Sepekan dengan Keragaman Film Pendek di MWF 8

Salah satu sesi FMW 8 di Mash Denpasar.

“Dosis Film Pendek yang Sehat untuk Anda.” Inilah tagline yang terdengar sesaat sebelum film diputar di markas Minikino. Tahun ini, Minikino kembali menyelenggarakan festival film pendek tahunan mereka yaitu, Minikino Film Week. Tahun ini menjadi tahun kedelapan penyelenggaran festival berlabel internasional ini sejak pertama kali dimulai 2015 lalu.

Penyelenggaraan Minikino Film Week tahun ini dimulai dari 2-10 September 2022. Setidaknya ada 11 Pop-up Cinema dan atau micro cinema yang menjadi lokasi pemutaran-pemutaran film pendek kali ini. Main venue dari Minikino Film week 8 ini sendiri berlokasi di Mash Denpasar.

Kalau tidak salah, tahun ini menjadi tahun keempat saya datang dan menikmati film-film pendek yang diputar di Minikino Film Week. Seperti tagline-nya, saya rasa, kita perlu untuk sesekali menonton film-film yang tidak mungkin ditayangkan di layar-layar konvensional. Karya-karya yang lahir dengan budget yang bisanya dari kantong para filmmaker itu sendiri. Menonton dengan tujuan untuk merayakan sebuah karya.

Film memang menjadi medium yang paling sempurna untuk mengemukakkan sesuatu. Bantuan audio dan visual membuat sebuah pesan memang tersampaikan dengan lebih mudah.

Saya sendiri telah datang dua kali ke pemutaran FMW tahun ini. Pertama, saya datang ke Alliance Francaise Bali di Renon dan pada 8 September 2022 saya mecoba mampir ke main event festival yang berlokasi di Mash Denpasar. Dan kebetualan, salah satu film yang diputar di hari ketujuh acara ini adalah film karya Medy Mahasena yaitu Kala Rau When the Sun Got Eaten.

Film ini menangkap gambaran masyarakat Bali kala fenomena gerhana terjadi. Fenomena gerhana memang membawa hal-hal yang menarik untuk dibahas. Sentuhan, nuansa 90an juga ditampilkan dengan sebuah televisi jadul yang menayangkan siaran TV pada masa itu. Mengangkat tema gerhana dan mitos-mitos yang menyertainya merupakan sudut pandang yang jeli dari sang filmmaker.

Hal yang mengejutkan datang setelah sesi diksusi setelah pemutaran film, sang sutradara mengungkapkan bahwa film yang ia garap sempat mendapatkan pertentangan oleh dosennya. Medy berkata bahwa dosennya menganggap bahwa filmnya terlalu sensitif untuk diceritakan.

“Aku sendiri ketika membuat proposal ini cukup ditentang karena ada banyak hal yang sensitif yang diomongin tahun itu ada kaitan dengan orde baru juga, jadi ya, cukup ditentang waktu ujian proposal,” ujar Medy.

Ditanya perihal dari mana ide pembuatan fillm Kala Rau, Medy mengatakan bahwa filmya lahir dari obroal dan diskusi. Selain itu, dirinya juga membaca beberapa litarasi terkait gerhana matahari.

Medy juga menambahakan, suatu waktu ketika ia berkunjung ke Buleleng, dia mendengar cerita ketika terjadi gerhana matahari, terjadi kekacauan. Masyarakat yang masih percaya bahwa melihat gerhana matahari dengan mata telanjang itu berbahaya membuat tentara bahkan ikut turun menjaga desa-desa agar orang-orang tidak keluar rumah ketika gerhana terjadi.

Selain itu, Medy juga menemukan bahwa film terkait gerhana matahari juga masih sangat jarang di Indonesia, apalagi di Bali. Selain itu, mitos terkait gerhana matahari juga menjadi sudut pandang yang menarik untuk dibahas. Hal yang Medy tangkap dalam kameranya tidak lebih dari gambaran apa yang terjadi di momen-momen seperti fenomena gerhana. Selain itu, karya juga makin menunjukan dengan jelas bahwa hantu dan hal abstrak sering dipakai para penguasa untuk meredam masyarakat yang ingin bersuara.

“Menggunakan mitologi untuk menakut-nakuti sudah menjadi turun temurun di Indonesia bukan hanya dari zaman kerajaan dan zaman zaman berikutnya,” ujar Medy.

Gelaran festival film mingguan tahun ini juga lebih menyenangkan. Di Mash Denpasar kita bisa masuk ke sebuah ruangan yang menyediakan beberapa film yang diputar selama festival berlangsung. Saya sempat menonton beberapa karya menarik seperit, “Hey Guys! Balik Lagi Sama Gue, Tuhan!” dan beberapa film pendek lainnya.

Kembali, menonton film-film “Art House” seperti karya Medy memang sangat berguna. Jika bukan untuk menambah pundi-pundi kapital sang filmmker, setidaknya, kita bisa ambil bagian dalam merayakan sebuah karya.

The post Sepekan dengan Keragaman Film Pendek di MWF 8 appeared first on BaleBengong.id.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *