Rumitnya Persoalan Etika Media

Bali PostMenjelang berakhir, diskusi kami ternyata malah memanas.

Dua pihak berargumentasi dengan keras. Bahasa tubuh keduanya pun sama. Sony si fotografer berbicara dengan lantang. Dia berdiri bangkit dari kursi ketika semua peserta duduk. “Tidak bisa. Jurnalis itu seharusnya melaporkan kasus itu ke polisi,” kata Sony.

Si Mbak berjilbab, jurnalis dari Jember, tak kalah sengitnya. “Tidak, dong. Atas nama menghormati narasumber, seharusnya dia tidak melaporkan ke polisi. Dia cukup memberitakan di medianya,” ujar si Mbak sambil mengangkat dua lengan lebar-lebar.

Perdebatan itu terjadi di sesi terakhir Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) di Denpasar awal Desember lalu. UKJ Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar ini diikuti sekitar 30 jurnalis dari Jember, Singaraja, Denpasar, dan Mataram. Aku salah satu peserta UKJ yang mengambil tingkat utama dalam UKJ dua hari itu.

Secara umum, materi UKJ tersebut meliputi topik-topik terkait kerja jurnalistik. Misalnya profesionalisme jurnalis dan media, hukum pers, perkembangan media global dan nasional, serta komunikasi massa. Peserta membuat esai tentang empat topik tersebut secara terpisah sebagai salah satu syarat ikut UKJ.

Pada saat UKJ, kami berdiskusi per tingkat ujian mengenai topik-topik itu. Ada pula sesi simulasi membuat produk jurnalistik. Bentuknya ada berita televisi, media cetak, maupun media dalam jaringan.

Dari sekian topik tersebut, ternyata topik tentang etika yang paling ramai dan panas diskusinya. “Saya mau buka rahasia. Bahkan di antara penguji pun tidak pernah ada kata sepakat soal etika,” kata Satrio Arismunandar, penguji UKJ dari AJI Indonesia.

Perdebatan tentang etika itu kembali terjadi ketika aku mengisi sesi tentang etika jurnalistik di pelatihan video Engage Media. Pelatihan berjudul WTO Unplugged ini diadakan di Kuta diikuti sekitar 20 peserta dari Kalimantan, Jakarta, Papua, Surabaya, Bali, dan lain-lain. Ada aktivis maupun pelaku dokumenter video.

Dalam sesi itu kami berdiskusi, termasuk berdebat misalnya tentang suap untuk jurnalis, pengungkapan identitas korban kekerasan seksual, hingga pemuatan materi kekerasan di media. Pada akhirnya, seperti juga diskusi di UKJ AJI, di sini pun pendapat kami berbeda-beda.

Begitulah memang, perdebatan selalu muncul ketika membahas etika di media.

Menurut catatan AJI Indonesia, pada prinsipnya, Kode Etik Jurnalistik meliputi empat hal yaitu kebenaran, independen, akuntabel, dan mengurangi dampak buruk. Tapi lihatlah betapa relatifnya empat hal itu. Kebenaran menurut siapa? Independen terhadap apa? Semua tidak sama dengan satu tambah satu sama dengan dua.

Mari turunkan ke hal praktis di lapangan. Salah satu isu di Bali, misalnya adalah ramainya berita tentang rencana reklamasi Teluk Benoa. Ada media yang gencar menolak namun di sisi lain ada media yang terus mendukung rencana itu. Mana media yang beretika?

Contoh lain soal amplop, perdebatan yang tak kunjung selesai di kalangan media dan jurnalis. Bolehkah wartawan menerima uang transport, uang terima kasih, atau apalah namanya ketika diundang dalam sebuah jumpa pers? Ini hal sepele. Tapi buktinya masih banyak jurnalis menerima amplop tersebut dengan alasan mereka toh tetap menulis secara objektif.

Bagiku pribadi sudah jelas. Media harus mengabdi pada kepentingan publik, bukan investor. Menerima amplop adalah tindakan salah.

Nyatanya ya boleh-boleh saja bagi media atau jurnalis lain. Padahal itu satu hal yang sudah jelas. Belum lagi persoalan yang lebih mudah diperdebatkan, seperti politik media, sudut pandang, bermain saham, dan seterusnya.

Karena ruwetnya itu, pada akhirnya, menurutku, etika memang kembali kepada hati nurani media ataupun jurnalis itu sendiri. Ada yang tidak bisa dibeli, ada pula yang melacurkan diri.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *