Pagi syahdu milik Sanur pada 22 Juni 2015 lalu. Matahari belum menyengat, angin sepi-sepoi masih nikmat. Saya pun tiba di sebuah outlet produsen natural aromatherapy bernama Utama Spice Bali yang berlokasi di Jalan Danau Poso 57, Sanur, saat itu jarum jam tangan saya menunjukan pukul 09.00 WITA tepat. Bukan hal yang wajar seorang pria single pergi ke toko aesthetic di hari yang masih terlalu pagi seperti itu kan? Ya memang tidak, saya ke sana dalam rangka bertemu anak sang pemilik. Kebetulan memang ada janji wawancara untuk keperluan majalah kewirausahaan.
Tak disangka, Ria Templer, generasi kedua penerus Utama Spice Bali sudah berada di outlet-nya tersebut bersama dengan partner bisnisnya, Skyler Grant. Ria sendiri mengungkapkan kalau setiap harinya ia memang selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi outlet Sanur tersebut setiap pagi, sementara untuk siangnya ia akan berada di outlet Utama Spice lainnya di bilangan Monkey Forest dan Pengosekan, Ubud.
Rutinitas itu ia lakukan hampir setiap harinya. Bukan tanpa alasan, perempuan kelahiran 20 Agustus 1988 ini kini bertanggung jawab dalam mengelola bisnis keluarga yang berdiri sejak tahun 1995 tersebut. Meski begitu, perempuan yang akrab disapa Ria ini tidak pernah memperkenalkan dirinya sebagai seorang owner, melainkan marketing manager. Setidaknya itu yang tertera pada kartu namanya.
Bersama rekan bisnisnya yang berdarah Australia, Skyler Grant, Ria Templer berusaha meneruskan pengembangan bisnis keluarga yang diinisiasi pertama kali oleh Ibunya, Melanie Templer. Menariknya lagi, model bisnis yang diterapkan sangat berlandaskan kewirausahaan sosial. Ini juga yang jadi salah satu alasan yang membuat saya ingin mengetahui banyak tentang bisnis Utama Spice. Mereka punya brand story yang kuat dan sangat memperhatikan sosial dan lingkungan.
“Ketika pertama kali datang ke Bali sekitar tahun 1970-an, Ibu saya sudah jatuh cinta dengan pulau ini. Ia mendapatkan banyak pengetahuan tentang alam serta menemukan kecintaannya yang kuat terhadap tanaman dan herbal,” kenang Ria akan kesan yang pernah diutarakan Ibunya.
Ria mengungkapkan bahwa masyarakat Bali sejatinya telah memiliki pengetahuan akan herbal yang bersifat lisan dari turun-temurun. Di Bali, setiap keluarga punya ramuan boreh atau loloh nya masing-masing. Pengetahuan seperti itu yang membuat Ibundanya, Melanie sangat tertarik untuk mempelajarinya. Terlebih dengan kekayaan alam Bali, terutama Ubud sebagai tempat domisilinya selama di Bali, yang begitu melimpah dengan rempah-rempah dan tanaman herbal.
“Sayangnya, banyak tanaman herbal Bali mulai tergeser oleh tanaman lekas panen dan bebungaan. Pengobatan tradisional Bali juga terus terdesak untuk memberikan ruang bagi pengobatan modern. Selain itu, pendirian bangunan villa, hotel, restoran, dan pemukiman yang masif juga menggeser areal persawahan,” ungakap Ria. Melanie pun berusaha mencari cara untuk melestarikan pengetahuan dan tanaman herbal Bali. Wanita berdarah Inggris ini pun bertemu dengan Dayu Suci, seorang wanita Klungkung yang juga punya passion yang sama dengannya di bidang herbal.
Melanie dan Dayu pun menghabiskan begitu banyak waktu bertukar pengalaman dan pengetahuan mengenai kearifan tanaman dan rempah, serta herbal Bali kuno. Tri Hita Karana, sebuah ajaran Hindu Bali yang menekankan pada hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang pencipta menjadi prinsip yang mereka pegang. Dari sana kemudian tercetus ide untuk membuat dupa dari bahan-bahan organic yang sifatnya suistainable dan tidak merusak alam.
Ria masih ingat Ibunya mengungkapkan kalau pembuatan dupa tersebut memakan waktu 2-3 tahun. “Mereka ingin membuat dupa yang sempurna dengan mengandalkan bahan-bahan herbal yang ada di seluruh alam Indonesia. Mereka enggak pakai sandalwood, karena mereka tak ingin merusak hutan. Lem yang digunakan untuk dupa adalah bagian tersulit yang mereka pernah kerjakan. Mereka memanfaatkan arang kelapa, rempah-rempah, hingga getah tanaman, “ terang Ria sambil memperlihatkan dupa buatan Ibunya tersebut.
Setelah sukses dengan eksperimen dupanya pada tahun 1989, banyak permintaan yang lantas menghampiri Ibunya, seperti membuatkan lotion atau sabun untuk menghilangkan penyakit kulit. Bahkan sebuah ramuan obat nyamuk yang memanfaatkan bahan herbal juga lahir dari tangan Melanie. “Saya masih ingat produk itu dibuat untuk anjing saya yang awalnya dikerubungi serangga saat ia sakit akibat terkena gigitan ular. Ibu saya kasihan dengan anjing saya itu dan mencoba menciptakan obat pengusir serangga,” jelasnya.
Sebelum menjadikannya PT Supa Dupa Spice pada tahun 2000, Melanie belum serius mengarahkan seluruh produk buatannya ke dalam dunia bisnis. Pertemuannya dengan Saraswati, seorang wanita berkebangsaan Amerika Serikat lah yang membuatnya terpikir untuk melabeli sebuah brand khusus untuk produk herbal ciptaannya. “Tahun 1995, Saraswati datang ke rumah dan menemui ibu saya. Ia bersemangat sekali memesan produk herbal buatan Ibunya. Kebetulan, ia punya usaha butik dan spa di Amerika. Ibu saya enggak mikir saat itu bisa jadi bisnis, karena ia melakukan semua itu karena hobi saja,” tutur Ria yang pernah mengenyam pendidikan hukum di London.
Alhasil, logo dan brand Utama Spice Bali pun mulai dirancang Melanie, di mana sarat dengan makna filosofi kehidupan dan alam. “Utama Spice dijadikan nama brand kami, karena merujuk dari posisi Indonesia sebagai pusat penghasil rempah-rempah utama di dunia. Desain logo menjadi sebuah refleksi dari apa yang kami perbuat selama ini lewat Utama Spice,” imbuh anak pertama Melanie ini.
Secara perlahan tawaran dari hotel dan villa di Ubud pun banyak berdatangan ke Utama Spice. Rata-rata mereka meminta Ibunda Ria untuk membuatkan semacam research development bagi keperluan produk spa mereka. “Dari situ kemudian berkembang dan semakin banyak yang tertarik, baik masyarakat maupun pemerintah. Semuanya serba dari mulut ke mulut.
Sang Penerus
Ketika peristiwa Tsunami di Aceh pada tahun 2004, ibunda Ria memutuskan untuk pergi ke Aceh dan membantu pemulihan korban di sana. Melanie pun melepaskan diri dari bisnis Utama Spice dan menyerahkannya tanggung jawab sepenuhnya pada tim manajemen. “Ibu saya rasa sosialnya sangat tinggi. Ia pergi ke Aceh dan membangun klinik persalinan dan membantu petani setempat,” ucap Ria.
Sepeninggal Melanie, manajemen Utama Spice mengalami sedikit persoalan. Ketika Ria mengetahuinya, ia pun berinisiatif mengajak rekannya Skyler yang punya latar belakang pendidikan bisnis untuk mengambil alih manajemen Utama Spice dan melakukan perombakan yang signifikan terhadap tubuh organisasi di dalamnya. “Saya merasa bisnis ini telah melakukan banyak hal-hal yang baik dan saya merasa berkewajiban untuk meneruskan mimpi-mimpi ibu saya. Sejak kecil, saya diberi pengetahuan tentang herbal dan aromatherapy. Saya pun lihat sendiri bagaimana kerja ramuan tersebut,” ujarnya.
Dengan merevitalisasi tubuh organisasi di dalam manajemen Utama Spice, Ria pun akhirnya bisa membentuk sebuah tim yang solid dengan kultur kerja dan brand loyalty yang baik. Selain manajemen, Ria mulai fokus mengangkat kembali brand Utama Spice Bali ke permukaan. Jika sebelumnya Utama Spice kerap membantu membuatkan produk untuk brand spa atau pun aromaterapi perusahaan lain. Kini, Ria ingin menonjolkan produk dengan brand Utama Spice Bali itu sendiri.

Ria membuatkan saya produk lip blam langsung on the spot. Dan saya bisa minta untuk customize aromaterapinya lho!
“Brand kita fokus untuk lifestyle, terutama mengangkat konsep aromatherapy untuk spa dan estetika. Memang sekarang banyak produk skincare di luaran sana, tapi Utama Spice membuatnya berbeda dengan fokus terhadap healthy lifestyle dan natural lifestyle, “ kata perempuan yang berdomisili di Sanur ini.
Demi memperkuat branding Utama Spice. Ria mulai ketat melakukan quality control produk, berkreasi dnegan product packaging, serta melengkapinya dengan sertifikasi dari uji lab BPOM dan Departemen Kesehatan. Target pasarnya pun mengarah kalagan remaja usia 20 tahun hingga dewasa 50 tahun. Ria pun kini lebih cenderung memaksimalkan pemasaran lewat online, seperti social media maupun blog untuk menarik antusiasme pasar lokal. Tercatat 44 stockists tersebar di seluruh Bali, Jakarta, Bandung, Jogjakarta, dan Balikpapan. Bahkan ekspor juga dilakukan Utama Spice ke Australia, Amerika, Eropa, Afrika Selatan, dan Rusia
Menariknya lagi, keberadaan Utama Spice mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal. Dari yang awalnya hanya 20 pekerja berkembang menjadi 50 pekerja, di mana kebanyakan pekerjanya merupakan perempuan muda Bali di bawah usia 30 tahun dari desa-desa sekitar. “Ibu saya sangat bahagia kalau bisnis ini bisa berjalan dan bisa memberi nafkah kepada sejumlah pekerja lokal,” tegas Ria.
Estetika dan Pengobatan
Produk lotion, sabun, lip balm, hingga obat pengusir nyamuk menjadi primadona di Utama Spice. Ria juga mengatakan bahwa Utama Spice juga tengah mengembangkan produk berbahan organic yang bisa dijadikan sebagai pengepel lantai, sabun cuci piring, laundry, dan juga spray aromatherapy ruangan.
Utama Spice tidak semata menghasilkan produk untuk estetika, tetapi sebagian besar bermanfaat untuk healing. Di tengah-tengah gencaran produk anti-aging berbahan kimia yang dijual secara massal di pasaran, Utama Spice berusaha mengedukasi customer tentang healthy living lewat produknya. Produk Utama Spice memberi efek anti-aging yang lebih lama dan baik untuk kesehatan kulit.
Produk yang dijual pun sangat terjangkau, yakni kisaran 16 ribu rupiah sampai 500 ribu rupiah. “Kita berusaha buat se-affordable mungkin, dan kita bikin lebih simpel untuk harga produksi minim. Kita berusaha 90 persen bahan dari lokal, dan untuk beberapa yang belum kita punya teknologinya dibeli dari luar,” katanya. Ria menegaskan bahwa hampir semua produk yang diciptakan ibunya di Utama Spice Bali berangkat dari keinginan untuk membuat sesuatu serta bersama misi pelestarian alam.
“Kami bekerja dengan produk yang 100% alami dan dibuat dengan tangan, sangat penting bagi setiap permukaan untuk terbuat dari stainless steel dan steril, untuk menghindari kontaminasi silang. Kami percaya bahwa proses penciptaan perlu dilalui dengan sepenuh hati. Ketika kita memberikan seluruh hati, energi, dan hasrat kita—semua ini akan terlihat dan membuat perbedaan dalam produk yang kita hasilkan,” terangnya.
Ria ingat bagaimana ibundanya tidak pernah mau memakaina ia dan adiknya dengan sabun atau lotion di pasaran, malah Melanie membuatnya sendiri dari bahan alam tanpa muatan kimia. “Beliau selalu berusaha untuk membuat lebih baik. Bukan semata-mata bisnis, tetapi kecintaan ibu terhadap alam, pelestarian, dan pengetahuan. Juga melestarikan para petani Bali, di mana kita support mereka dan meminta mereka untuk menanam tumbuhan asli bali agar tidak cepat punah,” katanya.
Utama Spice Bali memiliki sebuah lahan seluas 6 are di daerah Andong, Ubud yang bisa mereka tanami tumbuhan sejenis kumis kucing, sereh, bunga celeng, bunga pucuk, temu-temuan, jahe, cekuh, daun gajah, dan berbagai macam bunga. “Sekarang sangat terasa sudah banyak tanaman herbal yang hilang. Dulu pas kecil masih bisa lihat sawah dan kunang-kunang. Sekarang sudah tergantikan banyak bangunan,” tambahnya.
Lewat Utama Spice Bali, Ria ingin membuktikan bahwa bukan tidak mungkin menggabungkan sustainable, ethical, dan factory business. “ Cara dunia kita mengonsumsi sekarang ini sudah terlalu banyak mengambil dari alam. Mereka tidak memikirkan bagaimana caranya membuatnya seimbang, karena suatu nanti kita tidak mungkin akan terus mengambil saja,” ujar wanita yang hobi traveling ini. Untuk itu Utama Spice berusaha membuat produk terbaik dengan menggunakan bahan-bahan yang sifatnya sustainable.
(Dimuat di M&I Magazine, dengan sedikit suntingan | photo credit: IB Baruna)
Leave a Reply