Penguatan Etika Dan Medicolegal Dalam Menunjang Pelayanan Kesehatan Yang Profesional

Catatan kecil (sebelum notulen resmi jadi) tentang Saresehan Nasional Ikatan Dokter Indonesia hari Kamis, 11 Mei 2017 di Sandeq Ballroom, Hotel Grand Clarion, Makassar, Sulawesi Selatan, dengan tema : Penguatan Etika dan Medicolegal dalam menunjang Pelayanan Kesehatan yang Profesional, dengan 5 orang panelis :

1. Prof. DR. Dr. Andi Ashadul Islam, SpB, FICS (Dekan FK UNHAS).

Sebagai Ketua AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia) yang mengkoordinir 83 FK se Indonesia, penguatan Etika dan Medicolegal harus dilakukan mulai dari para dosen FK terlebih dahulu yang harus diberi pemahaman berulang. Selain itu, biaya kuliah di FK yang mahal dapat berpotensi menjadi pemicu terjadinya pelanggaran Etika dan Medicolegal, termasuk fraud dalam Pelayanan Kesehatan. Untuk itu, seharusnya pelatihan medicoetikolegal untuk para dokter dan dosen adalah gratis dan dilakukan berulang. Selain itu, sistem remunerasi jasa medis dokter seharusnya diberlakukan, karena akan membuat para dokter akan bekerja bersama dan menekan terjadinya rebutan pasien.

2. Prof. Dr. Abdul Kadir, SpTHT-KL, PhD, MARS (Direktur Utama RS Kanker Dharmais Jakarta).

Sebagai Wakil Ketua Asosiasi RS Pendidikan Indonesia (ARSPI), menekankan bahwa RSPI juga berperan penting dalam ikut mendidik calon dokter, bukan hanya oleh 84 FK di seluruh Indonesia, tetapi juga oleh 324 buah RSPI. Namun demikian, saat ini hanya ada 82 buah RSPI yang telah terakreditasi dan yang lainnya belum. Aturan akreditasi memang sulit ditegakkan, terutama syarat SDM dosen banyak yang tidak terpenuhi oleh RSPI, pembiayaan operasional RSPI yang berasal dari FK tidak memadai, dan jumlah kasus maupun variasi pasien sebagai wahana pembelajaran juga kurang. Oleh sebab itu, cukup sering terjadi bahwa kepentingan pasien justru dikalahkan oleh kepentingan dokter, sopan santun dan etika tidak ditunjukkan oleh para ‘role model’ dosen di RSPI, terutama pola hidup dokter di RSPI yang ‘konsumtif’, tentu bukanlah menjadi contoh yang baik dan berpotensi terjadi pelanggaran medicoetikolegal.

3. Brigjen. Pol. Drs. Gatot Eddy Pramono, MSi (Wakil Kapolda Sulsel).

Pada 20 Januari 2017, telah ditandatangani MoU antara Kapolri dan PB IDI yang isinya mencakup proses tukar informasi, pembinaan (litbang), penyuluhan, operasional. Kerjasama antara Polri dan IDI dalam semua jenjang di seluruh Indonesia sudah lancar, termasuk dalam proses rekrutmen anggota Polri, operasional pelayanan kesehatan, praktek kedokteran termasuk kelengkapan SIP dokter, bantuan keamanan dalam bencana atau daerah sulit, dan penegakan hukum, terutama dugaan malpraktek dokter, terkait kelalaian seseorang yang menyebabkan orang lain meninggal dunia, sesuai pasal 359 KUHP. Namun demikian, sosialisasi MoU antara Kapolri dan PB IDI belum luas dan sebaiknya dilakukan juga oleh IDI kepada anggota Polri, termasuk para penyidik kriminal umum dan khusus, agar terjadi persepsi yang sama antara dokter dan polisi, terkait pelanggaran medicoetikolegal oleh dokter.

4. Dr. Jan Samuel Maringka, SH, MH (Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel)

Sebagai sesama profesi, dokter dan jaksa memiliki dan harus mematuhi kode etik. Data di Kejaksaan Agung terdapat 388 perkara tentang kesehatan termasuk pelanggaran medicoetikolegal oleh dokter, 294 kasus masih dalam proses sidang. Terdapat 23 perkara pelanggaran medicoetikolegal sepanjang tahun 2016 di Sulsel, terutama terkait penggunaan hak masyarakat yang semakin nyata. Namun demikian, proses penegakkan hukum bukanlah industri, yang berhasil bila produknya banyak. Sebaliknya, turunnya kejahatan dan perkara, termasuk pelanggaran medicoetikolegal oleh dokter, tentu saja justru lebih baik. Selain itu, juga peningkatan kesadaran akan hak hukum semua pihak, agar semakin baik. Saat ini, penindakan kasus perdata dan tata usaha negara, bukan pidana, merupakan unggulan kegiatan kejaksaan, terutama dalam pencegahan korupsi, termasuk yang dilakukan oleh para dokter. Perlu diketahui bahwa, proses pidana di kejaksaan untuk kasus tersebut tidak ditunda, meskipun dokter sedang dalam proses penyelidikan etika. Oleh sebab itu, sebaiknya MoU dilakukan IDI juga dengan para jaksa dan hakim, bukan hanya dengan Polisi.

5. Andi Purwana (Deputi Pencegahan Gratifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

KPK masuk ke sektor kesehatan dalam hal penindakan dan pencegahan tindakan korupsi. Hal ini bermula pada tahun 2015 terkait mahalnya biaya kesehatan di Indonesia, yang dilakukan dengan mencari potensi fraud, terutama tentang tata kelola obat, harga obat yang mahal dan polifarmasi yang dilakukan oleh para dokter. Di KPK, kalau sebuah kasus tidak masuk dalam ranah pidana, oleh KPK akan dikaji dalam aspek pencegahannya. Sektor kesehatan adalah cukup penting selain sektor pangan, terutama karena telah disediakan anggaran sektor kesehatan yang sudah mencapai 0,5% atau Rp. 100 T dari APBN, sehingga perlu dicermati. Selain itu, aspek sponsorship untuk pendidikan berkelanjutan (P2KB) oleh dokter tentu tetap diperbolehkan, tetapi mekanisme pemberiannya yang perlu diatur, karena berpotensi menjadi pemicu terjadinya pelanggaran Etika dan Medicolegal. Diingatkan bahwa sponsorship untuk biaya registrasi dan akomodasi P2KB, khusus untuk dokter saja, seharusnya diberikan tidak dalam bentuk uang. Hanya honorarium dokter sebagai seorang pembicara atau moderator P2KB yang boleh berbentuk uang. Sponsorship harus dilaporkan (declear) secara transparan dan akuntabel.

6. DR. Dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K) Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).

MKEK pada kepengurusan PB IDI adalah benteng etika profesi dokter dan telah menentukan bahwa setiap kegiatan P2KB harus ada materi Etika dan Medicolegal, sebagai syarat pemberian SKP IDI. Devisi pada MKEK meliputi penyidangan, pembinaan dan fatwa. Sebenarnya etika adalah turunan dari sumpah dokter dan masalah pelanggaran etika biasanya bermula dari buruknya komunikasi, karena dokter berubah dari peran ‘healer’ menjadi sekedar ‘tukang’ tanpa etika. Oleh sebab itu, menurunkan masalah pelanggaran etika oleh dokter, adalah tujuan MKEK.

Dengan menyadari bahwa biaya pendidikan dokter adalah mahal, seharusnya proses ini diambil alih oleh negara, seperti pada pendidikan untuk tentara dan polisi, sehingga dokter dapat ditempatkan di manapun di seluruh Indonesia oleh negara. Pendidikan dokter tetap dapat dilakukan di FK swasta, tetapi ‘pembelinya’ tetap hanya 1, yaitu negara, bukan masyarakat, agar pendidikan dokter tidak akan menjadi sebuah industri. Dengan penyelenggaraan pendidikan kedokteran dikembalikan kepada negara, diharapkan pelanggaran etika oleh dokter akan dapat ditekan.

Selain itu, aspek kematangan psikologis seharusnya menjadi persyaratan calon mahasiswa FK, bukan sekedar kemampuan intelektual, untuk mencegah terbentuknya dokter yang psikopat dan berpotensi melanggar etik. Bahkan ‘bulliying’ pada proses pendidikan spesialisasi kedokteran yang tetap terjadi di banyak tempat, harus dihentikan karena berpotensi terjadinya bibit pelanggaran etika dan hukum pada calon dokter spesialis.

Diskusi :

Secara pribadi, Prof. DR. Dr. Andi Ashadul Islam, SpB, FICS sebagai Dekan FK UNHAS dan FK UNHAS menolak program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP). Sebagai Ketua AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia) beralasannya karena mengurus pendidikan kedokteran saja AIPKI sudah kewalahan, apalagi kalau ditambah dengan mengurus pendidikan DLP. Mengenai kasus banyaknya FK yang belum terakreditasi A, perlu diingat bahwa yang berhak memberikan ijin dan menutup FK tersebut bukan AIPKI, tetapi AIPKI hanya merekomendasikan saja. Namun demikian, AIPKI bertanggungjawab untuk memperbaiki mutu semua FK.

Terkait pendidikan dokter (terutama dokter spesialis) yang mahal dan usulan penyelenggaraan pendidikan dokter dilakukan oleh negara, sebenarnya terdapat kontradiksi, karena banyak dokter yang tidak berminat mengambil beasiswa yang disediakan oleh negara dalam jumlah memadai. Ternyata hal ini disebabkan karena para dokter tidak bersedia ditempatkan ke daerah. Dengan demikian, perlu ditekankan bahwa pendidikan dokter, termasuk dokter spesialis sebenarnya tidak mahal, kalau dokter bersedia mengabdi di seluruh negeri, sehinngga potensi pelanggaran medikoetikolegal oleh para dokter dapat ditekan.

sekian
Dr FX Wikan SpA
Maksar 11 mei 2017


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *