Di Flores, bahkan, satu desa bisa punya tiga bahasa. Mereka berbicara satu sama lain dengan bahasa berbeda.
Mungkin ini kesimpulan terlalu dini. Tapi, itu yang dikatakan para petani ketika kami ngobrol di sela-sela pelatihan publikasi dan internet di Ende, Flores pada 15-17 Maret ini.
Para petani tersebut datang dari enam kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT). Misalnya, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende, Timur Tengah Utara, dan Flores Timur. Semuanya anggota kelompok tani mitra VECO Indonesia, tempatku kerja paruh waktu.
Meski datang dari pulau sama, Flores, sesama peserta dari Flores ternyata tidak berbicara dalam bahasa pulau ini. Mereka berbicara dalam Bahasa Indonesia.
Tidak, sebagai contoh, orang dari Bali yang bertemu sesama orang Bali atau orang Jawa bertemu orang Jawa yang aku haqqul yakin akan langsung bicara dalam bahasa daerahnya.
Tak hanya dalam acara “resmi” semacam pelatihan ini. Dalam pergaulan sosial sehari-hari pun, sesama orang Flores lebih sering berbicara dalam Bahasa Indonesia. Paling hanya aksen atau logatnya yang khas daerah Indonesia Timur. Misalnya, “sudah” hanya dibaca “su” atau kata “baku” untuk menggantikan “saling”, seperti “baku lihat”.
Jarangnya penggunaan bahasa daerah tersebut, kata Rudolfus Ndate, petani Nanggapanda, Ende, karena di Flores memang sangat banyak ragam bahasanya. Rudolf memberikan contoh. Di satu desa bahkan bisa ada dua atau tiga bahasa. “Mereka bicara dalam bahasa berbeda-beda, tapi baku mengerti,” kurang lebih begitu katanya.
Maksud Rudolf, si A dan si B yang berada di satu desa, bisa saja sehari-hari bicara memakai bahasa berbeda. Persamaannya kira-kira begini. Si A pakai Bahasa Arab, si B pakai Bahasa Inggris. Tapi, keduanya sama-sama mengerti.
Banyaknya ragam bahasa daerah ini tak hanya di Flores tapi juga NTT secara umum. Ada empat pulau besar di provinsi ini, yaitu Flores, Sumba, Timor, dan Alor. Keempatnya biasa disingkat Flobamora. Di luar itu masih ada belasan pulau kecil lain, seperti Adonara, Sabu, Rote, Ende, dan lain-lain. Dalam satu pulau bisa ada puluhan etnis dengan bahasa daerah masing-masing.
Menurut website resmi Pemprov NTT, tiap pulau atau etnis punya bahasa masing-masing. Nah, kadang-kadang di satu desa bisa ada dua atau tiga suku. Makanya, tak heran kalau di satu desa pun bisa ada dua atau bahkan tiga bahasa.
Dan, beruntunglah karena ada Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bisa jadi terlalu nasionalis. Tapi, itulah faktanya. Dari puluhan atau bahkan ratusan bahasa daerah itu, ada satu bahasa yang bisa mereka gunakan bersama. Yap. Itulah Bahasa Indonesia.
Maka, bersyukurlah karena ada Bahasa Indonesia. Maka, orang Indinesia, termasuk di Flores, tidak seperti orang-orang Belgia yang masih saja ribut urusan bahasa.
Leave a Reply