Pada Gelahang, Sebuah Negoisasi

I Ketut Sukarta dan Ni Made Lely Nawaksari kini bisa bernafas lega. Mahkamah Agung mengabulkan putusan peninjauan kembali atas putusan pengadilan di Bali yang memvonis tak sah perkawinan Pada Gelahang (PG) pada November 2008 lalu. Salinan putusan ini belum diterima, namun telah dipublikasikan di website MA pada September lalu.

Hampir dua tahun mengikuti proses penyidikan dan sidang pengadilan, Sukarta mengaku sangat lelah. Pertama, pasangan yang tinggal di Surabaya ini shock perkawinan mereka yang sah secara adat dan dikuatkan pula dalam akte perkawinan dengan status PG diadukan oleh ibu tiri Lely.

Kedua, pasangan tiga putra dan putri ini tak mengira masalah keluarga harus diselesaikan secara hukum. “Ibu tiri istri saya menganggap perkawinan PG menyalahi aturan leluhur dan meyakini leluhur akan menghukum karena kami sepakat sebagai pasangan yang kapurusan (punya status yg sama),” katanya saat dihubungi, Selasa (26/10).

Sistem kekeluargaan patrilineal (di Bali dikenal dengan kapurusa) yang dianut oleh orang Bali-Hindu, menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan tanggung jawab keluarga.

“Padahal kesepakatan perkawinan ini saya nilai sebagai bentuk menghargai hak perempuan,” imbuhnya. Menurutnya, pada perkawinan yang jamak di Bali, sangat patriarkhi karena istri tidak punya hak atas pengasuhan anak, warisan, dan tak punya peluang menunaikan tanggungjawab pada keluarganya. Model perkawinan patrilinieal seperti itulah menurut Sukarta mengakibatkan perempuan mengalami tekanan batin. “Ini yang membuat perempuan takut masuk dalam sisitem kekeluargaan di Bali,” ujarnya.

Putusan MA atas kasus perkawinan PG Sukarta-Lely ini sejalan dengan keputusan Pasamuhan Agung atau rapat kerja Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali pekan lalu. Dalam salah satu putusannya, tertulis pengakuan hak-hak perempuan Bali dalam perkawinan dan perceraian serta hak waris dinilai sebagai babak baru bagi nilai-nilai keadilan gender. Misalnya soal sahnya pilihan perkawinan dengan status PG ini.

Pesamuhan Agung adalah forum keputusan tertinggi untuk mebuat program kerja dan menetapkan atau memperbaiki aturan adat di Bali.  MUDP adalah semacam lembaga perwakilan untuk pengurus desa-desa pekraman di Bali.

Keluarnya putusan MUDP soal hak waris perempuan ini juga disambut seorang akademisi, Prof dr DN Wirawan. Menurutnya, putusan ini adalah jawaban dari keresahannya selama ini soal pemberian hak waris nanti pada kedua putrinya. “Saya tidak punya anak laki, dan kebiasaan di kampung, harus laki-laki yang dapat. Dalam hal ini keponakan laki-laki saya kalau tidak punya anak laki,” katanya.

Wirawan menambahkan, istilah perkawinan nyentana (laki-laki ikut keluarga perempuan) juga tidak diakui di kampungnya. Jadi, seluruh waris memang tidak bisa jatuh ke kedua putrinya. Wirawan berharap putusan MUDP ini bisa menjadi pedoman secara formal di desa adat maupun pengadilan nanti.

Nah, soal ketetapan hukum formal inilah yang masih menjadi tuntutan MUDP ke pemerintah. Itulah salah satu program unggulan yang akan dirintis. Yakni, memperjuangkan desa pakraman sebagai subjek hukum formal sesuai UU, dan memperjuangkan penyelesaian perkara adat untuk mendapat legitimasi lembaga peradilan negara.

Menurut Prof. Wayan P.Windia, ahli hukum adat Bali dan penulis buku soal perkawinan PG, di Bali telah dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan sebelum tahun 1945.

Menurutnya bentuk perkawinan PG dilakukan tak semata karena pasangan calon pengantin terlahir sebagai anak tunggal di keluarganya masing-masing, sehingga tak mungkin memilih bentuk perkawinan biasa atau nyentana.

Dalam bukunya, ditulis dari 28 bentuk perkawinan PG yang diteliti, diketahui hanya satu pasang yang merupakan anak tunggal. Lainnya, karena masalah lain. “Saatnya hukum adat Bali harus lebih beradab, termasuk pada pemenuhan hak perempuan,” katanya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *