Sentilan dari Gang Kecil di Kota Denpasar

Mural Karya REbelline, menyoroti pengaruh media sosial dimasa kini.

Tampak sebuah gang kecil yang hanya bisa  dilewati sebuah mobil yang tepat di depan sisi sebelah kanan gang tersebut berdiri posko bergambar sebuah ormas beken di Bali. Sebuah gambar wanita ada di belakang Tugu (sebutan untuk tempat pemujaan yang berdiri sendiri), seolah hendak mengintip siapa yang hendak berlalu lalang di gang itu. Sebuah gedung kost-kostan tinggi menjulang, membelakangi gang seolah tidak ingin melihat himpitan rumah kecil yang ada dibawahnya. Sebuah mesin pengaduk semen menepi di sisi sebelah kiri gang, dibawah anak tangga yang menempel pada dinding toko yang tak kunjung berhasil membangun ruangan diatas lantai pertama.

Hari itu – Sabtu, kendaraan masih berlalu lalang dijalan depan gang, jalan yang menghubungkan tiga daerah utama kota Denpasar, Kreneng (pasar, sekolah, unifersitas dan polisi), alun-alun kota Denpasar (Pusat Pemerintahan kota Denpasar dan Kodam IX/Udayana) dan Renon (pusat pemerintahan Propinsi Bali). Jalan Letda Reta Gang XVIII,  Banjar /Dusun Yang Batu Kauh Dangin Puri Kelod adalah sudut kecil dari kota Denpasar, menjadi tempat para perantau (terutama dari kalangan militer/ tentara angkatan darat) untuk menyewa sebuah kamar atau mengontrak sebuah rumah selama bertugas di Denpasar karena asrama dirasakan tidak cukup nyaman untuk ditinggali. Tepat di simpang tiga Jalan Letda Reta menuju Jalan Yang Batu Kangin, sebuah baliho besar dterpasang pada sebuah pohon perindang jalan yang masih bertahan setelah pohon lainnya habis oleh laju pembangunan. Sebuah baliho acara yang diselenggarakan oleh XVIII project yang bertajuk Urban Street Art, lengkap dengan deretan pengisi acara dan juga pihak yang membatu terselenggaranya acara tersebut.

Ada hal yang sedikit menggelitik ketika membaca baliho bertajuk Urban Street Art yang tanpa menggunakan kata sambung “and (dan)”. Ketika ditanyakan pada Ketut Jesna , selaku penggagas acara tersebut, kenapa acara ini bertajuk URBAN STREET ART bukan URBAN dan STREET ART, sambil melengos dia hanya bilang “biarkan saja seperti itu” seolah ingin memberikan kebebasan pada yang melihat dan membaca untuk menterjemahkan tajuk acara tersebut.

Terkait kata Urban tentu saja tidak bisa dipungkiri, wilayah Yang Batu khususnya dan Denpasar secara lebih luas telah menjadi daerah urban. Walau tradisi masih berlangsung didalamnya tetapi perubahan fungsi lahan profesi telah berlangsung. Wilayah yang awalnya dari persawahan menjadi wilayah pemukiman kota yang menjadi tempat bagi para perantau mengadu nasib dan berinteraksi sosial.

Dilema muncul pada dua kata terakhir, apakah dua kata ini berdiri sendiri atau menjadi satu kesatuan, menjadi Street and Art atau menjadi Street Art saja. Melihat bagaimana daftar pengisi acara yang dipenuhi oleh sekitar 21 street artist dan bagaimana geliat street art di Bali akhir-akhir ini, tentu cara paling mudah adalah menganggap ini sebagai sebuah acara street art sebagai bentuk seni urban,. Namun sepertinya kesimpulan itu premature, ketika mendapati Street and Art merupakan kata yang berdiri sendiri.

 

 

Proses pengerjaan mural oleh salah satu seniman mural

Urban Art

Suara benturan biji gotri dalam kaleng ketika cat spray digunakan oleh para grafiti yang sedang membuat font nama dengan permainan bentuk dan komposisi warna. Beberapa diantaranya menggunakan masker untuk mengurangi aroma cat. Tampak beberapa pembuat mural dengan tekun, menggoreskan kuas membuat garis sketsa dengan teliti. Di sudut lainnya seorang artis mural khusuk dengan rol catnya. Hari itu Gang XVIII menjadi hiruk pikuk dengan para penggiat seni jalanan (seni publik) yang hadir untuk berkarya, merias dinding muram gang dengan karya beraneka warna, aneka bentuk dan aneka isu.

Mulai dari menyoroti masalah sosial, Slinat merespon anak tangga yang menempel didinding bangunan di depan gang dengan gambar seorang wanita bermasker dalam posisi duduk, sehingga tampak seolah wanita tersebut sedang duduk dianak tangga, tampak kelelahan, dengan  caption “manusia-mausia kalah melawan dari gelap malam, fight for your right fight for your life fight for your rice” dan sebuh kalimat yang lain “manusia hanya melakukan yang belum selesai lalu mati”, kemuraman terlehat dari cat yang dibiarak menfalir dan kalimat-kalimat yang termuat didinding.

Dibawah anak tangga seorang anak perempuan membungkuk, seolah menggendong tangga yang sedang diduduki oleh sang wanita, dibawah kaki anak perempuan tersebut tertulis kalimat SAVE CHILDREN, isu yang masih menjadi fokus Peanut Dog. Ketika gambar ini dilihat secara utuh, sebuah tampilan realita seolah tergambar jelas, ketika kita sedang memberikan beban pada anak-anak, eksploitasi alam yang sedang masif terjadi akibat pembangunan yang hanya berfokus pada infrastruktur hanya akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan sosial yang nantinya harus dipikul oleh generasi selanjutnya (anak-anak).

Tidak hanya itu karya laki-laki dengan berbagai sosmed disekitarnya solah menjadi perilaku urban kekinian. Ketika interaksi berlangsung lebih aktif di duania maya, hingga tidak lagi ada batas yang jelas antara dunia maya dan dunia nyata.

Proses pembuatan mural “Save Childern”

Karya grafiti yang menampilkan berbagai macam font, walau perlu sedikit usaha untuk membacanya tetapi tetap saja menarik perhatian dan enak dipandang. Sosok “Ksatria Baja Hitam (Kotaro Minami)” muncul di salah satu bagian dinding sepanjang kurang lebih 60 meter, mengingatkan kembali pada sosok super hero yang dinanti anak-anak usia SD ditahun 1990-an, masa ketika anak-anak dimanjakan oleh tayangan film anak-anak (mulai dari kartun Saint Saiya, Candy Candy, Sailor Moon, Doraemon sampai serial anak-anak seperti Ksatria Baja Hitam, Ultraman dan Power Rangers), sebuah kondisi yang jauh berbeda dengan hari ini ketika televisi dipenuhi oleh drama mulai dari Indonesia, India sampai Turki, debat politik yang membosankan dan tentu saja gosip.

Disudut yang lain sebuah gambar wajah yang hanya menampilkan mata dan bagian atas kepala yang berambutkan bunga matahari, dengan sebuah kalimat “budayakan menanam”, seolah menjadi harapan dan doa yang ingin agar  warga kota untuk tetap menanam walau lahan sudah tidak lagi seberapa, karena menanam itu kunci.

Sekitar 18 seniman yang berkarya dalam Urban Street Art antara lain; SMRASHITWO, TOCKIBE, BGS4, BRUTALLMARK, MUTASEIGHT, NEDSONE, PEANUTDOG, JIKOLA, FATALART, 735ART, MASCT, REBELLINE, SLINAT, WAP, KINS, DICKO, POTLOT, MAJOUL dan TOCKIBE. Antusasme terlihat dari sebagian besar berkaraya bersama pada saat acara, bahkan beberapa seniman telah memuli proses berkarya pada hari senin sebelumnya. Di ujung gang sebuah panggung kecil dan pendek, dengan backgroud dari seng bergambar seorang wajah lelaki tua. Panggung tersebut tidak hanya menjadi panggung hiburan mereka yang hadir, baik untuk berkarya maupun untuk menikmati acara, tetapi menjadi panggung bagi anak-anak sekitar sana menunjukkan talentanya. Dibuka dengan penampilan tari puspanjali, acara dilanjutkan dengan suguhan permainan gender dari Agus dan kawan-kawan, kemudian sebuah tarian telek dibawakan oleh indra ddan nanda, lengkap dengan topeng kertas buatan 735art, topeng yang dibuat khusus untuk penampilan mereka hari itu. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan pada seni tradisi yang cenderung kaku juga diperlukan. Bukan untuk melunturkan tradisi atau agar menarik anak-anak menggeluti seni tradisi, tetapi untuk menjaga seni itu hidup dan tumbuh sehingga perubahan yang terjadi pun hendaknya bisa masuk dan diterima.

Panggung untuk menguji mental, mempertontonkan apa yang mereka bisa mulai dari permainan instrumen gender sampai tari-tarian. Menariknya, kali ini anak-anak itu tampil membawakan kesenian tradisional tidak dengan kostum biasanya, mereka menggunakan Sick adn Suck, band gang XVIII juga tampil sebelum penampilan akustik dari penyanyi reggae Freddy Kayaman  yang dilanjutkan dengan jam session dari pengunjung dan pemuda sekitar yang ingin menyumbangkan keterampilannya bermain musik.

Belum cukup dengan itu  sebuah tanah lapang di sudut gang digunakan untuk memajang beberapa kreasi modifikasi dari komunitas motor Besi Tua Bali. Motor-motor custom yang tidak lazim dan dengan suara knalpot yang melengking berjajar rapi seolah berada dalam festival otomotif. Motor-motor yang telah dimodifikasi yang tentu saja harganya tidak murah ini bisa menjadi komponen STREET dalam tema acara. Motor-motor yang melintasi jalanan, yang dibangun dengan waktu yang tidak singkat dan biaya yang tidak murah, dengan ketelitian dan ketekunan merupakan bentuk baru seni urban,custom motor juga merupakan sebuah karya seni.

Hari kian malam, tampak anak-anak, remaja sampai ibu-ibu berbaur di dalam gang,. Berbagai bentuk kesenian berkumpul dalam satu Gang, berinteraksi dan berkarya, musik, grafiti, mural, gamelan, tarian, modifikasi motor dan pinstrip hadir dalam satu gang. Mereka menampilkan seni yang mereka geluti untuk mengembalikan semangat “ngayah” para seniman tradisi yang mulai terkikis oleh industri (akibat bakat dan ketrampilan serta ongkos berkesenian yang  telah dinominalkan membuat “ngayah” seolah menjadi sebuah kata yang naif).

Mural karya MSCT (Maaf Saya Coret)

URBAN STREET ART yang di selenggarakan di sebuah Gang kecil di Yang Batu Kauh,pada hari sabtu,17 Juni 2017 seolah ingin menunjukkan jika seni hari ini tidak hanya seni tradisi (gamelan atau tari-tarian yang kini menjadi menu bagi para wisatawan yang datang ke Bali) tetapi ada berbagai bentuk seni baru sebagai bentuk ekspresi yang berkembang sesuai dengan perkebangan jaman. Hal ini seperti yang diungkapkan secara singkat oleh Jesna “seni itu tidak harus kita bisa menari, ini lho ada custom (motor) ada grafiti dan banyak seni lain”. Menyentil pemahaman lama yang masih banyak dianut, jika seni masih berupa tarian, gamelan, ukir dan bentuk seni lain yang telah menjadi tradisi.

Acara yang dilaksanakn dengan semangat gotong royong dan solidaritas, mengumpulkan seniman dari berbagai bentuk seni dalam satu gang kecil, mengkritisi pemahaman seni yang terpatron pada seni tradisi dengan tradisi.  Melepaskan diri dari jebakan bentuk seni tradisi dengan semangat seni tradisi “ngayah”, alih-alih terjebak pada bentuk (simbol) seniman-seniman yang tampil dan pihak yang ikut berpartisipasi menyelenggarakan acara ini mempertahankan semangat “ngayah”( yang mengandung solidaritas, gotong royong, sukarela dan tanpa pamrih)  tanpa tekanan dari otoritas yang lebih tinggi (penguasa) seperti yang berlangsung pada masa kerajaan (mungkin sampai sekarang).

 

URBAN STREET ART, telah menunjukkan berbagai rupa seni hari ini (walau belum semua) serta memperlihatkan nilai tradisi masih ada meski di lingkungan URBAN (yang cenderung individual) dan tampil dalam wujud yang berbeda, wujud yang mungkin saja menyentil pemahaman sempit akan seni.

l.taji//18//6//2017

The post Sentilan dari Gang Kecil di Kota Denpasar appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *