Sembah Takzim untuk Para Pengabdi

Hingga pelosok desa, para penggiat LSM di Polewali Mandar (Polman) ini mendampingi petani.

Dan, seperti biasa, kegigihan orang-orang seperti mereka ini selalu membuat takjub. Mereka bekerja jauh dari ingar bingar popularitas baik media massa maupun jejaring sosial. Tapi, mereka punya basis dan perubahan yang jelas.

Kawan-kawan kali ini adalah para penggiat di lembaga swadaya masyarakat (LSM) Wahana Sukses Pertanian Terpandang (Wasiat) dan koperasi tani Amanah di Polman, Sulawesi Barat (Sulbar). Aku ke sana pada 24-28 April lalu untuk menulis tentang program mereka.

Wasiat mendampingi petani sejak tahun 2001 lalu. Petani dampingan mereka tersebar di lima kecamatan di Polman. Lima kecamatan, antara lain Luyo, Mappili, dan Tutar ini merupakan wilayah penghasil utama kakao di Kabupaten Polman.

Para penggiat ini bekerja agar petani tak hanya bisa menghasilkan produk kakao lebih baik tapi juga meningkatkan kualitas hidup mereka.

Selama dua hari, Senin dan Selasa lalu, aku bersama mereka keluar masuk desa untuk belajar bersama petani. Para penggiat Wasiat, seperti Akil, Rauf, Vyar, dan Sani berbagi pengetahuan pada petani tentang internal control system (ICS).

Dan, menurutku, ini bukan pekerjaan gampang. Bahkan perjalanan menuju desa-desa itu pun tak mudah. Kami harus naik turun berkelok di jalanan rusak berbatu dan berlumpur.

Pada sekitar 1.500 petani di lima kecamatan, para penggiat ini berbagi  pengetahuan cara memproduksi kakao berkualitas, membuat organisasi, meningkatkan posisi tawar, dan seterusnya. Hasilnya, para petani kini tak hanya membentuk kelompok tani tapi juga tahu cara bernegosiasi dengan pembeli, mengelola keuangan, dan lain-lain.

Hasil kerja mereka bahkan melampaui hal-hal ide-ide awal dari yang semula melulu tentang pertanian. Lihatlah para petani yang kini punya rumah dengan harga lebih murah dan mudah setelah Wasiat dan Amanah juga membantu agar petani mendapatkan kredit perumahan.

Mereka bekerja sungguhan di lapangan bersama petani dan membuat perubahan. Tak hanya jago bersilat lidah di depan kamera media atau ngecap di jejaring sosial, sesuatu yang mereka tak terlalu mengerti.

Melihat mereka bekerja penuh kesungguhan, muncul rasa malu sekaligus takjub. Malu karena aku tak ada apa-apanya kalau melihat pengabdian mereka. Takjub karena justru di pelosok-pelosok negeri inilah banyak orang-orang seperti Aqil, Rauf, Sani, dan Vyar ini. Yang bekerja di lapangan tanpa peduli popularitas. Tanpa koar-koar di media ataupun jejaring sosial.

Maka, inilah waktunya menundukkan kepala. Untuk menertawakan diri sekaligus memberi salam takzim untuk para pengabdi ini.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *