Tengah malam, pintu rumah Kustiyah digedor orang.
Padahal, waktu itu dia sudah hampir tidur. Bersama suaminya, dia keluar rumah. Di beranda tersebut seorang laki-laki berdiri dengan mata merah. Dari mulutnya tercium bau alkohol.
Kustiyah, warga Desa Kekeri, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat mengenal laki-laki tersebut. Dia sedang bermasalah dengan istrinya yang dibantu Kustiyah. “Dia sering memukuli istrinya,” katanya.
Karena pemukulan tersebut dilakukan untuk kedua kalinya, maka si istri dengan dukungan Kustiyah dan teman-temannya di Community Centre (CC) pun menggugat cerai. Laki-laki itu tak terima lalu marah kepada Kustiyah.
“Gugatan cerai itu biar jadi pelajaran kepadanya agar tak melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada istrinya,” ujar Kustiyah.
“Teror” malam itu sendiri berakhir damai. Laki-laki yang menggedor pintu tengah malam itu tak jadi marah karena diancam balik oleh Kustiyah dan suaminya. Jika dia tak pergi, maka warga kampung akan mengeroyoknya. Namun, cerita itu memberikan gambaran, begitulah salah satu risiko yang dihadapi Kustiyah dan teman-temannya di CC.
Cerita Kustiyah tersebut disampaikan padaku ketika aku berkunjung ke CC di Desa Kekeri ini. Sebenarnya, dia tak masuk dalam daftar lokasi atau narasumber yang harus aku wawancarai untuk keperluan Buletin ACCESS. Namun, karena sering mendengar cerita tentang CC ini, maka aku pun menyempatkan diri berkunjung.
Dan, cerita di balik CC ini memang menarik.
CC merupakan salah satu bentuk kelompok swadaya masyarakat di tingkat desa. Para warga ini, baik laki-laki maupun berkumpul agar mereka bisa menguatkan posisinya. Merekalah para warga berdaya. Tak hanya tahu tentang hak-haknya sebagai warga negara, mereka juga punya kemauan dan kemampuan untuk menuntut hak tersebut.
Di Kekeri, sebagai contoh, anggota CC ini bisa menuntut agar pelayanan kesehatan bisa lebih bagus. Mereka juga bisa menuntut perbaikan pembangunan fasilitas publik, seperti sekolah dan jalan raya.
CC ini punya tempat nongkrong. Biasanya di rumah salah satu anggota. Di rumah ini ada balai yang dalam bahasa setempat disebut berugak. Kalau di Bali biasa disebut balebengong. Di sinilah para warga biasa saling bertemu dan membicarakan apa saja.
Bagi para warga, CC ini jadi semacam tempat menyampaikan unek-unek apa saja. Tak melulu tentang fasilitas publik tapi juga isu domestik, seperti KDRT dan.. putus cinta.
Kalau urusan putus cinta sih urusan masing-masing. Tapi, tidak untuk KDRT. CC kemudian mendukung korban agar pelaku KDRT tersebut digugat. Ada yang kemudian selesai di tingkat desa namun ada pula yang berakhir dengan perceraian seperti yang diceritakan Kustiyah dan Sri Rahmadani, mantan Ketua CC Desa Kekeri.
Menariknya, hampir semua anggota CC ini adalah warga yang secara pendidikan ataupun tingkat pendapatan tergolong rendah. Anggota CC Desa Kekeri, misalnya, sebagian besar adalah buruh bangunan, buruh pabrik, penggali pasir, buruh tani, dan semacamnya. “Cuma satu anggota yang lulus kuliah. Sisanya cuma lulus SD,” kata Sri.
Mereka sendiri mengaku masuk golongan miskin. Toh, meski tingkat pendidikan dan ekonominya rendah, para warga ini berdaya. Dengan kekuatan bersama, mereka bisa menuntut haknya sebagai warga negara, sesuatu yang aku sendiri susah temukan di kota.
Leave a Reply