Sejarah dan Keunikan Kelapa di Desa Nyuhtebel

Apakah daging kelapa di Desa Nyuhtebel lebih tebal? Atau kulitnya yang tebal? Kepala Desa atau Perbekel Ketut Mudra, merangkumnya dalam narasi sejarah dan kondisinya kini.

Oleh Pewarta Warga Nyuhtebel

Desa Nyuhtebel di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem Bali memiliki asal usul nama desa berkaitan dengan keberadaan hutan kelapa. Hal tersebut tersurat di dalam prasasti Kerajaan Gelgel tentang misi pasukan Kerajaan Gelgel atas perintah Raja Gelgel tahun 1465 M Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan untuk melumpuhkan kekuatan dan mengambil alih kekuasaan De Dukuh Mengku Tenganan karena tidak tunduk kepada kekuasaan Kerajaan Gelgel.

Setelah misi tersebut berhasil, hutan kelapa yang sangat lebat di sebelah selatan Desa Tenganan hingga ke tepi pantai diserahkan kepada pasukan perang kerajaan Gelgel dibawah komando Ki Bedolot untuk membangun benteng pertahanan perang, mengawasi antek antek De Dukuh Mengku yang belum tertangkap dan juga melindungi keamanan Kerajaan Gelgel di bagian Timur.

Pusat Benteng pertahanan perang inilah yang lambat laun berkembang menjadi desa bernama Desa Nyuhtebel. Nyuh berarti Kelapa, tebel bermakna sangat lebat. Nyuhtebel mengandung makna hamparan hutan kelapa yang sangat lebat.

Seiring perjalanan waktun semenjak tahun 1465 hingga masa kini, hamparan hutan kelapa yang sangat lebat mengalami alih fungsi menjadi tegalan dengan tanaman campuran kelapa, pisang, kakao, dan kayu hutan.  Ada juga yang diolah menjadi lahan sawah. Memasuki tahun 80-an hingga tahun 90-an, alih fungsi lahan tegalan kelapa meningkat.

Sejumlah penyebabnya adalah, perkembangan kepariwisataan kawasan Candidasa di era tahun 80-an. Kemudian berkembangnya usaha agribisnis peternakan ayam ras dan babi di desa Nyuhtebel. Kedua sektor usaha tersebut telah mencaplok lahan tegalan kelapa puluhan hektar beralih fungsi menjadi sarana wisata dan juga kandang ternak.

Ribuan pohon kelapa lokal produktif menjadi korban penebangan dimanfaatkan untuk bahan bangunan wisata dan kandang ternak. Dampak ikutan perkembangan industri pariwisata Candidasa mendorong percepatan pembangunan sektor perumahan di desa Nyuhtebel yang juga banyak mencaplok lahan tegalan kelapa dan penebangan pohon kelapa produktif dijadikan bahan bangunan.

Memasuki era 90-an, potensi tegalan kelapa Nyuhtebel hanya tinggal 50 persen dari era sebelum 80-an. Upaya rehabilitasi juga dilakukan oleh pemerintah melalui proyek (PRPTE) tanaman perkebunan. Tujuan proyek untuk meningkatkan produksi kelapa melalui intensifikasi, perluasan tanam tidak banyak dapat dilakukan karena lahan sudah sangat terbatas.

Kini tegalan kelapa di Desa Nyuhtebel keberadaanya sekitar 153 hektar. Populasi tanaman kelapa berbuah berkisar 9.120 pohon, tanaman kelapa umur bawah lima tahun/belum berbuah sekitar 1.530 pohon.

Panen kelapa di desa Nyuhtebel dilakukan sebanyak 6 kali dalam setahun.  Panen tidak dilakukan serentak, tetapi bertahap sesuai kemampuan kelompok pemanen kelapa disebut “sekaa penek nyuh”.

Hasil panen kelapa setiap kali panen dapat mencapai 63.840 kelapa butiran. Atau dalam kurun waktu setahun desa Nyuhtebel dapat menghasilkan 383.040 kelapa butiran.

Harga kelapa butiran di tingkat pengepul berfluktuasi antara Rp 1.500 – Rp2500 perbutir. Potensi pendapatan desa Nyuhtebel dari buah kelapa mencapai Rp574.560.000 setahun.

 

Pengolahan lengis nyuh

Desa Nyuhtebel banyak menghasilkan buah kelapa butiran. Sebelum era 80-an, tingkat hasil kelapa lokal Nyuhtebel mencapai 4 kali lipat dari sekarang. Di samping karena populasi pohon kelapa berbuah/produktif masih tinggi, juga karena rerata hasil per pohon relatif lebih tinggi dari saat ini.

Rerata hasil kelapa lokal Nyuhtebel saat ini 14 butir per pohon produktif.  Dari jumlah pohon kelapa produktif yang ada saat ini diperoleh sekitar 63.840 butir setiap panen. Panen kelapa dilakukan antara 52-60 hari sekali.

Sebelum era 80-an, hasil buah kelapa butiran di desa Nyuhtebel diolah menjadi kopra dan juga minyak goreng skala rumah tangga. Setelah tahun 90-an, bisnis kelapa butiran mulai marak.

Para pengupul kelapa berlomba lomba untuk dapat membeli kelapa petani saat panen. Harga kelapa butiran menjadi sangat fluktuatif. Hari ini harga kelapa butiran di Nyuhtebel sangat anjlok mencapai Rp 800 per butir. Harga paling tinggi yang pernah dicapai Rp 4200 perbutir.

Pada saat harga kelapa anjlok, banyak petani yang tertarik untuk mengolah buah kelapanya menjadi minyak goreng.  Alasan yang dikemukakan, jika harga anjlok panen kelapa sering molor karena juru petik kelapa kurang bersemangat. Akibatnya buah kelapa tua di pohon jatuh sendirinya.  Buah kelapa yang sudah sangat matang/tua di pohon dipercaya petani akan banyak menghasilkan minyak jika diolah.

Pengolahan kelapa butiran menjadi minyak dilakukan oleh petani secara tradisional. Hasil rata rata dari 25 butir kelapa dapat diperoleh minyak goreng 3 liter. Harga lokal untuk 3 liter minyak goreng kelapa lokal Nyuhtebel mencapai Rp 50.000

Jika suatu saat harga kelapa butiran lebih dari Rp 2.000 per butir, maka petani akan memilih menjual kelapanya dalam bentuk kelapa butiran. Selain itu, petani akan mempercepat panen buah kelapanya untuk cepat dapat uang.

Teknik tradisional pengolahan lengis nyuh

Petani Desa Nyuhtebel memanfaatkan buah kelapa yang sudah tua untuk membuat minyak goreng dari sejak dahulu hingga sekarang. Teknik membuat minyak kelapa di Nyuhtebel dilakukan secara tradisional dan turun temurun. Teknik yang diterapkan sangat sederhana, mudah, dan murah.

Langkah pertama, petani memilih buah kelapa yang tua yang banyak mengandung minyak. Daging kelapa dipisahkan dari batoknya lalu dicuci bersih dan diparut.

Hasil parutan daging kelapa dibuat santan dengan menggunakan air hangat secukupnya. Santan hasil pemerasan pertama ditambahkan dengan hasil pemerasan kedua kali.  Selanjutnya santan tersebut didiamkan di baskom.

Di dalam baskom, santan kelapa akan mengalami fermentasi. Setelah kurang lebih satu jam akan tampak di baskom santan yang mengandung minyak bergerak menuju lapisan permukaan sedangkan air santan terdesak turun ke lapisan  di bawahnya. Santan kental yang berada di atas lapisan air ini disebut “santan prima”. Santan prima akan menghasilkan minyak kurang lebih setelah sepuluh jam didiamkan di dalam baskom.

Ada juga petani yang menggunakan teknik fermentasi lanjutan yaitu: santan prima dipanen/diambil/ dipisahkan dengan airnya, lalu ditempatkan pada baskom lain. Selanjutnya santan prima ini dicampur dengan air kelapa bersih sebanyak 10 persen. Diaduk aduk supaya air kelapa larut di santan selanjutnya didiamkan di baskom.

Setelah kurang lebih 8 jam akan terjadi reaksi fermentasi yaitu: air akan terpisah dari minyak. Lapisan air berada di bawah lapisan minyak, bagian padatan/zat padat berminyak (disebut blondo, atau telengis dalam bahasa Bali) terdesak ke lapisan atas minyak, sehingga di dalam baskom tampak lapisan minyak berada di antara lapisan air dan lapisan blondo. Reaksi fermentasi ini terus terjadi berkelanjutan sehingga lapisan minyak tumbuh semakin tebal. Setelah 24 jam lebih kemudian lapisan minyak  dapat dipanen untuk diolah lebih lanjut menjadi minyak goreng.

Minyak yang sudah dipanen kadang tercampur air dan blondo, oleh karena itu perlu dibersihkan. Petani ada yang memanfaatkan kertas filter untuk memisahkan blondo yang tercampur di minyak, ada juga yang menggunakan teknik pemanasan.

Tujuannya sama yaitu supaya minyak tidak tengik. Untuk minyak yang dipanasi dengan cara digoreng terkadang petani menambahkan daun pandan ke dalamnya untuk membuat bau yang harum.

The post Sejarah dan Keunikan Kelapa di Desa Nyuhtebel appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *