Over a cup of coffee

Meet this 1930’s iconic figure of Moka Express maker on Bhineka Djaja.
Dijalan Gadjahmada No.80 Denpasar diantara hiruk pikuk pasar lama Kumbasari, sebuah warung kopi meruang dengan begitu sederhana, Bhineka Djaja. Jauh dari kesan ‘fancy’ seperti kebanyakan warung kopi masa kini, Bhineka Djaja hadir dalam salah satu los ruko lama berukuran tak lebih dari 5 x 15 meter. Dua meter pertama mereka gunakan sebagai etalase kopi dan suvenir, ruang duduk sekaligus tempat meracik kopi untuk diminum ditempat, tiga meter selanjutnya digunakan sebagai ruang kasir dan administrasi, sementara sisanya jauh kebelakang digunakan sebagai tempat produksi dan proses pengepakan Kopi.

Konon menurut cerita keluarga Bapak Djuwito Tjahjadi sang pemilik warung kopi, ditempat inilah cikal Kopi Bali nan kesohor itu di mulai jauh ditahun 1935. Ya, diruang itulah Kopi Bali Cap Kupu Kupu Bola Dunia memulai debutnya. Awalnya, generasi pertama keluarga Tjahjadi membeli biji kopi dari para petani lalu mengolahnya disana. Menjadi satu satunya tempat pengolahan Kopi Bali ditahun tahun itu membuat usaha keluarga tersebut berkembang dengan sangat baik. Terlebih lagi kualitas Kopi hasil olahan mereka yang layak sanding dengan merk kopi ternama lainnya.
Warung Kopi ini dulunya bernama Bian Ek. Demi kepentingan marketing nama diganti menjadi Bhineka Djaja. Buka di jam kerja yang manusiawi mulai jam 9 pagi sampai dengan jam 4 sore, hari ini Bhineka Djaja dikelola oleh generasi ketiganya, Wirawan Tjahjadi. Untuk warung Kopi sekecil itu, Bhineka mempekerjakan tiga orang barista yang lucu-lucu dan bersahabat. Well, buat saya mereka lucu karena celotehan dan selalu ada saja yang bisa diobrolkan dengan mereka. Sang barista senior Pak Made Punia sudah bekerja disana selama kurang lebih 20 tahun, lalu Ketut Merta 8 tahun dan barista termuda mereka Bli Putu Agus Julian baru bergabung selama setahun terakhir.
Selain menyediakan Kopi untuk diminum ditempat, Bhineka Djaja juga menjual begitu banyak varian Kopi untuk di bawa pulang. mulai dari Arabika, Robusta, Moka Arabika, Luwak, Kopi Jawa sampai Teh Bandulan.
Kecintaan saya terhadap Bhineka Djaja jauh melebihi kecintaan saya terhadap warung kopi masa kini sekelas Starbucks, Gloria Jeans Coffee atau yang lainnya. Entah apanya yang membuat saya betah berlama lama disana, toh pilihan minuman Kopi dan teh yang ditawarkan mereka tak lebih dari hitungan jari. Mungkin, bisa jadi karena harganya yang murah dan rasa rasa suasananya yang nyaman seperti dirumah. Ya, untuk akhirnya bisa duduk di Bhineka Djaja, saya tak perlu merasa risih datang dalam keadaan baru bangun tidur, belum mandi, hanya bersendal jepit dan berbaju sisa tidur semalam dengan rambut tak tersisir.
Dalam rentang waktu menghabiskan dua cangkir Cappucinno di Bhineka Djaja biasanya saya berhasil membaca beberapa e-mail yang sempat luput dari perhatian. Sempat berbincang santai dengan satu atau dua orang pelanggan lain seperti layaknya teman lama. Jika sedang ingin terlihat pintar saya bisa asyik menulis barang lima sampai sepuluh paragraf tentang apa saja diwarung itu. Entahlah, tapi sepertinya akan terbaca sangat chic jika diakhir sebuah tulisan saya bisa menyematkan kata kata seperti ‘cerita ini ditulis dipojok kota disudut kecil sebuah warung Kopi’ seperti tulisan tulisan penulis terkenal itu.
Anyway, tapi saya tetap lebih senang melarung lamun disini, duduk saja tenang tenang tak melakukan apa apa sambil memperhatikan gegas gesa lalu lalang orang-orang dipasar. Jika sedang beruntung saya bisa melihat drama satu babak yang melintas didepan warung kopi seperti, copet dikejar massa, ambulan meraung meraung dikecepatan tinggi yang ndilalah kok ya malah nyerempet pengendara motor didekatnya dan masih banyak yang lainnya. Sekali waktu saya memutuskan untuk berkunjung ketempat ini untuk kopinya. Tapi seringkali saya datang karena ingin menyesap nyamannya masa lalu dari jejak-jejak yang tertinggal disana. Sentimental reason? well its coffee, I think everyone has one 🙂
a note to remember. When I was drawing my simple thought of missing you that seems nowhere to be found — over a cup of coffee :’)
Left : Wall painting, painted with oil paint & Coffee. Wall painting on 2 x 2 m canvas by Rudi Sri Handoko – displayed on Bhineka Djaja | Right : The Legend


The first two meters of the coffee shop. This one was beautifully captured by Esha Satrya

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *