Sebab, Perempuan Bukanlah Pelayan

Bahkan sebagian iklan pun menganggap perempuan sebagai pelayan.

Perhatian terhadap iklan yang bias gender dengan menempatkan perempuan sebagai pelayan ini makin aku perhatikan akhir-akhir ini. Sambil duduk memangku anak kedua kami, Satori Nawalapatra, aku biasa nonton iklan tersebut di televisi.

Salah satu iklan ini sebenarnya amat menggemaskan, Bebelac. Ini termasuk iklan di televisi yang aku sukai. Benar, deh. Gemes banget lihat anak-anak balita tersebut menyanyi, menari, dan memeluk ibunya.

Cuma ya itu, kenapa hanya ibu. Tak ada ayah sama sekali di iklan tersebut.

Sebagai ayah yang hampir tiap hari memandikan, momong, plus puk-puk Satori kalau nangis, aku jadi nelangsa. Mbok ya Bebelac ini masukin ayah juga di iklannya. :)

Ada pula iklan lain yang bagiku tak sensitif gender, teh celup Sariwangi. Seri iklan ini banyak. Tapi yang terbaru adalah seorang suami sedang ngetik malam-malam. Pas istrinya mau tidur, si suami berujar kurang lebih begini, “Jangan tidur dulu, dong. Kan belum dibuatkan teh..”

Lalu, dengan patuhnya si istri pun membuatkan teh untuk suaminya. Aduh ini suami malas banget, sih. Masak buat segelas teh saja harus dibuatin istri..

Aku cek beberapa iklan Sariwangi lainnya juga kurang lebih sama, si ibu yang membuatkan teh untuk si ayah dan atau anak-anaknya.

Iklan lain yang tak sensitif gender adalah iklan pewangi pakaian Molto. Dalam iklan tersebut, istri mencuci dengan pakai pewangi untuk suaminya. Ya, si suami yang pemalas ini lagi-lagi tinggal terima beres lalu memuji istrinya.

Tiga iklan di atas hanya contoh. Banyak contoh iklan yang menempatkan perempuan sebagai pelayan atau pekerja rumah tangga. Bisa saja iklan sabun mandi, bumbu penyedap, dan lain-lain. Seolah-olah, menurut iklan-iklan tersebut, perempuanlah yang HARUS menyelesaikan pekerjaan dalam rumah tangga. Inilah kekeliruan yang terus dipelihara tersebut.

Keliru
Anggapan bahwa perempuan atau ibu adalah orang yang bertanggung jawab untuk urusan rumah tangga ini jelas keliru. Pekerjaan rumah tangga itu tak cuma urusan perempuan. Itu tanggung jawab bersama, suami dan istri, ayah dan ibu.

Namun, anggapan tersebut terus dipelihara sejak kecil. Anak perempuanlah yang harus cuci baju ketika anak laki-laki bebas main layangan. Anak perempuanlah yang harus menyapu rumah ketika anak laki-laki sedang main gundu. Dan seterusnya..

Aku ingat ketika masih SD dan tinggal sama orang tua. Teman-teman yang cowok pada suka komentar sinis kalau lihat aku ikut cuci peralatan dapur, cuci pakaian, atau menyapu halaman rumah bareng kakak perempuanku. “Wong lanang kok umbah-umbah,” kata mereka.

Aku cuek saja. Tak tahu kenapa sejak SD pun aku sudah berpikir bahwa pekerjaan domestik pun urusan laki-laki, tak cuma perempuan. Karena itu, sampai sekarang pun aku terbiasa melakukan semua pekerjaan dalam rumah tangga itu dengan suka rela tanpa harus diminta istri.

Sayangnya, kebiasaan-kebiasaan perempuan yang menyelesaikan pekerjaan rumah tangga itu kemudian berlanjut jadi serupa dogma. Seolah-olah tak bisa dibantah. Maka, laki-laki pun malas menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, seperti cuci baju, membersihkan rumah, dan semacamnya.

Parahnya, bahkan untuk keperluannya sendiri pun, seperti menyeduh teh atau kopi sendiri. Tentu saja tak semua. Tapi aku yakin banyak laki-laki begitu.

Padahal, anggapan-anggapan semacam itu adalah kekeliruan. Laki-laki dan perempuan tak bisa dibedakan hanya karena pekerjaan. Kalau yang bersifat kodrati sih iya. Misalnya, hanya perempuan yang bisa hamil dan menyusui. Tapi, untuk memandikan bayi, laki-laki pun bisa. Begitu pula dengan mencuci baju, menyetrika, memasak, dan urusan domestik lainnya.

Masalahnya tinggal apakah laki-laki atau suami mau atau tidak. Itu saja!


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *