Pembebasan Sandera dan Teror di Perbatasan

Kendati penanganan sandera kini telah tuntas, kelompok teroris Abu Sayaff tetap harus diwaspadai. Para teroris hingga kini masih menyandera sejumlah warga asing, baik dari Malaysia, Kanada, Norwegia, dan Belanda. Dunia masih menahan napas dengan kelanjutan penyanderaan oleh kelompok radikal yang memberontak terhadap pemerintahan Filipina sejak 1970-an, yang telah memakan korban hingga 100.000 orang ini.

Di Tanah Air pembajakan di perairan Filipina 26/3 tersebut menjadi pemberitaan yang sangat mencekam. Karena peristiwa ini menyangkut perbatasan tiga negara, Presiden Joko Widodo mendukung penjajakan patroli bersama Malaysia-Filipina-Indonesia. Televisi mewartakan berulang-ulang isak tangis haru bahagia dan syukur keluarga sandera yang dibebaskan. Namun, mereka mengaku trauma oleh teror yang mereka alami.

 

Lari ke hutan

Sesungguhnya, teror dan tindakan kekerasan di perbatasan Indonesia bukan kali ini saja terjadi. Indonesia, negara kepulauan dengan lebih dari 13 ribu pulau, memiliki 92 pulau terluar, dan 31 di antaranya adalah pulau berpenghuni. Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, adalah salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan laut Filipina dan Malaysia. Mencapai Maratua, dari ibu kota kabupaten, saja harus menempuh jarak laut tak kurang dari 100 km. Dengan kapal cepat memakan waktu 3 jam, atau 11 jam dengan kapal kayu, tergantung gelombang laut.

Sebagai fasilitator pulau-pulau kecil terluar dari Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) bekerjasama dengan Destructive Fishing Watch (DFW), saya sempat tinggal bersama warga Maratua selama delapan bulan. Dari mereka saya mendengar kisah-kisah teror dan mengalami langsung kengerian yang dibangkitkan oleh isu-isu teror itu.

Maratua tak hanya sekali diguncang teror karena letaknya di perbatasan. Kacil, kurang lebih 55 tahun, nelayan Maratua menuturkan, suatu malam di tahun 1991, dalam perjalanan bersampan memancing ke kampung sebelah, tiba-tiba segerombolan orang datang, menodongkan senjata. Mereka menghardik dan memaksa agar ditunjukkan arah ke perkampungan. Kacil tak menyangka bernasib apes saat perompak yang ia yakini berasal dari Filipina itu datang dan menyanderanya. Tak punya pilihan lain, ia pun mengantarkan para perompak bersenjata itu ke kampung tempatnya tinggal, kampung Bohe Bukut (sekarang namanya Teluk Harapan).

Kedatangan para perompak tak disadari warga lain, saat Kacil datang dan berteriak, “Mundu, mundu (bahasa Bajau Maratua untuk perompak),” warga malah berbondong-bondong menyaksikan kedatangan mereka di tepi pantai, menduga Kacil bercanda.

Warga baru percaya, ketika perompak menebar teror dengan menembakkan senjata dan berkeliling rumah, memburu harta. “Mereka hanya berdelapan, dengan kapal cepat. Kapal utamanya agak jauh di laut,” tutur Nely, ibu dua anak, dengan wajah bergidik. Saat kejadian, ia masih bocah yang tak tahu apa-apa, hanya ikut lari dengan ibunya ke arah hutan. Semua warga berlarian, banyak yang tak bersandal, menerobos semak dan perdu yang tumbuh di atas batu karang.

Warga yang tak sempat melarikan diri menjadi korban perompak. Emas mereka dijarah dan bahan makanan diangkut. Seorang warga yang sempat melawan langsung ditembak di tempat. Kejadian itu hanya semalam, namun teror yang ditinggalkan masih dirasa sangat mengerikan oleh warga Maratua.

 

Korban isu

Pulau Maratua, berbatasan dengan Filipina dan Malaysia, dihuni kurang lebih 3.500 jiwa dengan luas kurang lebih 2.375 hektar, terdiri diri empat kampung, sejak tahun 1990-an berkembang menjadi resor wisata. Pemodal dari Malaysia tak sedikit yang berusaha di pulau ini. Perompakan berulang di tahun 1992, setahun setelah nelayan Kacil disandera. Para perompak menyatroni resor. Selain menggarong harta, mereka juga menggagahi beberapa wisatawan perempuan yang berada di resor.

Sejak saat itu warga Maratua lebih sigap. Ketika ada isu pulau mereka menjadi incaran perompak, mereka akan langsung mengamankan diri ke hutan, tak peduli kaki berdarah-darah menginjak batu karang tajam dan berundak.

Tak jarang isu ini dihayati berlebihan oleh penduduk kampung. Tahun 2015 lalu, sempat muncul rumor mundu akan mengobrak-abrik kampung mereka lagi. Orang-orang kampung pun bergegas mengemas barang-barang berharga untuk dibawa lari ke hutan.

Isu terjadi September 2015, diawali dengan kedatangan kapal mundu di perairan Derawan-Maratua. Isu ini cepat sekali menyebar, membuat warga panik dan ketakutan. Begitu terdengar kabar tentang kedatangan mundu, warga kampung bersepakat membentuk kelompok jaga malam yang berpatroli di dermaga dan pinggir pantai. Saban malam terlihat bapak-bapak dan pemuda berjaga di dermaga kampung. Mereka baru pulang saat fajar menyingsing.

“Paling tidak, saat mundu datang, warga bisa langsung mengamankan diri ke hutan,” ujar Naspin, kepala RT 3 kampung Teluk Harapan pasrah. Ia turut berjaga setiap malam. Saat Pulau Kakaban, yang berjarak 30-40 menit dengan kapal cepat dari Pulau Maratua didatangi kapal yang mereka duga mundu, di bulan September itu, makin kalutlah warga.

Pulau Kakaban, seperti Maratua, adalah pulau tujuan wisata. Di pulau itu tak ada orang yang tinggal, hanya ada beberapa penjaga loket yang kadang menginap. Malam itu mereka menginap dan terjaga saat sebuah kapal besar merapat. Dua orang nelayan asal Derawan yang berjaga langsung berlarian masuk hutan. Beruntung tidak ada penerangan listrik, dan keadaan gelap gulita. Sang perompak tak mengambil apa pun, bahkan tidak menyadari dua orang berlarian sambil gemetar dalam gelap.

Isu itu tersebar cepat. Warga Maratua semakin siap lari saat mundu akan datang. Bulan September berlalu, mundu yang ditakuti belum merapat di Pulau Maratua. Warga merasa agak tenang, dan sebuah pesta pernikahan di kampung Bohe Silian yang sudah direncanakan beberapa bulan sebelumnya dilangsungkan.

Seperti biasa, bila sebuah pesta digelar, warga dari kampung-kampung lain akan hadir. Nurhajija, misalnya, berangkat dari kampung Teluk Harapan malam itu bersama Jahin, suaminya. Jalanan sepanjang pulau gelap, kecuali saat melewati perkampungan. Ketika mencapai tempat pesta, lalu menikmati beberapa lagu yang disuguhkan para biduanita, dan bersalaman dengan para mempelai, tersiar kabar mundu sudah sampai di dermaga.

Tak menunggu lama, semua tamu yang hadir dari kampung-kampung sebelah menghidupkan kendaraan mereka buru-buru pulang, khawatir anak-anak yang di rumah. Ketika Nurhajija bersama suami meninggalkan kampung Bohe Silian, melewati kampung Payung-payung, warga dua kampung itu sudah menyiapkan buntelan atau tas-tas besar berisi barang-barang berharga, siap lari ke hutan. Begitu juga di kampung Teluk Harapan, semua warga awas. Kengerian merebak, anak-anak kecil dibangunkan, diajak siap lari.

Pagi tiba, mundu tidak juga kunjung datang. Warga bernapas lega. Namun tidak pernah benar-benar merasa aman atau lepas dari kengerian bahkan hanya oleh isu kedatangan mundu.

Maratua merupakan satu contoh kehidupan di perbatasan, titik paling rawan dari sebuah kedaulatan negara. Warga terbungkus kengerian sepanjang masa oleh kedatangan perompak-perompak ini di masa lalu. Masa kini? Dengkuran perompak pun dapat membuat nelayan paling tegap yang tak gentar menantang ombak, menyiapkan dirinya masuk hutan. Kapan mereka merasa benar-benar aman?

 

Dimuat di harian Bali Post, 14 Mei 2016


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *