Politik Ritual Atma Wedana
Oleh
Agung Wardana
Nama pendeknya Arya Wedakarna. Sedangkan nama lengkapnya cukup panjang dan melelahkan untuk diingat ditambah lagi gelar akademis dan kebangsawanan yang mentereng. Anak dari Wedastra, seorang tokoh PNI di zamannya. Konon, pemuda ini masuk dalam daftar tokoh Hindu paling berpengaruh di nusantara dan acapkali mendapatkan penghargaan serta memecahkan rekor MURI. Nampaknya semua modal (kultural, finansial, sosial dan simbolik) ia miliki dan bahkan namanya pun disebut-sebut sebagai pemimpin masa depan Bali.
Tidak hanya itu, hampir setiap hari kegiatan pemuda ini dimuat oleh media mainstream. Namun sayangnya, berita tersebut merupakan berita berbayar (adventorial terselubung). Artinya sudah sedemikian banyak uang ia habiskan untuk membangun citra di media massa dan selama itu pula penulis tidak merasa terusik untuk membaca karena tidak ada hal yang bermutu ia beritakan. Penulis cuma menyangkan media mainstream telah memberikan ruang pada pemuda ambisius ini terus berpropaganda mengikuti doktrin Goebbels, “kebohongan yang diucapkan terus menerus akan dipercaya menjadi kebenaran”.
Bermain Api atau Bermain Dalam Kotak?
September di Bali biasanya dibuat sunyi oleh otoritas. Telah menjadi rutinitas setiap awal bulan September otoritas mengingatkan publik bahwa bahaya laten komunis belum sirna. Namun, di bulan ini berita berbayar di koran lokal tersebut sedikit menyerempet resiko yakni mengangkat peristiwa sejarah kelam September 1965. Anak muda ini dengan heroik mengundang keluarga korban apa yang ia sebut sebagai Revolusi 1965 untuk mengikuti upacara Atma Wedana tepat pada angka keramat 30 September.
Entah pewisik dari mana, pemuda yang mengklaim diri menjadi Raja Majapahit cabang Bali muncul dengan ide ini. Tentu, jika upacara ini sukses, maka terbuka jalan bebas hambatan bagi ambisinya ke depan. Setiap proses persiapan pun tak lupa ia sampaikan ke publik untuk menunjukkan keseriusan menggarap hajatan ritus massal ini, mulai dari mengundang para keluarga korban untuk mendaftar hingga meminta dukungan dari otoritas (negara).
Namun, ada beberapa hal yang perlu dicermati bersama. Pertama, bahwa pemuda yang menganggap diri telah ‘dilantik’ jadi raja Bali ini bernafsu untuk mengembalikan feodalisme. Seorang raja memiliki fungsi tidak saja secara politis tetapi secara kultural sebagai penanggung jawab ritus-ritus kolosal. Kesuksesan helatan ini akan memberikan legimitasi kultural bagi pemuda ini untuk menyandang gelar sebagai raja. Legitimasi ini penting untuk membawanya ke pusat kontestasi kaum feodal Bali bila perlu muncul sebagai penguasa hegemonik.
Selain itu ramalan sabdo palon, mitos yang populer bagi masyarakat hindu Bali, menjadi ‘komoditas’ yang dijajakannya. Upaya untuk mengajak masyarakat beromantisme akan kejayaan masa lalu dibawah kendali seorang ‘ratu adil,’ yang ia lekatkan pada dirinya. Mirip strategi Hitler dalam menjawab frustasi sosial masyarakat Jerman yang kalah pada Perang Dunia I untuk bangkit mengembalikan kejayaan Kekaisaran Romawi.
Kedua, adanya dukungan otoritas negara atas ide ritual ini. Beberapa saat yang lalu masih di berita berbayar itu, anak muda ini mengaku telah menghadap pemerintah provinsi untuk meminta dukungan. Entah benar atau hanya sekedar klaim tapi jika ini benar maka tentu menjadi pertanyaan besar. Sejak kapan negara yang selama ini dikenal menyangkal adanya pembataian orang-orang yang dituduh komunis dan intelektual kiri sebagaimana dijelaskan dalam sejarah resmi justru memberikan dukungan masalah tabu ini untuk dibicarakan di publik.
Analog dengan ungkapan Emma Goldman, segala sesuatu yang berpotensi merubah keadaan (sosial-politik) apalagi membahayakan penguasa pasti sudah dilarang negara atau paling tidak diantisipasi. Tanpa bermaksud menegasikan kerendahan hati sang penguasa yang telah berjiwa besar mengakui peristiwa berdarah tersebut lewat dukungan politis, penulis justru menaruh curiga ada cerita apa dibalik dukungan negara ini. Penulis melihat bahwa ritual ini merupakan kartasis (pelampiasan) yang masih dalam batas toleransi negara karena memang salah satu fungsi ritual secara psikologis adalah penertiban atau pendisiplinan masyarakat dari impuls-impuls yang bisa merusak status quo. Jadi negara seperti menyambut impuls-impuls yang ingin membuka kebenaran kasus pembantaian 1965-1966 sebagaimana ditunjukkan oleh Komnas HAM dengan mengarahkannya pada ranah yang ‘tertib’ dan bermain dalam kotak yang disediakan negara.
Ketiga, ritual ini tidaklah bermaksud membangun rekonsiliasi yang sebenarnya. Tetapi justru melakukan pengorbanan kembali (victimise the victims) korban dan keluarganya. Bagaimana tidak? Lihat saja lokasi yang akan dijadikan tempat upacara Atma Wedana tersebut yakni di Lapangan Puputan (Bajra Sandi) Renon. Tentu tempat ini dipilih bukan tanpa motif apa-apa karena tempat akan menentukan akan digiring kemana korban atau keluarga yang diundang untuk hadir. Lapangan ini adalah lokasi yang tepat untuk melakukan penoptikon. Keluarga korban yang selama ini takut untuk muncul karena politik ‘bersih lingkungan’ kini justru ‘dipersembahkan’ di hadapan ‘altar negara’. Semacam cara untuk mengundang korban dan keluarga korban untuk keluar dari kebungkaman sehingga memudahkan identifikasi dan pemantauan oleh otoritas.
Selanjutnya, kesesatan pikir juga ada dalam maksud ritual ini diadakan. Dalam beberapa kesempatan dan banner di pinggir jalan secara implisit menyatakan bahwa maksud dari ritual ini adalah untuk menyucikan atma-atma papa (arwah penasaran) dari korban pembantaian 1965-1966 yang terjadi di Bali. Dengan dasar pemikiran bahwa mereka tidak mendapatkan tempat yang layak di nirwana sehingga bisa ‘menganggu’ kehidupan masyarakat Bali. Sungguh aneh. Sudah menjadi korban, saat ini mereka juga harus dipersalahkan dan dituduh menjadi kambing hitam atas apa yang terjadi di alam nyata.
Sebenarnya banyak keluarga korban yang sudah pula melakukan ritual atas kehilangan anggota korban mereka. Karena hal ini merupakan standar kenormalan orang Bali yang meninggal dunia. Sedangkan ritual Atma Wedana yang di dorong oleh pemuda ini menjadi semacam duplikasi atas ritual yang sejatinya telah selesai di tingkat keluarga. Namun masih remang di tingkat politik-hukum negara.
Jika kemudian menengok sejarah versi ‘tidak resmi’ maka ritual ini sebenarnya salah kaprah. Banyak keluarga korban menilai bahwa keluarga mereka yang jadi korban telah mendapatkan posisi yang mulia di nirwana. Selain karena telah tuntasnya ritual di tingkat keluarga, hal ini juga karena para korban saat itu telah siap menghadapi tajamnya klewang para tameng (penjagal) atau panasnya peluru senapan sampai-sampai mereka menjemput maut dengan tenang dan berpakaian putih-putih serupa puputan dalam membela ide dan nilai yang mereka percaya.
Dengan demikian yang sebenarnya menjadi atma papa itu bukanlah sang korban melainkan para pelaku sendiri. Hal ini karena merekalah yang dirasuki kekuatan buta kala saat melakukan pembantaian. Bahkan dalam Perang Kurusetra sekali pun tidak dibenarkan untuk membunuh orang yang tidak bersenjata. Jadi jika pun ritual ini memang benar bertujuan untuk menyucikan Bali dari atma papa, maka seharusnya bukan atma para korban 1965-1966 tetapi atma (arwah) para pelaku lah yang perlu disucikan sehingga bisa mencapai nirwana. Sehingga keluarga pelaku yang dikejar beban sejarah pun bisa terbebas dari rasa bersalah dan karma phala.
Maka, nama ritualnya pun seharusnya berganti dari ‘Atma Wedana’ menjadi ‘Atma Wedakarna’.
Penulis
Pengamat Sosial-Politik
Leave a Reply