“Sastra ODGJ”: Apakah Sekadar Racauan?

Menulis adalah terapi bagus bagi pengidap gangguan mental.

Novel bersampul perahu di tepi pantai itu tergeletak di meja. Di masa pandemi ini, ketika pemerintah menyarankan warga untuk berdiam di rumah, saya kembali membacanya. Beberapa bulan lalu, sang penulis Saka Rosanta memberikan novel itu pada saya.

Sebelumnya, ia banyak berdiskusi tentang penerbitan novel perdananya. Kebetulan kami sama-sama bergiat di komunitas sama, Rumah Berdaya Denpasar yang mendukung dan mendanai penerbitan dua buku kumpulan puisi saya.

Novel Saka termasuk dalam program itu. Dicetak di sebuah penerbit dan percetakan Yogyakarta dengan penerbitan mandiri atau self-publishing.

The Light Part 1, The Soul Cahaya Sang Jiwa, judul novel itu. Pada kata pengantar pengarang asal Buleleng, Bali ini menjelaskan novelnya bercerita tentang peperangan hebat dalam melawan diri sendiri saat mencari jati diri. Saya melihatnya sebagai novel semi-otobiografi karena banyak menceritakan kehidupan pengarangnya.

Dimulai dari kisah masa kecil yang berantakan, mencari cinta dan kasih sayang membawanya menjadi pribadi yang berbeda. Ada yang tumbuh dalam dirinya, dimulai dari bisikan-bisikan, insomnia dan ketakutan yang mendalam. Ia tumbuh menjadi manusia menakutkan. Sewaktu kecil, pengarang kerap kali mengalami kekerasan domestik yang menumbuhkan trauma dan menyebabkan gangguan mental.

Di masa SMA, luka batin memunculkan perasaan hampa dan kosong. Beberapa kali mencoba bunuh diri tapi gagal. Setamat SMA ia melanjutkan studi diploma pariwisata, lulus dengan nilai pas-pasan. Mencoba melamar kerja di kapal pesiar dan lolos seleksi.

Pengalaman bekerja di kapal pesiar, yang merupakan impian banyak pemuda Bali digambarkan dengan indah, tentu dengan kisah asmara yang mewarnai. Pengarang bertemu dengan wanita pujaan hatinya yang sama-sama bekerja di kapal pesiar. Mereka menikah di kemudian hari.

Suatu hari badai menerpa, ia berkelahi dengan rekan kerja yang membuat ia dipecat. Beban pekerjaan yang berat ditambah kondisi mental yang tak stabil menyebabkan ia tak bisa mengontrol dirinya. Tanda-tanda mengidap skizofrenia sudah lama ada tapi tak dihiraukan.

Hampir sepuluh tahun bekerja di laut dan akhirnya kehilangan pekerjaan membuatnya makin tenggelam dalam lautan kesedihan dan depresi. Semua dituliskan apa adanya, membuat pembaca larut dalam emosi yang dibangun dari awal cerita.

Sebagai pembaca, saya sangat menikmati novel Saka. Kata dan kalimat yang ditulisnya puitis. Hanya saja, pada dua bab terakhir jalan cerita sedikit membingungkan. Apa yang ditulisnya tak lebih dari solilokui, seperti berbicara sendiri, untuk tidak menyebutnya “meracau”.

Saya baru bisa paham setelah bertanya pada pengarang perihal hal ini. Saka menjelaskan, tokoh-tokoh dalam dua bab di novelnya adalah kepingan dirinya yang split atau terbelah. Ia menuliskan halusinasi yang dialami. Bagi pembaca awam ini tentu membingungkan.

Perlu dicatat, saat ia menulis novel ini beberapa waktu dalam keadaan relaps atau kambuh. Di waktu-waktu kritis itu dia menulis apa yang ada di pikirannya secara otomatis. Ia mengetik kata demi kata melalui aplikasi menulis di ponsel pintar, hingga ratusan halaman. Tak hanya satu naskah novel, tetapi lima!

Lebih Objektif

Kehadiran novel The Light [..] menambah karya sastra yang ditulis Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Di Indonesia, masih sedikit ODGJ yang telah pulih menulis kumpulan puisi, cerpen, esai atau memoar dan novel.

Buku Ratu Adil, Memoar Seorang Skizofren karya Satira Isvandiary yang terbit tahun 2004 silam adalah salah satu memoar yang ditulis oleh penyintas skizofrenia. Dalam memoarnya sang pengarang dengan sangat baik menulis apa yang dialami sehingga orang lain tahu tentang gangguan mental dan memetik pelajaran serta hikmah dari apa yang pernah dialami.

Buku lainnya, Gelombang Lautan Jiwa, terbit tahun 2013 merupakan memoar karya Anta Samsara mengisahkan kisah diri bergelut dengan skizofrenia, penyakit mental yang ditandai dengan delusi dan halusinasi serta tak bisa membedakan antara yang nyata dan tidak nyata.

Buku ini bagus. Saya telah membacanya dan apa yang ditulis tak menyiratkan penulisnya adalah pengidap gangguan jiwa. Memoar ditulis bertahun-tahun setelah sakit pertama, saat dalam kondisi baik dan telah pulih, sehingga bisa “berjarak” dan lebih objektif dalam mengisahkan pengalaman masa lalu.

Belum ada sebutan khusus bagi karya sastra yang ditulis oleh penyintas gangguan mental. Tidak seperti pada seni rupa terdapat genre tersendiri yakni art brut, karya seni rupa yang dibuat oleh ODGJ. Karya seni art brut biasanya memang memiliki warna berbeda dengan seniman kebanyakan.

Apa yang ditulis oleh Satira, Anta bahkan Saka tidak lain hanyalah keinginan untuk berbagi, cerita tentang diri yang diharapkan bisa berguna untuk orang lain, selain bagi pengarang. Karena, menulis adalah terapi yang bagus bagi pengidap gangguan mental dan sebagai medium katarsis.

Terapi menulis sangat mendukung penyembuhan dan pemulihan mental ODGJ. Dengan catatan, perlu “pengendapan” dan tidak ditulis secara emosional. Penyuntingan ketat adalah hal wajib yang perlu dilakukan.

Di sini peran editor sangat penting agar apa yang ditulis tidak disebut hanya sebagai racauan bahkan sampah pikiran melainkan karya sastra yang memiliki nilai yang sama dengan penulis yang bukan ODGJ. [b]


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *