Jiwa manisku,
Dan berapa lamakah suatu hari harus kutinggalkan hingga ia layak disebut sebagai masa lalu? Seberapa jauhkah jarak harus kutempuh hingga hati layak mengenang satu hari diwaktu lalu dengan begitu unyu? Seperti apakah ruang, yang sanggup membawa kita berlayar jauh menyeberangi lintasan waktu?
Itu akhir pekan di bulan Februari tiga tahun silam ketika saya untuk pertama kalinya menjejak Desa Liligundi, Singaraja, Bali Utara. Tujuan awal jalan-jalan hari itu sebenarnya adalah air terjun Git Git di Desa Sukasada.Tapi karena terlalu malas bertanya arah dan lebih memilih untuk terus menginjak pedal gas membuat saya akhirnya sampai didesa pesisir Bali sebelah utara tersebut dengan status, tersesat.
Alih-alih berbalik arah mencari tujuan semula, saya justru terus melanjutkan perjalanan dengan memperlambat laju kendaraan. Bukan tanpa alasan, tapi memasuki Desa Liligundi saya tiba-tiba merasa seperti sign out dari Bali, meninggalkan pantai-pantai berpasir putihnya, meninggalkan pemandangan rumah-rumah tinggal yang sarat ornamen, untuk lalu berpindah dimensi kesuatu masa di puluhan tahun yang silam. Ya, saya dibuat takjub dengan barisan bangunan kolonial yang bersesakan dalam banyak varian disepanjang sisi Jalan Gajahmada. Rumah-rumah kolonial yang berdiri gagah dengan garis-garis masif tegas, ruang atap tinggi dan daun-daun jendela serta pintunya yang selebar perahu. Semuanya begitu berbeda di Liligundi. Tak ada gerombolan turis, tak ada papan surfing, travel agent, money changer, yang ada hanyalah nuansa romantis dari masa yang silam.
Didepan sebuah rumah tua di Jalan Gajahmada, saya berdiri lama sebelum akhirnya mendorong masuk gerbangnya yang tinggi. Sejauh yang saya ingat, dari mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) saat di sekolah dasar dulu, sejak Belanda menguasai Bali Utara pada tahun 1846 kota Singaraja merupakan ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan ibukota Bali sampai tahun 1958. Ini jelas kota lama, begitu pikir saya saat itu.
Tiga tahun berlalu, rumah yang hari itu saya kunjungi akhirnya menjadi jujugan setiap kali berakhir pekan ke Singaraja. Saya menjadi sahabat pemiliknya, Ibu berusia 68 tahun, keturunan Dokter pertama yang dikirim Pemerintah Hindia Belanda dari Surakarta ke Bali. Mama Anita begitu ia senang dipanggil, fasih berbahasa Belanda. Dari Mama Anita lah saya mendengar langsung cerita tentang Singaraja tempo dulu. Tentang romantisme masa lalu.Tentang kekhawatirannya terhadap kelestarian bangunan peninggalan. Tentang Belanda.
Jika sedang berakhir pekan disana, saat hari sudah berangkat teduh, saya selalu menyempatkan diri menikmati kota dengan berjalan kaki menyusuri penggal jalan Gajahmada yang lengang menuju arah pantai sambil mendengarkan lagu-lagu kesayangan. Mendekati dermaga biasanya saya mengambil jalan potong melalui Kampung Bugis sebelum akhirnya tiba di dermaga tua Pabean. Disanalah saya senang berlama-lama menyesap tenang menemani matahari terbenam. Di dermaga Pabean itulah kapal perang ETNA pada tahun 1849 merapat, mengantarkan para kepala dagang, pemimpin pemerintahan dan angkatan bersenjata Hindia Belanda untuk pertama kalinya. Cikal peradaban cantik di Bali Utara.
Begitu mencintai arsitektur peninggalan dan warisan budaya membuat saya sampai hari ini masih menambatkan impian untuk bisa menyesap pendidikan terbaik tentang Heritage Management and Interpretation atau Heritage Study lainnya di daratan Eropa sana. Belanda sudah dipastikan merupakan negara tujuan saya belajar kelak. Saya selalu ingin bangsa ini mau belajar pada bagaimana Belanda sanggup merawat jejak masa lalu yang terserak disepenjuru negerinya dengan penuh penghargaan terbaik. Semoga 🙂
a note to remember. Some saying says that yesterday is history. But sometimes Im with Percy Bysshe Shelley, who said that history is a cyclic poem written by Time upon the memories of man…
Leave a Reply