Pertanyaannya, Gianyar Kota Pusaka untuk Siapa?

Pawai budaya di Gianyar Kota Pusaka saat berlangsung Rakernas JKPI VI di Gianyar April 2017 lalu. Foto JKPI.

Kabupaten Gianyar terpilih menjadi anggota Organisasi Kota Pusaka Dunia.

Keputusan Gianyar sebagai anggota Organization of World Heritage Cities (OWHC) ini menambah panjang kota di Indonesia yang sudah masuk OWHC lebih dulu, Surakarta (Jawa Tengah) dan Denpasar (Bali). Namun, selain mendatangkan harapan, dia juga melahirkan sejumlah pertanyaan.

Pertama sisi optimistik bahwa gelar kota pusaka yang disandang Gianyar akan serta-merta akan menaikkan citra Gianyar sebagai destinasi pariwisata berbasis budaya. Wayan Geriya, misalnya memberikan batasan sangat prestisius terkait Gianyar sebagai Kota Pusaka. “…satu identitas kaya potensi, besar harapan dan dalam makna. Kaya potensi mencakup totalitas pusaka alam, budaya, dan saujana yang tersebar di seluruh kecamatan …,” tulisnya di Pusaka Budaya, halaman 11.

Ini sebuah rumusan sangat brilian dari pakar budaya yang sudah tidak diragukan lagi bobot pemikirannya.

Selanjutnya Geriya juga menjelaskan soal kemungkinan-kemungkinan sinergi yang bisa terbangun antara program Kota Pusaka dengan pariwisata dan ekonomi kreatif. Semua bermuara kepada pemahaman agar keseluruhan strategi dan program Kota Pusaka bisa meningkatkan kesejahteraan warga dan memperkokoh sendi-sendi kebudayaan Kabupaten Bumi Seni.

Keseluruhan ide tersebut sangat baik dan mulia. Kabupaten Gianyar memang layak menyandang sebutan kota pusaka karena warisan sejarah baik berupa artefak maupun ide-ide adiluhung yang menghidupi berbagai tebaran artefak tersebut.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Dr. Laretna T. Adhisakti, dosen Arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pelopor gerakan kota pusaka di Indonesia. Menurutnya pusaka sebagai warisan leluhur bukan hanya tinggalan berwujud (tangible) namun juga tinggalan intangible. Seluruh peninggalan benda dan tak benda tersebut harus dilestarikan, dikembangkan, dan dijadikan aset daerah sehingga memiliki nilai ekonomi.

Ada semacam kesadaran bersama yang terekam dalam berbagai ulasan terkait diseminasi kesadaran tentang pentingnya kota pusaka, yaitu pentingnya pemanfaatan pariwisata sebagai medium edukasi masyarakat sekaligus sarana menghasilkan manfaat ekonomi kota pusaka bagi masyarakat luas. Kesadaran ini melegakan karena pengakuan pentingnya melibatkan aspek pariwisata akan menghasilkan manfaat ganda.

Pertama, pesan-pesan kota pusaka akan menjangkau khalayak lebih luas, yakni masyarakat lokal dan wisatawan. Kedua, melalui pengembangan pariwisata kesejahteraan masyarakat sekitar tinggalan heritage akan dapat ditingkatkan. Kondisi demikian akan bisa menimbulkan dampak berbalik berupa munculnya rasa kepemilikan yang kuat dari masyarakat terhadap keberadaan situs.

Perlu Didalami

Setelah mencoba memahami ide besar ‘kota pusaka’, sebagai orang yang awam dalam dirkursus kebudayaan, menurut saya sekurang-kurangnya terdapat dua isu yang mesti lebih didalami.

Pertama, soal kaitan warisan pusaka dengan pariwisata. Menjadikan warisan pusaka sebagai destinasi wisata tentu sah-sah saja. Namun, persoalannya tentu tidak sesederhana seperti mengembangkan destinasi jenis lain, semisal destinasi berbasis alam atau buatan.

Pengembangan destinasi pariwisata berbasis pusaka atau heritage membutuhkan strategi khusus, mengingat bahwa ia termasuk pariwisata minat khusus. Aspek yang dikemas dan ‘dijual’ dalam destinasi berbasis heritage adalah cerita dan makna di balik sebuah situs, bukan perwujudan fisik heritage an sich.

Kondisi ini membutuhkan upaya lebih keras dalam mengemas sebuah warisan pusaka sebagai destinasi wisata populer. Masyarakat di sekitar situs atau warisan pusaka juga harus dipastikan bisa terlibat dalam upaya pengembangan tersebut.

Bagaimana hal tersebut hendak dilakukan? Seperti apakah respon masyarakat Gianyar yang tinggal di sekitar situs terhadap pariwisata?

Kedua, konsep kota pusaka dihadirkan tentu dengan maksud agar semua warisan budaya yang dikategorikan sebagai pusaka bisa dilestarikan sehingga dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Perlu diingat bahwa konsep pelestarian berbeda dengan preservasi. Dalam pelestarian terdapat aspek penambahan dan penyesuaian, sedangkan preservasi hanya mengawetkan.

Pertanyaan saya adalah bagaimana gerakan kota pusaka melihat peran generasi muda (anak-anak, remaja, orang dewasa pemula) dalam pelestarian pusaka di Gianyar? Atau bagaimana pemahaman generasi muda terhadap warisan pusaka yang begitu kaya di daerahnya?

Tulisan singkat ini tidak bermaksud menjawab tuntas dua isu di atas. Paling tidak saya ingin menyumbangakan beberapa poin pemikiran yang sekiranya dapat menjadi pijakan awal manakala kita ingin menelaah lebih mendalam kedua isu tersebut.

Kendala Pengembangan

Besarnya potensi pengembangan berbagai warisan pusaka Gianyar, khususnya yang bertipe tinggalan arkeologi tidak serta merta berdampak terhadap kehidupan perekonomian warganya, sebagaimana cita-cita gerakan kota pusaka. Dari hasil serangkaian wawancara di beberapa tempat di Kecamatan Tampaksiring tahun lalu, hal ini akibat beberapa kendala dalam pengembangan berbagai potensi yang ada.

Ada beberapa kendala.

Pertama, kendala Sumber Daya Manusia (SDM), di mana kurangnya SDM yang berkualitas dalam mengembangkan pariwisata berbasis heritage. Banyak anak muda sekitar situs lebih memilih untuk merantau dan bekerja ke luar desa atau daerahnya.

Kedua, sebagian besar warga masyarakat masih kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Inggris ataupun asing lain dengan wisatawan. Faktor ini menyebabkan minimnya kemampuan warga dalam menyampaikan informasi seputar potensi wisata yang dimiliki kepada calon wisatawan.

Ketiga, kesadaran masyarakat, di mana opini masyarakat yang selalu menginginkan agar hasil dari suatu proses pariwisata tersebut dapat dinikmati dalam tempo yang cepat (instant). Padahal, agar proses tersebut dapat berjalan dengan baik, waktu yang dibutuhkan akan cukup lama.

Keempat, rendahnya inovasi dan kreatifitas warga dalam mengelola potensi yang dimiliki. Sangat sulit menemukan figur-figur yang berani berpikir ‘keluar cangkang’ (out of the box) di daerah penelitian. Sebagian besar warga masih menganut cara berpikir normal yang bussiness as usual. Berperilaku, berucap, dan berpikir sebagaimana lazimnya orang lain pada umumnya.

Kelima, status tinggalan purbakala yang disandang oleh berbagai obyek wisata memengaruhi rendahnya inisiatif masyarakat dalam mengembangkan pemanfaatan situs sebagai destinasi wisata. Ada semacam kekhawatiran kolektif apabila situs tersebut dikembangkan atau dimanfaatkan sebagai destinasi wisata, maka kegiatan itu akan dikategorikan sebagai langkah melanggar UU Kepurbakalaan. Kaburnya batas-batas zone konservasi dengan zone pemanfaatan membuat berbagai pihak termasuk para pemimpin di desa ragu-ragu dalam mengembangkan pariwisata di situs-situs yang terdapat di wilayahnya.

Menjadi Virus

Kondisi-kondisi ini menimbulkan kesan bahwa respon masyarakat kurang baik dalam mengelola segenap potensi heritage (pusaka) yang ada. Masyarakat seakan-akan tidak bisa memanfaatkan potensi yang ada untuk bisa menarik minat kunjungan wisatawan. Hambatan-hambatan internal di atas menjelma menjadi virus yang mengkandaskan berbagai potensi yang sesungguhnya sangat kaya. Masyarakat, baik elite maupun warga, terperangkap dalam sikap dan cara berpikir yang instant, tidak mau repot, dan menggantungkan segalanya kepada Pemerintah.

Dalam berbagai kesempatan tergambarkan dengan jelas, bagaimana besarnya tingkat ketergantungan warga masyarakat terhadap langkah-langah yang diambil pemerintah, dalam hal ini pihak Dinas Pariwisata. Seorang bendesa di Tampaksiring misalnya menyampaikan harapan. “Kami sangat berharap pihak Dinas Pariwisata sungguh memberikan perhatian bagi pengembangan potensi pariwisata desa kami,” katanya.

Ungkapan demikian jamak muncul dalam acara-acara Dinas semisal sosialisasi desa wisata atau acara-acara lainnya. Masyarakat menganggap pemerintah bisa melakukan segalanya bagi kepentingan mereka.

Pola dan sikap mental demikian juga tidak berubah banyak manakala pemerintahan desa sedang mendapatkan kucuran dana desa dalam tiga tahun terakhir. UU No 16 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan agar pemerintah desa kreatif dalam menggali potensi yang dimiliki desa. Bahkan desa dimandatkan untuk membentuk BUMdes (Badan Usaha Milik Desa).

Namun, ketentuan ini belum mampu memaksa pemerintah desa menjalankannya. Dana Desa lebih banyak dihabiskan untuk proyek-proyek fisik yang lebih populis tinimbang untuk menginisiasi program-program pemberdayaan dan penumbuhan kreativitas ekonomi warga desa.
Generasi Millenial

Rendahnya respon masyarakat terhadap pengembangan situs menjadi destinasi wisata, salah-satunya akibat kurangnya pemahaman terhadap keberadaan pusaka tersebut. Keberadaan warisan pusaka sudah semestinya dipahami sebagai khasanah warisan leluhur yang terus dimaknai dan direvitalisasi.

Dalam mewarisi pusaka-pusaka tersebut, perasaan bangga semata tidaklah cukup. Apalagi sekadar bangga yang diikuti perasaan jemawa berlebihan. Kebanggaan akan lebih elok bila dilanjutkan dengan minat dan upaya tekun untuk mengetahui nilai-nilai filosofis dan makna dalam tinggalan pusaka tersebut.

Satu hal penting yang juga layak dipertimbangkan adalah karakter dari generasi muda saat ini. Kepada siapa kita akan mentransfer cerita (story) dan makna sejarah (history) warisan pusaka.

Generasi muda era kini (usia 25 tahun ke bawah) sering disebut sebagai generasi X. Mereka lahir pada tahun 1980 sampai tahun 1995 dan tumbuh besar di era milenium baru. Mereka tumbuh pada era digital sebagai ciri dari revolusi teknologi informasi, sehingga sering juga disebut generasi native digital.

Bagaimana sifat dan karakteristik mereka? Generasi X atau generasi milenial berada dalam paparan teknologi digital setia saat. Mereka mengomsumsi informasi dari banjir bah informasi yang melanda dari berbagai perangkat teknologi digital (televisi, telepon genggam, laptop). Merekalah generasi yang selalu menjinjing gawai ke mana pun pergi, tidak tahan lama membaca diktat tebal dan serius, terbiasa menulis hanya dalam 150 karakter, berfoto selfie di berbagai tempat eksotis yang didatangi, dan menggunggah berbagai aktivitasnya ke sosial media.

Sebagai pekerja mereka adalah tipe si pembosan, tidak bisa diatur, memuja kebebasan berekspresi, dan anti kemapanan. Bagaimanakah kita hendak menyampaikan pesan-pesan kota pusaka kepada generasi milenial yang memiliki cara yang amat sangat berbeda dalam mengkomsumsi informasi ini?

Apabila pendekatan yang dipakai masih menggunakan pola-pola konvensional, yakni model penyampaian pesan secara satu arah, indoktrinasi, pidato yang dipenuhi ujaran menggurui, dan formalistik, maka dapat dipastikan tujuan kita untuk meningkatkan pemahaman generasi muda akan menemui kegagalan. Generasi milenial tersebut dalam waktu cepat akan berpaling dari kita. Mereka tidak akan mengindahkan materi yang kita sampaikan. Mereka mungkin mau mengikuti dan mendengarkan pemaparan kita, namun tangan dan pikiran mereka akan sibuk dengan gadgetnya masing-masing.

Apa yang Harus Dilakukan?

Agar transfer informasi mencapai tujuannya secara maksimal, maka penyampaian pesan kota pusaka harus menggunakan gaya berkomunikasi generasi milenial. Para aktivis gerakan kota pusaka mesti bisa menggunakan medium komunikasi yang lazim dipakai generasi muda; baik piranti maupun konten atau substansinya.

Pirantinya adalah Internet dengan segenap medium pendukungnya, seperti media sosial (Facebook, Instagram, Twitter, Path, Line, dll), blog, vlog, dan sebagainya. Konten menyangkut materi penyampaian pesan, penyampai pesan, dan gaya penyampaian. Menyangkut penyampai pesan alangkah baiknya dicoba menggunakan idola para generasi millenial sebagai duta kota pusaka, misalnya artis atau aktor film.

Tak kalah penting adalah pendekatan terhadap berbagai komunitas generasi muda seperti komunitas blogger, komunitas film pendek, komunitas YouTuber, komunitas jalan-jalan, komunitas fotografi, dan kelompok pekerja kreatif lain. Komunitas-komunitas yang diikat oleh hobi dan minat yang sama tersebut kini menjamur jumlahnya. Mereka menggunakan media sosial untuk menjalin komunikasi dan menampilkan beragam aktivitas yang dilakukannya.

Sudahkah mereka dilibatkan selama ini?

Maka saya membayangkan untuk menyebarkan kecintaan terhadap warisan pusaka Gianyar ini nantinya akan dirancang serangkaian program yang berbasis pendekatan terhadap anak muda, seperti: lomba film dokumenter bertema pusaka Gianyar melalui medium YouTube, lomba foto obyek-obyek warisan pusaka dengan medium Instagram, diskusi antar komunitas dengan mengundang narasumber artis via Skype, lomba desain kaos bertema kota pusaka, lomba menulis melalui medium blog, bersepeda menjelajahi berbagai tinggalan heritage DAS Pekerisan, field research dengan narasumber ilmuwan arkeologi, dan lain-lainnya. [b]

The post Pertanyaannya, Gianyar Kota Pusaka untuk Siapa? appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *