Perempuan Terdampak Skizofrenia Menumbuhkan Kehidupan

Lukisan Pohon Kehidupan dari peserta Kelas Jurnalisme Warga bersama Perempuan Rumah Berdaya. Foto: Teja Artawan.

Hindu, anggota Rumah Berdaya-Kelompok Peduli Skizofrenia Indonesia (RB-KPSI Simpul Bali) menggoreskan kuasnya dengan gambar sebuah pohon. Di antara pohon ada teks: Kami Berbicara Kami Mendengar.

Kanvas ini direspon oleh seluruh peserta Kelas Jurnalisme Warga: Ekspresi ODGJ pada 17 Januari 2020 di sekretariat RB. Tanpa disangka, yang pertama kali maju adalah Made, perempuan paling pendiam. Ia melukis sebuah gambar matahari. Disusul Wayan yang membuat gambar burung.

Dilanjutkan dengan seorang ibu yang mendampingi anak laki-lakinya dengan tekun memulihkan diri, Ketut Mentari. Ia membuat goresan rintik hujan. “Menumbuhkan kehidupan,” serunya riang.

Intan menambahkan kanvas dengan bunga rumput di tanah, dan dua anak perempuan yang ikut ibunya, Thalita dan Gung Gek Arita meramaikan sampai lukisan penuh di kanvas dengan awan, burung, dan lainnya.

Budi Kuswara merespon lukisan ini sebagai fenomena tumbuhnya kehidupan, tak hanya ditumbuhkan dari sesuatu yang bersih, tapi juga hal kotor seperti tanah, pupuk hewani. Hal itulah yang memupuk kesuburan, yakni kesehatan. “Analogi tumbuhan bisa berkembang dan berbuah, vitamin yang dianjurkan,” serunya.

Mengisi kanvas bersama. Foto: Gus Agung.

Kelas Jurnalisme Warga untuk perempuan yang terdampak ODS baru pertama kali dilaksanakan. Kegiatan ini adalah bagian dari program beasiswa kepemimpinan untuk jurnalis perempuan, Citradaya Nita dari Pusat Pengembangan Media Nusantara (PPMN).

Pertemuan pertama ini berlangsung guyub. “Masih banyak yang merasa punya keluarga mungkin malu. Kalau di sini kan sesama, merasa ada teman seperti saya. Kenapa harus malu. Ada teman, oh ternyata tidak saya saja,” Ketut Mentari dan Sri bersahutan di sesi saling merekam cerita perjuangan mereka. Selain itu, mereka diajak menulis sebebasnya di sebuah buku harian yang bisa dibawa pulang.

Nyoman Sudiasa, Koordinator RB mengajak berpendapat dengan bebas. “Tidak ada yang tabu dibicarakan di sini,” ingatnya. Pria yang juga ODS dalam kondisi makin stabil ini mengingat Balebengong pernah mengadvokasi hak jaminan kesehatan ketika asuransi daerah di Bali, Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) sudah tak berlaku akibat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan. “Bantu RB fasilitasi menghubungkan ke Dinsos sehingga semua dapat JKN,” katanya. Diskusi tentang advokasi JKN dimulai di sini.

Setelah itu Anton Muhajir, Pemred Balebengong memulai diskusi dengan pertanyaan, apa yang diketahui tentang pekerjaan wartawan? Ia meminta semua orang menulis atau menyampaikan pendapatnya tentang fungsi wartawan, dan di mana fungsi kita sebagai warga. Sejumlah jawaban yang terkumpul adalah berita menceritakan penjahat, caleg, berita baik, banjir, bunuh diri, penculikan anak, dan lainnya.

Selanjutnya Anton memperkenalkan media jurnalisme warga, Balebengong. Secara verbal, Balebengong mudah ditemukan di Bali sebagai sebuah tempat duduk, ngobrol, terbuka, tanpa diskriminasi, dan setara. “Siapa pun silakan datang dan menulis di Balebengong. Semua berita apa saja, karena sejak 2007 diisi oleh berbagai latar warga seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, seniman, PNS, dan lainnya.

“Bagaimana bapak ibu melihat media memberitakan ODS?” Anton kembali memantik pertanyaan kedua.

Mentari mengatakan senang ada pemberitaan terkait ODS, sehingga bisa baca sikapnya. “Beritanya sudah cukup bagus,” ujarnya membaca berita tentang RB, komunitas pemberdayaan dan psikososial ODS di Denpasar.

Ema membaca berita ODS di medsos seperti Fb, terutama grup KPSI Bali. Intan, seorang ibu dan blogger yang ikut kegiatan ini juga mengaku baru pertama kali tau tentang skizofrenia dan baru tahu ODS bisa sembuh.

Curhat dan berbagi cerita perjuangan. Foto: Teja Artawan.

Nyoman Sudiasa menyebut lebih banyak cari berita di online, Fb, dan IG. Ada beberapa materi yang ada manfaatnya, seperti sharing atau edukasi gangguan jiwa, karena itu fisik otak yang bisa pulih. Di satu sisi ada yang tak paham, buat lucu-lucuan, seperti meme stigma. “Meruntuhkan perjuangan kami KPSI yang menghilangkan stigma ODGJ. Saat pilkada, Pemilu banyak meme pelecehan pada ODGJ,” keluhnya. Padahal ODS berhak memilih dan dipilih. Menurutnya ini bisa memicu bunuh diri.

Ia mengatakan, kawan-kawannya sedang terus berupaya pulih. Sementara RB bukan rumah sakit atau tempat berobat, tapi di sini ada perawat yang bantu mengambilkan obat di RSUD Wangaya. Pasien sendiri yang mengurus rujukan sampai RS Wangaya.

Diskusi berikutnya beranjak ke isu apa yang dihadapi terkait ODS? Apa masalah dan tantangan sehari-hari? Seorang ibu langsung bercerita tentang perjuangannya.

“Anak saya sakit 2010, lari ke magic terus sampai lelah. Saya telp teman gereja, ada dokter psikiater. Bertahun kayanya mata saya kok tertutup, Jogja, Solo ke mana-mana ngobatin anak. Ngamuk terus. Sabtu minggu tidak praktik, obatnya habis. Saya sering dipukul anak, marah. Pas masuk RB, dia ngamuk bukan main. Telp polisi, saya nitip anak saya saking bingung. Tak teratasi marahnya. Titip sampai 5 hari. Polisi minta saya emput anak, “bu, jemput anaknya, ini bukan tempat berobat, banyak yang bermasalah. Ibu ke Dinsos.” Saya cerita dan dikasi alamat RB. Saya sempat ingin mengakhiri hidup. Terima kasih, RB. Dia sekarang bisa lebih baik.”

Disusul cerita lainnya.

“Saya bermasyarakat 300 KK di banjar, pasemetonan 250 KK. Ada yang mencemooh, mencibir, tertawa, tiang pasrah dan hadapi. Berobat ke dokter dikasi obat tidur, pasien diajak ngobrol. Pacar saya baca FB, katanya lebih baik ke RB. Obat saja tidak sembuh, harus isi waktu. Sampai sekarang saya ke sini. Dulu masalah keluarga, ndak kuat saya.”

Cerita lain pun mengalir dari ibu yang setia mendapingi suaminya.

“Sakit 2001, dulu waktu pertama berobat ke RS Sanglah, berobat seminggu dapat opname, sudah boleh pulang. Kontrol lagi, sudah baikan kadar obat diturunkan. Kok malah melonjak, kambuh. Diajak berobat ke balian, melukat ke Sanur, saya ajak pulang kampung. Tambah parah, ngamuk, saya dan anak dipukuli. Takut. Ada saudara menganjurkan ajak ke RS Bangli, seminggu dirawat, saya tungguin. Nginep numpang di sana, ada orang baik ngajak saya, anak saya waktu itu baru 2 tahun. Sudah dibilang baikan, tidak berani putus obat. Pulang kontrol ke dokter, obatnya mahal. Tiap minggu kontrolnya, saya buruh jahit sambil ngemong anak. Disuruh kontrolnya di Wangaya. Belum ada surat miskin, obatnya 500 ribuan. Disuruh ngurus surat miskin, berangsur membaik, bisa kontrol sendiri, ketemu dr Rai. Tiap minggu diajak ketemu, ngobrol, ngumpul-ngumpul. Saya bersyukur keluhannya bisa dibicarakan. Kalau di rumah kelihatan lain, tidak nyapa. Saya tak mau ngelawan. Dulu kerja nganter gas, kadang kerja kadang gak. Sebulan tak kerja, tak pulang. Lihat-lihatin ya. Saya tak pernah marahin, saya diam. Mungkin dia tahu, kalau diam saya marah. Syukur seperti ini sekarang, sudah ada kemajuan, stabil tetap minum obat, dan bantu sesamanya.

Kisah lain dari ibu yang menemani anak laki-lakinya. “Anak saya awalnya dia diam, 2017 seperti orang bingung. Malam tidak tidur, menyalakan dupa, sembahyang, om nawa siwaya. Kok terus sembahyang. Tidak tidur 3 hari, dikasi obat agak mendingan. Ditinggal kakaknya menikah, bengong, ketakutan, ada suara. Kontrol lagi, kambuh seperti orang stres, lempar kaca. Ke hipnoterapis, dilukat, tenang sebentar tapi pernah ambil kaca. Takut saya mau mengiris tangannya. Disuruh ke RSJ Bangli, bukannya tambah parah? Tak mau diajak keluar, ketakutan. Ayo ke kantor main PS. Turun di UGD Sanglah. Disuntik, opname seminggu. Keluar agak tenangan, kontrol di Wangaya. Saya coba konsultasi ke RB biar ada teman, daripada tidak keluar rumah. Ketakutan. Bapaknya jarang di rumah, saya yang ngurus. Disuruh mecaru, dimarahi. Pindah dokter ke Wangaya, pakai BPJS, disarankan ke RB. Ada yang membimbing, terus minum obat, dia sudah baca-baca.”

Anton melanjutkan dengan memantik pertanyaan, “apakah cerita-cerita seperti ini bisa dibaca di media?

Selain curhat tatap muka, juga menuliskannya di buku harian.

Ia mengatakan semua punya cerita yang bagus, dan yang ingin kita lakukan agar cerita seperti ini bisa muncul di media. Agar jadi terapi. “Kita melepaskan sesuatu, kita ingin cerita, curhat. Menulis selain terapi, juga pembelajaran. Ada perjuangan berat, cerita semacam ini muncul lewat tulisan, rekaman, atau video. Tujuan hari ini semua orang bisa cerita, menjadi pelajaran bagi orang lain,” ajaknya.

Tembok RB yang jadi layar proyektor menayangkan contoh tulisan dari seorang ibu rumah tangga di Balebengong pada 2013 yang sampai kini terus direspon dan jadi rujukan warga lain yang memiliki anak dengan autisme. Artikel panjang dari pengalaman Ivy ini jadi pelajaran buat orang lain, judulnya “Anak saya autis, tapi dia anugerah.” Bahkan Ivy dipercaya sebagai rekan konsultan menghadapi autisme. Hal yang sama sangat mungkin terjadi jika banyak yang berbagi pengalaman sebagai perempuan menghadapi masalah ODS.

Dua psikiater, dokter spesialis kedokteran jiwa yang memfasilitasi psikososial di RB-KPSI Bali hadir dalam Kelas Jurnalisme Warga ini yakni dr Yudhi yang bertugas di RSJ Bangli dan dr I Gusti Rai Putra Wiguna di RSUD Wangaya. Keduanya praktik di rumah sakit dan klinik kesehatan jiwa lainnya.

Dokter Rai yang sejak awal merintis RB sampai kini mengingat salah satu kegiatan awal RB adalah kelas jurnalisme warga tentang bersuara melalui video ponsel. Menurutnya Bali masih tertinggi dalam jumlah ODGJ berat menurut Riskesdas 2018. Jumlahnya sekitar 11/1000 rumah tangga, jadi ia berharap pengidap dan keluarga dengan ODGJ jangan merasa sendiri. “Cukup banyak, jumlahnya bisa sekitar 11 ribu. Kenyataan yang berobat tidak banyak,” sebutnya. Contohnya di Denpasar ada sekitar 520 nama dan alamat jelas. Disusul Karangasem dan Klungkung. Rata-rata nasional ODGJ berat di Indonesia adalah 7/1000 rumah tangga.

Jika dalam kasus pecandu narkoba, ada BNN, ada rumah sakit. Maka dalam kasus gangguan Skizofrenia sama, tapi tak seperti darurat narkoba. Tema kelas jurnalisme warga ini perempuan, dan penelitian menyebut jumlah pengidapnya seimbang. “Laki-laki lebih parah, lebih mudah mengidap dan tingkat pemulihan perempuan lebih besar. Kalau mau serius memberdayakan, peluangnya jauh lebih besar. Kesulitannya budaya kita di Bali, wanita berumah tangga dengan gangguan jiwa boleh diceraikan. Sulit mau kembali ke rumah dan tidak jelas siapa bertanggungjawab kalau dikembalikan dari Bangli. Pemulihannya perlu perhatian,” papar Rai.

Kelahiran Rumah Berdaya oleh KPSI Simpul Bali

Dokter Rai berefleksi dari kelahiran Rumah Berdaya. Siklusnya panjang, menemukan kasus, edukasi kesehatan, baru layanan integratif. Ketika jaminan kesehatan daerah terhenti (JKBM), mereka putus layanan. Untuk mendapat akses pengganti JKN, hal ini diadvokasi ke Dinsos, anggota RB bersuara sehingga dapat KIS.

RB digawangi KPSI Bali pada empat tahun lalu, sekitar 2016. Saat itu semuanya laki-laki, kecuali psikolog. “Rencana saya bukan skizofrenia, karena kurang mau diobati, keluarga juga tidak mau. Berobat semampunya, pasti jadi miskin karena obat mahal sekali,” ingatnya saat itu.

Namun rasa frustasinya menjadi harapan baru. Ini karena di gang sebelah rumahnya ada seseorang yang dikurung karena gangguan jiwa, ibunya bekerja keras mengurus 3 orang disabilitas. “Itu mengubah pengetahuan saya. Saya kira dipasung hanya terjadi di Buleleng, Karangsem karena tidak ada rumah sakit, obat tidak dapat. Ini di Denpasar, sebelah rumah saya. Jarak Puskesmas dan RS dekat sekali. Apa gunanya saya sekolah?” Rai bertanya pada dirinya.

Persebaran skizofrenia di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar Kemenkes 2018. Diolah: Katadata.co.id

Ia pun mulai membantu keluarga miskin ini. Awalnya dengan bantuan obat seharga Rp60 ribu, eh besoknya depan rumahnya ada sekantong sayur. “Saya pakai alasan mendatangi ibu itu. Besoknya ada rantang depan rumah. Saya berpikir ini pengalaman luar biasa, semestinya saya mulai membantu dari yang terdekat,” lanjutnya. Ia pun berlanjut dengan mengajak keluarga ini akses layanan Puskesmas.

Sampai akhirnya kini ada 3 Puskesmas yang siap memberi layanan pada gangguan jiwa ke rumah warga. Ia mengatakan RB berdiri karena upaya keluarga, dokter hanya fasilitator. Walikota Denpasar pun menurutnya responsif.

Awalnya sulit minta audiensi, sampai video Wayan, ODGJ yang dibantunya menyebar, ia pun dipanggil ke kantor Walikota. Saat itu datang ibunya Wayan, dan keluarganya Hindu. Wayan bahkan bisa mengembalikan kursi roda setelah bisa jalan. Ia pun menyampaikan kebutuhan RB mendapat tempat berkegiatan. Sebelumnya pertemuan psikososial dilakukan di lapangan atau di rumah seorang seniman, Budi Kuswara, yang mendampingi kegiatan ekspresi melalui seni. Akhirnya diberikan sebuah lokasi kantor Pramuka di Jl Hayam Wuruk, Denpasar. Dari sana dibangun layanan pemberdayaan untuk ODS.

Satu demi satu ODS diantar keluarganya datang, mengikuti sejumlah kegiatan seperti membuat sabun, jasa cuci motor, sablon kaos, dan berkebun. Seluruh kegiatan memiliki filosofinya. Misalnya menjual dupa.

Banyak orang menyebutkan orang dapat terkena skizofrenia karena kutukan, juga jarang sembahyang. Sebaliknya, para ODS justru memproduksi dupa agar mengajak seluruh umat rajin sembahyang. Ketika banyak yang mengatakan ODS jarang mandi, mereka justru membuat sabun. Berikut kisah dupa anti stigma itu.

Minimnya kehadiran perempuan

Dokter Rai melihat kembali foto-foto dokumentasi RB, dan menyadari foto perempuan ODS tidak ada. Menurutnya selain minimnya kehadiran perempuan, ini bisa juga jadi bukti jika perempuan lebih cepat pulih.

RB juga bukan rumah singgah untuk mereka usai dari RSJ. Kebalikannya, dilayani di RB dulu di sini, kalau tak bisa ditangani baru ke RSJ. “Sebagian malah dari rumah. Idenya day care rehab. Tidak menginap agar tidak dianggap dibuang keluarga. Memberdayakan melalui penguatan komunitas konsumen kesehatan jiwa. Anggaran kesehatan kecil apalagi kesehatan jiwa. Di sini sinergi,” paparnya.

Syarat rehabilitasi di RB, pertama, memang skizofrenia dan sedang dalam pengobatan teratur. Kedua, keluarga setuju untuk ikut datang psikoedukasi setiap 2 minggu sekali. Ada assesment potensi saat terapi. Rai menyontohkan salah satu ODS, saat pertama ikut asesmen, dikasi foto keluarga, lalu digambar lagi dengan tangannya foto pernikahan orangtuanya pada 1982 itu. Masalahnya diidentifikasi, berkaitan dengan pernikahan ortu. Ia kini makin stabil setelah aktif di RB, cakap menyablon, dan mengajari warga RB lain untuk nyablon.

RB menggunakan minat saat kelompok sesi sosialisasi, misalnya lewat ekspresi seni, terapi bermain, musik dan bernyanyi, olahraga, dan keterampilan sosial. “Kelompok berkarya juga lebih banyak laki-laki. Untuk perempuan tidak ada. Petugas ada perempuan, kami mengusulkan ODS perempuan yang stabil bisa diangkat jadi honorer mengikuti 4 laki-laki yang sudah diangkat,” harapnya.

Setelah 3 tahun RB, kini fasilitas dan ruang ada, mereka bisa bersuara. Tantangan lainnya adalah anggaran menjemput ditingkatkan agar lebih banyak perempuan yang bisa datang ke RB. “Yang dapat beban juga keluarga. Yang disalahkan ibu. Seolah yang buat sakit itu ibunya. Kebanyakan yang anter jemput ibunya,” kata Rai melihat pentingnya peran perempuan.

Ia mengajak peserta kelas untuk bicara dan menyampaikan pendapat agar tak dominan laki-laki. Karena di area sosial kemasyarakat pun perempuan terdiskriminasi. “Hak waris tidak ada kalau kembali ke rumah, bayar BPJS saja tidak bisa. Agar tak terus dipinggirkan atau ditunggu meninggal. Saya bilang ke keluarganya untuk diurusin, mereka jawab, tenang dok, kalau meninggal saya ngabenin. Orang Bali lebih peduli saat meninggal, dibanding saat hidup. Tolong perbaiki kamarnya dulu,” Rai mengingat pengalamannya berinteraksi dengan keluarga ODS.

Dukungan keluarga penting dilakukan tiap 2 minggu, dengan koordinasi dan pertemuan. Ia menyimpulkan sayarat pemulihan adalah dukungan dan sikap keluarganya.

“Suarakan agar masyarakat tahu, skizo bukan hanya dipasung lalu dilepas. Tapi ada beban lainnya yang harus ditangani. Disabilitas mental baru ada 1 PNS di Jakarta. Di Bali masih honorer,” pinta Rai.

Menurutnya cerita-cerita pengalaman dari perempuan bukan aib tapi malah membuat orang lain ikut bangga dan belajar.

Banyak kegiatan kolaboratif yang dihelat sebagai bentuk dukungan bagi ODGJ lewat RB. Misalnya Moringa Project with Solemen, mengajak nanam bibit kelor, pasien yang panen, lalu kelor diekstrak dalam kapsul untuk dijual. Pada awal 2020, RB dikunjungi Menteri Kesehatan, dan warga RB pun membuat spanduk menarik untuk mengingatkan pentingnya dukungan bagi kesehatan jiwa bertuliskan “Selamat datang Menteri Kesehatan Jiwa dan Raga.”

“Yang menentukan nasib adalah bapak ibu, saya hanya membantu. Kita tak bisa gantungkan diri pada pemerintah, walau tugasnya. Kita bisa baik kalau mau. Kalau sedih, diam. Tanda kehidupan itu bergerak, bersuara. Ceritakan yang benar kita alami,” ajaknya.

Ia juga terus belajar, misalnya harus minta persetujuan ODGJ sendiri selain keluarganya dalam pemberian layanan. Ia menyontohkan jika pasien diam-diam dipasangi kontrasepsi, termasuk kekerasan. Tantangan ke depan lainnya mencegah pelecehan seksual di RB dan bagaimana antisipasinya.

Dr Yudhi berbagi pengalamannya melayani rehab psikososial di RSJ Bangli, di sana perempuan diajak membuat canang, dan laki-laki buat batako.

“Bertugas di RSJ, kadang putus asa, lihat pasien dia lagi dia lagi. Saya melanjutkan layanan dan ikut RB,” sebutnya. Lebih banyak fakta yang terus perlu diedukasi, misalnya menghadapi kalau kambuh. Jika di RSJ, pasien ikut jadwal teratur, sementara kalau di rumah tak ada yang menyediakan, ini bisa memicu kekambuhan. “Kalau perempuan yang diceraikan, ada yang kambuh, dapat pelecehan seksual, hamil, tak diakui anaknya. Banyak yang tak terekspos. Sangat tergantung keluarga, kalau peduli jadi baik. Kalau lelah, kambuh, tempat pengobatan jauh, kambuh lagi. Kambuh di jalan, psikoaktif. Inti gangguannya di sana, bukan karakternya,” paparnya.

Budi Kuswara, seiaman yang memfasilitasi berbagai kegiatan ekspresi seni berbagi pengalaman bekerja dengan seni komunitas. Ia aktif memfasilitasi KPSI Bali 3 tahun lalu. Misalnya lewat projek foto keluarga, ODS biasanya dianggap lain di keluarganya. Menurutnya perlu ditangkap pengalaman interaksi perempuan diberdayakan di rumah. Porsi pekerjaan di rumah, dan aktivitas bantu pekerjaan di rumah. “Jumlah anggota RB perempuan sangat sedikit. Kalau punya keahlian kreatif, akan jadi nilai tambah hadapi situasi yang dihadapi,” ujarnya.

Nyoman Sudiasa menyebut saat ini masalahnya penjemputan. Perempuan yang pernah datang ke RB tidak ada yang anter jemput, karena tidak ada keluarga atau sibuk kerja di rumah. Sejak pindah ke Sesetan, RB mendapat anggaran untuk fasilitas makan siang, tak banyak tapi cukup membantu, misalnya beras dianggarkan 1 kg/hari. Kurang dari rata-rata 25 orang yang datang. Sementara tiap hari, tukang masak bisa menghabiskan sekitar 3 kg beras. Termasuk air minum, dianggarkan satu galon, kebutuhannya 2 galon.

Ia berharap keluarga tahu, dari kegiatan produksi seperti dupa dan kaos, keuntungannya untuk biaya operasional, tak bisa langsung bagi ke anggota RB. “Sudah disampaikan ke Kepala Bidang. Tolong suarakan, saya staf Dinsos. Sulit bicara. Termasuk penjemputan, karena anggaran kurang tak bisa semua,” jelasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *