(per)jalanan

saya selalu mengaku sangat menyukai perjalanan. tempat-tempat baru, bangunan-bangunan asing, dan tentu saja orang-orang yang asing.

melihat seseorang yang tidak kita kenal melakukan sesuatu itu menyenangkan, apapun yang dia lakukan. mungkin karena perasaan yang melatarbelakangi saya hanya sekedar ingin melihat, maka keinginan untuk tahu lebih banyak kenapa dia melakukannya, hampir tak ada. kalaupun ada, itu semacam ke-soktahu-an saya, yang terus menerus dipupuk lewat dialog – dialog di kepala sehingga menciptakan drama 😀

lalu sekarang, kecintaan saya pada perjalanan sedang diuji. perjalanan tak hanya soal hal-hal menyenangkan seperti layaknya tamasya, bukan? perjalanan sepaket dengan debu, asap kendaraan, bau sampah dan selokan, dan kalau di jakarta, sepaket dengan macet.

dan mengeluhkan macet itu seperti membuang energi percuma, karena memang sudah begini adanya. kota ini seperti menderita menyakit jantung stadium empat, kemacetan sudah tak tertolong lagi.

yang menyakitkan dari semuanya adalah kenyataan bahwa saya tak benar-benar menyukai perjalananan, tidak sesuka yang saya kira. perjalanan tak bisa dipisahkan dari jalanan, yang sesungguhnya adalah esensi dr perjalanan itu sendiri. ironisnya, saya tak suka asap kendaraan, saya tak suka bau-bauan yang selalu bikin saya menahan nafas, dan saya tak suka macet. macet membuat saya ingin muntah. dan itu menyebalkan sekali.

mungkin saya harus lebih sering melakukan perjalanan di kota ini, mengakrabi hal – hal yang tak hanya menyenangkan, menerima jalanan itu sendiri. seperti pagi ini..


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *