Mimpi Nyamannya Transportasi Publik Bali

Ini hanya mimpi bagaimana transportasi publik di Bali ke depan.

Modalnya bukan hitung-hitungan matematis bin akademis tapi cuma pengalaman pernah menikmati nyamannya transportasi publik di Eropa. Kalau di Eropa bisa, rasanya bukan hil mustahal untuk diterapkan di sini. Seperti slogannya Pak Beye, bersama kita bisa! Hehe..

Mimpi ini bermula dari semakin parahnya kondisi lalulintas Bali, terutama di Denpasar dan Kuta. Kemacetan, yang dulunya hanya saya lihat di TV, kini pun terjadi. Salah satu sebabnya, jumlah kendaraan bermotor di Bali yang kian tak terkendali.

Berdasarkan data di Dinas Perhubungan Bali, kendaraan bermotor di Bali naik drastis hingga hampir dua kali lipat selama lima tahun terakhir. Dari 1,58 juta unit pada 2006 menjadi 2,35 juta unit pada awal 2011. Separuhnya atau hampir 2 juta unit beroperasi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.

Maka, tanpa mimpi dan tentu saja dibarengi aksi nyata, kemacetan total di Bali cuma masalah waktu. Pasti akan terjadi.

Dan, tidak usahlah saling melempar kesalahan apalagi dengan mudahnya menyatakan kalau kemacetan ini hanya semata karena makin banyak penduduk, terutama pendatang di Bali. Sudah jadul kalau tiap ada masalah di Bali hanya dilemparkan pada banyaknya penduduk. Di kota-kota besar Eropa di mana penduduknya terus bertambah toh tidak ada kemacetan.

Jadi, baiklah. Inilah mimpi saya.

Bali akan punya pusat semua kendaraan bermotor di darat, seperti kereta, bis, trem, dan taksi. Mirip Terminal Ubung saat ini tapi dilengkapi dengan kereta dan trem.

Terminal pusat ini akan terhubung langsung dengan pelabuhan laut dan bandar udara. Dengan begitu, pengguna transportasi publik punya banyak pilihan moda angkutan jika ingin ke pelabuhan atau bandar udara (bandara). Tidak seperti saat ini yang harus pakai kendaraan pribadi atau taksi jika ingin ke pelabuhan atau bandara.

Kalau di Amsterdam atau Utrecht, Belanda misalnya, terminal bis atau trem sekaligus stasiun kereta. Ini yang memudahkan pengguna angkutan karena semua jenis angkutan terpusat di satu tempat. Karena itu disebut central station. Hampir semua kota di Belanda punya central station ini.

Di Indonesia saya belum menemukan hal serupa. Terminal bis biasanya terpisah dari stasiun kereta.

Dari central station ini, kendaraan akan dialirkan ke berbagai tujuan dalam kota ataupun luar kota. Ya, sekali lagi tak jauh beda dengan terminal di Ubung saat ini tapi bukan oleh bemo ala Denpasar yang kecil dan tak nyaman itu. Penyalurnya adalah trem atau bis antarkota.

Trem ini mirip kereta api, sebenarnya. Tapi ukurannya lebih kecil dan kecepatannya lebih rendah. Kalau kereta api dipakai untuk antarkota, maka trem ini di dalam kota. Kota-kota di Eropa banyak pakai trem untuk angkutan dalam kota.

Nah, Denpasar kan bisa saja mencoba trem untuk angkutan dalam kota.

Jalurnya tinggal dipecah sejumlah banyaknya terminal-terminal kecil yang sekarang sudah ada di Denpasar atau Bali. Misalnya Ubung – Kreneng, Ubung – Tegal, Ubung – Padangbai, dan seterusnya. Tapi, ini pakai trem yang terus mengelilingi kota. Paling banyak, seharusnya, cuma ada lima jalur utama angkutan trem ini.

Menurut data Dinas Perhubungan Denpasar, ibu kota Provinsi Bali yang luasnya cuma 127 hektar ini punya 12 rute angkutan umum. Padahal Paris yang luasnya 105 ribu hektar alias 10 kali lipat Denpasar cuma punya 13 jalur utama metro, istilah untuk transportasi bawah tanah di kota mode itu.

Ah, jauh amat membandingkan Paris dan Denpasar. Lha ken-ken, sih? Namanya saja mimpi. Rugi kalau membandingkan Denpasar dengan Jakarta yang sudah kadung acak adut kondisi transportasinya itu.

Dari jalan utama, katakanlah Jl Sudirman, Jl Diponegoro, Jl Gatot Subroto, dan semacamnya, warga kemudian dialirkan lewat angkutan lebih kecil. Bila perlu yang tradisional seperti dokar biar kendaraan tradisional ini tak mati suri.

Atau, bisa juga pengguna angkutan umum jalan kaki atau naik sepeda. Nah, sepedanya ini tinggal diparkir di tempat parkir bersama di dekat pos kendaraan umum. Jadi, pendapatan Perusahaan Daerah (PD) Parkir tak akan berkurang akibat berkurangnya sepeda motor atau mobil.

Kalau ada angkutan umum yang nyaman, semoga juga nantinya juga warga di Denpasar bisa lebih sering berinteraksi. Sebab, di dalam angkutan mereka bisa saling ngobrol. Atau, kalau memang malas ngobrol dengan tetangga kursi di angkutan umum, setidaknya bisa lebih rajin ngetwit dalam perjalanan.

Tidak seperti sekarang: naik motor sambil sibuk SMS-an atau ngetwit. Memang tukang sulap wal akrobat.

Yap. Tentu saja. Memang tidak mudah mewujudkan mimpi ini. Tapi, bukan berarti tidak mungkin. Pemerintah Bali bisa memulai, misalnya, dengan membatasi kendaraan pribadi lalu bangun jalur transportasi tersebut.

Begitu pula warga. Pasti akan kena dampaknya. Misalnya, tak bisa lagi seenaknya nawa motor atau mobil sendiri. Warga harus lebih sering jalan kaki. Biar sehat. Tidak seperti saat ini, yang bahkan cuma ke depan gang saja naik motor.

Kalau warga makin sering jalan kaki, maka trotoar pun akan lebih mendapat perhatian. Tidak dipakai jualan apalagi jadi tempat sampah.

Dengan angkutan umum nyaman, warga bisa lebih sering berinteraksi, jalan kaki, sehat, dan fasilitas umum juga lebih diperbaiki.

Sudah, ah. Itu dulu mimpinya.. *Bangun. Nyeka iler..


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *