Jimpitan, asal kata jimpit; jumput; pungut. Sejumput pungutan, itulah definisi terdekat yang bisa saya tawarkan tentang arti kata Jimpitan. Jimpitan merupakan sebuah tradisi sosial dalam masyarakat Jogja yang sudah berumur puluhan tahun. Mungkin jauh lebih tua dari usia merdekanya negeri ini. Berdasarkan cerita turun temurun dalam keluarga, tradisi jimpitan sudah ada sejak jaman perang, jauh sebelum kemerdekaan. Di Jogja, tradisi ini mulanya dilaksanakan sebagai wujud penghormatan dan rasa terimakasih warga desa kepada para pejuang yang kerap melakukann patroli pada malam hari dikala itu. Kakek merupakan salah satu pejuang yang pernah mengalami masa-masa berkeliling kampung berpatroli sambil mengumpulkan beras jimpitan.
Bentuk jimpitan waktu itu amatlah sederhana menyentuh hati. Sejumput, beras. Ya, sejumput beras yang diletakkan dalam sebuah wadah kecil dari batang bambu yang dipaku atau digantung dekat pintu masuk rumah. Seiring dengan bergantinya musim, lalu mulai dikenalnya dinding pagar berterali tinggi, tradisi jimpitan perlahan memudar. Beruntung, jejak jimpitan masih bisa ditemui dibeberapa kampung kecil di Jogja. Kampung Sayangan, Kotagede merupakan salah satunya. Dikampung inilah romantisme masa lalu itu menyeruak hangat meramaikan Sabtu pagi saya.
Ruang rasa saya terusik, betapa tradisi itu masih bertahan lestari dalam bentuknya yang tak berubah banyak. Wadah jimpitan yang dulunya banyak terbuat dari potongan bambu hari ini memang sudah bergeser dengan wadah yang sekenanya, biasanya berupa potongan botol plastik berukuran kecil. Pun isi jimpitan mulai menyesuaikan. Ya, isi jimpitan hari ini bukan lagi segenggam beras melainkan berupa keping uang logam dengan minimal nilai yang disepakati, di kampung Sayangan Kotagede besarnya hanya 500 rupiah.
Di Sayangan ini, jimpitan masih terus dijumputi oleh para lelakinya yang tua-tua, bergiliran setiap malamnya. Uang yang terkumpul dari hasil jimpitan biasanya akan menjadi kas desa dan digunakan untuk kepentingan bersama, mulai dari membiayai acara-acara kecil dikampung, membantu warganya yang sedang tertimpa musibah, sampai membantu perbaikan sarana kampung yang kecil-kecil.
Tak banyak memang jika lima ratus rupiah dikalikan seratus lima puluh rumah lalu dikalikan jumlah hari dalam sebulan, kas yang terkumpul hanya akan berada pada kisaran angka dua juta rupiah. Nilai yang tak seberapa untuk sebuah kampung dengan 150 keluarga diera digital. Tapi, tradisi inilah yang membuat warga kampung menjadi saling mengenal dengan begitu wajarnya. Kenal nama, kenal wajah, tahu dimana tinggal. Dan yang lebih melegakan, mereka benar benar tau kabar keadaan tetangga.
I’ve been thinking, could be, this is the finest social networking system ever invented. Berbeda dengan hari ini, ketika nama harus dipadatkan demi menghemat karakter, wajah disamarkan demi memperbanyak teman, tempat tinggal disembunyikan dan semua rekayasa dengan mudahnya dipercaya karena tak jumpa. Kalau sudah begini, tradisi apa yang kita wariskan saat kita tua nanti?
a note to remember. Dipojok kota di tepi hati. Lepas nyolong makna jimpitan, waktunya sekarang mencari cara terbaik mencuri indah lucumu.
Leave a Reply