.” Sebagai penulis, Andi ingin menyampaikan bahwa keluarga tokoh utama tidak benar-benar memahami kesetaraan gender. Sehingga berakhir dengan pemaksaan klasifikasi peran bahwa perempuan hanya berkutat pada urusan rumah tangga. Padahal, batasan itu seharusya tidak berlaku lagi di era perempuan masa kini yang seharusnya tangguh dan berdaya. Sebab, jika menginginkan kesetaraan, perempuan juga harus kuat, dan laki-laki wajib memaknai dan menghargai.

Fenomena kesetaraan gender yang masih sulit digapai memang terus bergulir. Meskipun kesetaraan tidak hanya milik perempuan, tetapi kenyatannya tiap-tiap rumah tangga masih gagap dalam ikut andil mengurus pekerjaan rumah tangga, yang sejatinya pekerjaan itu tidak hanya milik perempuan. Bayangkan, ketika seorang ibu yang bekerja di luar harus mengerjakan semua hal di rumah juga. Beban ganda yang menyiksa itu kerap tidak dilihat oleh sanak keluarga yang lain dan hal ini masih bergulir di abad ke-21.

Cerpen karya penulis lainnya seperti Nusantara Abad 16 oleh Eko Darmoko (penulis dari Jawa Timur), Malam Bulan Bercincin oleh I Wayan Agus Wiratama (penulis dari Bali), Sebuah Rumah Berwarna Biru oleh Iin Farliani (penulis dari Nusa Tenggara Barat), serta Tak Ada Donat Kentang di Bulan oleh Sasti Gotama (penulis dari Jawa Timur) dengan kompak menjadikan perempuan sebagai pemaknaan dan penghayatan cerita, tentu dengan kearifan lokal yang berpadu dengan daya imajinasi serta teknik penulisan yang ciamik.

Sisi lainnya seperti konflik antar suku di Kalimantan menjadi perhatian penulis Awi Chin dan menuangkannya dengan apik dan penuh plot twist melalui cerpen bertajuk Kayau. Sejarah kelam negeri yang sempat terjajah dikemas dengan penuh makna oleh Muhammad Nanda Fauzan dalam karyanya yang berjudul Fianhetto di Buitenzorg. Membaca cerpen Nanda Fauzan, saya merasa ikut terbawa ke masa-masa ketika Belanda menjajah Indonesia, kala praktik perbudakan menutup kesempatan masyarakat asli Indonesia, sebab kecerdasan mereka kerap dimanfaatkan oleh majikan yang memperbudak mereka. Meskipun tidak memahami beberapa istilah yang digunakan, sebab belum menjadi penggemar catur kelas kakap tetapi kalau curi-curi melihat istilahnya di internet saya yakin akan memudahkan pembaca seperti saya untuk memahami istilah-istilah yang disuguhkan.

Puspa Seruni dalam karya cerpen bertajuk Seteguk Air Untuk Tiket ke Surga memberikan makna-makna soal karma dan surga. Memaknai bagaimana seharusnya manusia berlaku maupun beribadah. Bagaimana ketika Tuhan menitipkan kelebihan khususnya rezeki, seperti apa kita mengelolanya. Apakah beribadah hanya dengan rajin ke tempat suci? Apakah menjadi manusia yang agamais dapat menenangkan jiwa raga? Puspa Seruni mengemasnya dengan apik. Cerpen ini layak diilhami bagi pembaca yang merasa butuh penguatan dari sisi batiniah.

Namun, bagi saya memang tak lengkap rasanya bila tidak ada yang membahas tema soal lingkungan. Syukur, karya Ricky A Manik bertajuk Balino Menjadi Pohon Senggeris turut hadir dalam antologi cerpen ini. Manusia cenderung berpikir tentang dirinya, yaitu manusia itu sendiri. Alhasil, lingkungan kerap dinomor sekiankan. Balino adalah tokoh utama dalam cerpen Ricky A Manik, Ia merupakan kepala keluarga dari sebuah keluarga kecil, tetapi bukan sembarang keluarga. Bukan karena kemapanan materinya Balino patut dipuja-puji, melainkan kemapanan akan kesetiannya terhadap alam.

Sebagai salah satu warga di pedalaman hutan Jambi, Balino mempercayai adanya Pohon Senggeris sebagai pelindung ia dan warga pedalaman lainnya. Sayangnya, aktivitas tambang yang garang, membuat Pohon Sanggeris yang diagungkan kian punah dan perlahan mati. Ketika warga pedalaman lainnya memutuskan meninggalkan wilayah pedalaman tersebut, Balino sekeluarga tetap setia dan percaya bahwa Pohon Sanggeris selalu melindungi mereka. Cara Ricky A Manik memadukan isu lingkungan dengan mitos di daerahnya tentang kepercayaan Pohon Sanggeris menciptakan klimaks cerpennya dengan Balino dan sang istri yang telah tiada menjelma menjadi Pohon Senggeris. Pengorbanan Balino sempat berhasil membuat akivitas tambang mundur. Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama.

Ilustrasi sampul buku ini dibuat begitu detail dan sarat makna oleh seniman Ni Luh Pangestu, yang menerjemahkan tema UWRF tahun ini melalui gambaran penuh ukiran dan pewarnaan yang cocok dengan situasi alam dan isinya saat ini. Selain tulisan yang berkualitas, keunggulan buku ini juga terletak pada adanya versi bahasa Inggris dalam satu buku. Sehingga, kalangan pembaca yang tidak memahami bahasa Indonesia dapat memahami dan memaknai cerpen-cerpen ini dengan membaca versi bahasa Inggris. Pada bagian dalam buku ini, bagi saya dapat ditambahkan ilustrasi yang sesuai dengan isi setiap cerpen agar estetika dari sisi visual juga tercurahkan.

Buku antologi cerpen ini ibarat cermin yang menjadi sesuluh kehidupan. Kala semuanya terasa begitu cepat, hingga melebihi cahaya kilat, kita butuh berhenti sejenak. Meluangkan waktu yang tak sampai sehari membaca buku-buku seperti ini. Sebab satu kali mungkin kita hanya mengerti sedikit, tetapi ketika terus terisi berkali-kali dengan karya-karya penuh pembelajaran menjadikan diri ini juga terus belajar, terus memaknai hidup dan menghargai sesama serta semesta yang menyertai perjalanan kita di dunia.

The post Sesuluh Hidup dalam Satu Genggaman appeared first on BaleBengong.id.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *