Poznan Menjadi Medan Kurusetra Perubahan Iklim

oleh:

Agung Wardana

Ditengah dinginnya suhu Poznan, Polandia yang hanya 2 derajat celcius, nampaknya mulai muncul percikan kehangatan menuju COP 14 UNFCCC (KTT Perubahan Iklim ke 14). Mulai dari reklame komersil yang mencantumkan kata ‘climate’ (iklim), seperti sebuah universitas mengiklankan diri pada sebuah billboard dengan kata-kata “Good Climate to Study Economy” (Iklim yang baik untuk belajar ekonomi), hingga sloga resmi pemerintah yang berbunyi “Let’s Make Climate for Change” (Mari Buat Iklim untuk Perubahan).

Dalam dua minggu kedepan, kota tertua di Polandia ini akan menjadi medan pertarungan perubahan iklim setelah Bali, Desember tahun lalu. Masih seperti sebelumnya, COP 14 ini juga akan memfokuskan diri untuk menindaklajuti hasil pertemuan Bali yang biasa disebut Bali Action Plan dengan 4 building block nya, yakni Mitigasi dan Adaptasi, Teknologi Transfer, Finansial. Selain hal tersebut, ada satu isu krusial yang banyak menjadi sorotan, yakni tentang Reduction Emission on Deforestation and Degradation in Developing Countries (REDD).

Berdasarkan pada hasil penelitian Sir Nicholas Stern yang menyatakan bahwa deforestation telah berkontribusi sebanyak 20% pelepasan emisi global. Dengan asumsi tersebut, maka disusunlah sebuah skema yang dapat menurunkan tingkat deforestasi terutama diusulkan oleh negara yang memiliki hutan. Perdebatan mulai muncul tentang metodologi, sumber pendanaan hingga hak penguasaan atas hutan.

Mengenai metodologi, REDD memiliki beberapa premis yang keliru yakni karbon yang keluar akibat pembakaran bahan bakar fosil dapat digantikan dengan karbon dari pepohonan. Bahkan hal mendasar tentang definisi hutan pun masih belum jelas dengan berbagai macam rujukan yang tumpang tindih satu sama lainnya. Misalkan Food and Agriculture Organization (FAO) mendifinisikan hutan juga termasuk perkebunan didalamnya. Hal ini justru akan membuat perusahaan kelapa sawit bersorak riang gembira karena mereka akan memperoleh insentif dari skema ini, walaupun kenyataannya mereka membuka hutan alam untuk perkebunannya.

Beberapa negara mengajukan proposal agar pembiayaan REDD berasal dari carbon market (perdagangan karbon) yang jelas-jelas saat ini telah gagal. Alih-alih dapat menurunkan emisi gas rumah kaca, perdagangan karbon justru menjadi pemicu terjadinya pengalihan tanggung jawab (offsetting). Sebuah negara atau perusahaan di negara Annex 1 tidak perlu menurunkan emisinya jika ia dapat memperoleh karbon kredit dari skema REDD dengan jalan memberikan uangnya kepada negara berkembang untuk menjaga hutannya. Jika dibandingkan dengan upaya menurunkan emisi domestiknya, negera maju akan lebih memilih skema ini dengan alasan bahwa lebih murah dan simple karena mereka tidak perlu merubah kenyamanannya dalam mencemari atmosfir.

Selain itu penolakan juga mengalir dari kelompok masyarakat adat, karena sangat tergantung dari hutan mereka. Apalagi hingga saat ini belum ada negara yang mengakui hak-hak masyarakat adat kecuali Bolivia. Maka wajar muncul kekhawatiran akan kehilangan penguasaan hutan dan teritori adat mereka, apalagi masyarakat adat tidak mendapatkan tempat yang layak pada Kovensi Perubahan Iklim.

Adakah Perubahan Yang Akan Dibuat?

Perjalan menuju COP 15 di Copenhagen, Denmark sebagai tempat penentu atas semua perdebatan ini nampaknya akan semakin membuat panas atmosfir setiap ruangan. Berbagai solusi pun keluar sebagai jawaban atas krisis iklim ini dan kebanyakan proposal solusi yang saat ini diatas meja adalah solusi yang keliru, dari REDD, nuklir sebagai energi alternatif hingga agrofuel sebagai bahan bakar ramah lingkungan.

Namun yang luput dari negosiasi perubahan iklim ini adalah keterkaitan perubahan iklim dengan isu keadilan, hak asasi manusia dan hutang ekologi negara maju pada negara berkembang yang menjadi prinsip keadilan iklim. Meski telah didorong oleh kelompok masyarakat sipil, nampaknya keadilan iklim tidak menjadi prioritas karena perundingan telah larut menjadi transaksi jual beli karbon. Maka tidak mengherankan jika pada COP 13 UNFCCC di Bali lalu, delegasi non-pemerintah yang paling besar adalah kelompok para calo karbon dan pada COP 14 Poznan ini juga terulang kembali.

Dengan keahlian lobby dan kekuatan posisi tawar mereka, maka semua akan berjalan seperti business as usual. Jika demikian, adakah perubahan yang akan dibuat dalam COP 14 Poznan ini? Mari kita lihat bersama apa yang dilakukan pemerintah kita demi masa depan bumi ini.

Penulis, Aktivis Lingkungan

Observer COP 14 Poznan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *