Pertanian Bali Pelan-pelan Menuju Kemandekan

Petani menggarap sawah di antara bangunan di Desa Kediri, Kecamatan Kediri Tabanan. Foto Made Argawa.

Petani menggarap sawah di antara bangunan di Desa Kediri, Tabanan. Pertanian Bali kian terdesak oleh pembangunan. Foto Made Argawa.

Pertanian di Bali hanya manis dalam wacana. Tabanan hanya contoh.

Antropolog kebangsaan Amerika Serikat, Clifford Geertz dalam buku Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia mengupas tentang proses pertanian di Pulau Jawa yang stagnan saat era kolonial. Involusi adalah kemandekan atau kemacetan pola pertanian yang ditunjukkan tidak ada kemajuan secara nyata.

Pada masa itu, Belanda menggalakkan pertanian untuk kepentingan ekspor. Dari situ mereka mendapatkan keuntungan berlipat-lipat karena hasil pertanian berupa rempah-rempah dan teh Nusantara laku keras di pasaran dunia.

Tetapi, seiring berkembangnya pertanian, pemerintah kolonial tetap menjadikan masyarakat Jawa bangsa terjajah. Sehingga muncul ekonomi tidak seimbang atau yang disebut JH Boeke (1958) dualisme ekonomi.

Di Bali, pertanian tidak akan pernah bisa lepas dari kehidupan masyarakatnya. Ikon pertanian di Bali adalah Kabupaten Tabanan yang luas wilayahnya 839,3 km persegi. Kabupaten ini bahkan dijuluki sebagai lumbung berasnya Pulau Dewata.

Namun, bagaimana nasib pertaniannya sekarang?

Potret petani I Wayan Suatra yang memanen padi di sawah seluas 11 are di Subak Dukuh Ancak, Desa Mandung, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan bisa menjadi jawaban nyata dari pertanyaan di atas.

Di Subak tersebut alih fungsi lahan pertanian cukup cepat karena perumahan begitu pesat berkembang. Pesatnya pertumbuhan perumahan di area Subak Dukuh Ancak menurut pria 55 tahun terjadi enam tahun terakhir.

Semakin miris, ketika Suatra mengatakan faktor pendorong alih fungsi lahan karena minimnya generasi produktif untuk bertani.
Menurut Pekaseh Subak Dukuh Ancak I Wayan Suendra, hampir 90 persen petani di subaknya berusia di atas 50 tahun dari total 232 kramanya.

Saat ini luas lahan pertanian di subak itu sekitar 81 hektar. Bandingkan sebelum adanya perumahan, luas lahan pertanian sekitar 110 hektar pada 16 tahun silam.

Subak Dukuh Ancak menjadi gambaran bagaimana pertanian di Tabanan, bahkan mungkin secara umum di Bali. Manis dalam wacana, tapi dalam penerapan secara nyata, masih perlu ditanyakan.

Beberapa waktu lalu Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti menggelar panen raya di salah satu subak di Kecamatan Penebel. Tetapi, itu Penebel, wilayah yang terkenal subur. Sistem subak yang menjadi warisan dunia UNESCO, Subak Jatiluwih juga ada di Penebel.

Apakah pertanian Tabanan hanya ada di Penebel?

Bagaimana pertanian di Kecamatan Tabanan, Kediri, Kerambitan dan Selemadeg Timur? Bahkan ironisnya, setelah berdiri Bendungan Telaga Tunjung di Desa Timpag, jeritan petani kekurangan air di musim kemarau di Selemadeg Timur semakin nyaring terdengar.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tiga tahun terakhir. Luas lahan sawah di Tabanan pada 2013 tercatat 22.184 hektar menjadi 21.962 hektar pada 2014. Pada 2015 ini menjadi 21.714 hektar. Rata-rata penyusutan lahan sawah ini mencapai 200 hektar.

Jika, penyusutan tersebut berjalan mulus, sekitar seratus tahun lagi Tabanan sudah tidak memiliki lahan sawah.

Pertanian ditinggalkan generasi muda karena identik dengan kemiskinan, kotor dan tidak keren. Itu semakin nyata ditambah minimnya lahan dan minimnya produksi.

Terjepit Pola Industri

Perkembangan industri pariwisata sejak 1970-an di Bali memang memberikan alternatif pilihan untuk penghidupan. Bagaimana pertanian bertahan ketika menjadi petani tidak lagi populer sebagai sebuah pilihan hidup? Di sisi lain, masyarakat terbawa dalam pola hidup industri yang dinamis.

Jawaban yang paling singkat adalah menjual sawah.

Apakah sawah dijual untuk tetap menjadi lahan garapan? Saya lihat itu sedikit terjadi. Paling tidak jadi perumahan, vila atau hotel. Jika tetap berwujud sawah hanya bisa ditemui di pegunungan yang jauh dari pusat ekonomi.

Nasib petani di sekitar pusat ekonomi hanya menjadi penggarap di antara beton. Pastinya si petani tadi tidak akan rela jika anaknya turut mengikuti jejak menjadi penggarap sawah di antara beton. Jika, si anak tidak mampu bertahan jawaban singkat yang akan dipilih.

Saya berharap hal di atas hanya terjadi dalam pemikiran saja. Jika tidak, apakah pertanian Bali sedang menuju involusi pertanian seperti apa yang disampaikan Geertz? [b]

The post Pertanian Bali Pelan-pelan Menuju Kemandekan appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *