Halo pembaca, senang sekali saya dapat bertemu setelah cukup lama vakum di dunia tulisan. Rasa bahagia yang tak terhingga saya rasakan hari ini, karena saya dapat bertemu pembaca sekalian. Dalam tulisan ini, saya ingin menceritakan kekecewaan saya yang hidup sebagai penyandang disabilitas.
Yang saat ini memang harus diluruskan peraturan dan perundang-undangannya. Saya rasa, ini memang harus ditindaklanjuti oleh seluruh stakeholder terkait agar peraturan provinsi ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Di dalam sebuah regulasi, sepatutnya seluruh rakyat dan pemimpinnya harus mematuhi semua peraturan yang sudah tertulis. Namun saya sangat kecewa dengan keadaan yang saya alami. Bukan hanya saya pribadi, mungkin para penyandang tunanetra lain juga akan teriris hatinya mendengar argumen lucu dan menyakitkan ini. Saya rasa orang yang berargumen ini tidak berempati.
Pada 10 juni 2022, saya seperti biasa pulang ke kampung halaman untuk bertemu keluarga dan salah satu tujuannya adalah pergi ke pura di desa tempat saya tinggal yang sedang diadakan Karya Agung. Saya mendapat kabar serta statement yang membuat hati dan dada saya bergejolak. Pernyataan itu adalah, saya, seorang tunanetra yang sudah biasa bersembahyang di pura ini, tidak diizinkan untuk bersembahyang karena sedang ada karya besar. Alasannya tidak saya sebutkan di sini karena menyakitkan.
Ternyata, keluarga saya melihat di pura ada disabilitas beribadah di pura hari itu. Ini yang membuat keluarga saya dan saya sendiri bertanya, kenapa? Kenapa saya saja yang dikecualikan untuk pergi ke pura? Niat tulus untuk beribadah hanya dibayar dengan statement tidak beralasan oleh seorang oknum yang kurang paham aturan agama. Saya pun terpaksa bersembahyang saat pura sepi.
Saya rasa ini tidak masuk akal. Dalam Peraturan Daerah (PERDA) Bali No 9 Thaun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas disebutkan, setiap disabilitas dibebaskan memenuhi haknya dalam pelayanan publik termasuk beribadah. Seluruh disabilitas memiliki hak untuk beribadah sesuai agamanya.
Itu artinya, acara apapun yang diselenggarakan di tempat ibadah, tanpa terkecuali, para disabilitas termasuk disabilitas netra juga memiliki hak untuk ikut merasakan kekhusyukan beribadah di tempat ibadah masing-masing. Nah, di sini saya mohon dengan sangat, kepada seluruh stekholder terkait, untuk meluruskan peraturan ini agar seluruh sanksi bisa dijalankan. Saya harap, pembenahan-pembenahan untuk peraturan daerah maupun provinsi yang dikhususkan untuk hak disabilitas selalu berjalan dan ditinjau setiap perkembangannya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, bagi oknum yang merasa merendahkan disabilitas, jangan terpancing emosi, segeralah perbaiki perlakuannya, dan silahkan lihat Perda Bali tentang perlindungan disabilitas di laman ini.
The post Pengalaman Dilarang ke Pura appeared first on BaleBengong.id.
Leave a Reply